Mengenang Mbah Suta dan Mgr. Julianus Sunarka SJ

0
582 views
Mbak Suta, ibu kandung Mgr. Julianus Sunarka SJ ok

Sebuah catatan

Uskup emeritus Purwokerto Mgr. Julianus Sunarka SJ meninggal pada 26 Juni 2020.

Dalam hitungan satu website almanak, peringatan 100 hari jatuh pada 4 Oktober kemarin.

Sembari mendoakan jiwa Mgr. Sunarka dan mengenang karya-karyanya, saya membuat sedikit catatan.

ini juga mencakup relasi dengan Mbah Suta, atau Mbah Elizabeth Ngadiyah Sutadikrama yang meninggal 6 Desember 2019. Pada bulan November besok, tepatnya 24 November, dalam hitungan ki-demang.com Mbah Suta masuk mendak pisan, atau peringatan setahun.

Menjenguk Mbak Suta

Pada 25 Agustus 2015, bersama dengan sebuah rombongan kecil, kami menjenguk Mbah Suta di rumah Japanan.

Mbah Suta masih bisa berjalan, meskipun menggunakan tongkat. Rombongan kecil kelompok ziarah Perjalanan Emaus tersebut merasa senang dapat berjumpa dengan ibunda Uskup Purwokerto Mgr Julianus Sunarka SJ.

Ada satu peristiwa yang menarik pada akhir kunjungan. Ketika kami pamit, Mbah Suta nguntabke atau melepas hingga ke mulut gang.

Ketika semua sudah di kendaraan, dan mobil mulai bergerak meninggalkan rumah kediaman Mbah Suta, tiba-tiba tangan kanan Mbah Suta terangkat dan membuat tanda salib. Tanda salib tersebut mengarah ke kendaraan kami. Artinya, Mbah Suta memberkati kami dengan tanda kemenangan Kristus.

“Laku memberkati” semacam itu lebih sering dibuat oleh imam atau yang mewakili seperti prodiakon.

Beberapa orang tua membuat tanda salib di dahi anak-anak mereka ketika hendak berangkat sekolah.

Bila kemudian Mbah Suta memberkati perjalanan kami ketika itu, tentu itu bersumber dari ketulusan seorang nenek berusia 100 tahun untuk mendoakan cucu-cucunya.

Usia Mbah Suta ketika meninggal disebut-sebut 105 tahun, pada 2019 lalu. Ada masa di mana Mbah Suta hidup sendiri di rumah Japanan.

Pada waktu itu, anak terdekat adalah adik Mgr. Sunarka yang tinggal di Jogjakarta. Sementara, anak perempuan yang kemudian pulang ke Japanan, ketika itu masih tinggal di Palembang.

Mbak-Suta, ibu kandung Mgr.Julianus-Sunarka SJ.(Robertus-Sutriyono)

Semuanya sendiri

Pada saat-saat sendiri itu, Mbah Suta hanya ditemani seekor kucing dan burung puter. Semula burung puter itu dua ekor. Selepas Mbah Kakung meninggal, burung tersebut tinggal seekor.

Mbah Suta mencuci, masak dan mengurus rumah sendiri. Masak menggunakan tungku kotor, alias kayu bakar. Pintu-pintu rumah belum menggunakan kunci selot atau gerendel.

Alat modern tersebut baru ada selepas puterinya pulang kampung menemani Mbah Suta.

Sesekali Mgr. Sunarka menjenguk Mbah Suta. Tidak lama. Paling tiga atau lima menit, lantas melanjutkan perjalanan.

“Sekupe mboten duwe duit,” ujar Mbah Suta suatu kali.

Katanya, Uskup Sunarka, anaknya, tidak punya uang.

Alm. Mgr. Julianus Sunarka SJ.

Ketika masih sebagai imam, satu kali Romo Narka pulang menjenguk orang tua. Ketika itu Nenek masih ada. Nenek yang tidak terlalu paham apa “pekerjaan” cucunya minta uang saku.

Romo Narka meminta Nenek membuka telapak tangan, lantas menaruh beberapa keping uang logam di situ, dan meminta Nenek menggenggam kencang. Ketika kemudian tangan dibuka, di situ hanya ada beberapa rupiah saja.

Tradisi harian berdoa Rosario

Meskipun hidup sendiri dan anak-anak jauh dari rumah, termasuk Romo Narka yang kemudian bertugas menjadi Uskup Purwokerto, Mbah Suta menyatukan mereka dalam doa rutin setiap menjelang senja.

Setiap sore, sekitar pukul 15.30, Mbah Suta duduk di ruang tamu. Di situ ada kursi dan meja pendek. Di atas meja terdapat patung Bunda Maria, salib dan lilin.

Mbah Suta berdoa rosario pada setiap menjelang senja. Doa ini dijalani secara rutin.

Tradisi doa rosario ini juga dijalani Mgr. Sunarka. Setiap kali hendak melakukan perjalanan, begitu meninggalkan gerbang Wisma Keuskupan, Mgr. Sunarka akan tenggelam dalam doa rosario.

Kadang Bapak Uskup mengajak siapa saja yang ikut serta untuk turut berdoa rosario. Kadang doa itu dijalani sendiri.

Maka, bila saja perjalanan tersebut dimulai sekitar pukul 15.30, Mgr. Sunarka akan berdoa rosario dalam waktu yang bersamaan dengan doa rosario yang dilakukan Mbah Suta.

Meninggal dalam kesendirian

Monsinyur Sunarka kadang menggoda ibundanya. “Mbah, kok tinggal dewe. Mengko nek mati piye? Ranana sing ngonangi,” celetuk Mgr Sunarka.

Monsinyur menggoda, karena hidup hanya seorang diri, kelak kalau meninggal siapa yang akan tahu.

Mbah Suta akan menanggapinya dengan ringan saja. “Nek mati rak mambu, tangga do ngerti,” katanya. Aroma jenazah pasti akan sampai ke tetangga. Itulah pertanda kalau dirinya sudah meninggal.

Kemampuan orang bercanda tentang kematian, tentulah muncul dari pribadi yang sudah lepas bebas terhadap ikatan-ikatan kehidupan. Orang yang menjalani kehidupannya dengan merdeka.

Ada banyak cerita mengenai kehidupan Mgr. Sunarka yang sederhana. Baju satu bisa dipakai beberapa hari. Mendapat hadiah dari umat berupa baju baru, ketika sampai di Purwokerto, begitu saja diberikan ke orang lain.

Akan hal Mbah Suta, beliau sudah melewati kehidupan yang penuh penderitaan sebagai petani miskin. Berjalan kaki dari desa ke desa mencari dan mengumpulkan rambut untuk dijual kembali di Pasa Bringharjo.

Pernah melewati masa kritis karena pendarahan hebat selepas melahirkan salah satu adik Mgr. Sunarka. “Dadi layatan,” kenang Megawati, salah satu kerabat yang sekarang juga tinggal di Dusun Japanan.

Berdua, Mbah Suta dan Mgr. Sunarka sudah berpulang.

Keteguhan iman dan kesahajaan hidup serta kemerdekaan menjalani tugas pelayanan menjadi teladan yang terus mengingatkan kita yang masih berziarah di bumi ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here