PERJUMPAAN bisa menghasilkan kesadaran baru dan perubahan. Lewat tukar-pikiran dua arah, masing-masing memberi makna satu terhadap yang lain.
Dalam dialog itu, rasa simpati bisa muncul.
Pembicaraan atas dasar kesadaran dan kejujuran kiranya membuahkan “kelahiran baru” dalam menapaki kehidupan.
Itulah keselamatan.
Nikodemus. salah satu orang Farisi, tidak tenggelam dari hiruk-pikuk dan hoaks. Ia tidak terpikat pada pembicaraan mengikat untuk menjerat (membunuh) Yesus.
Ia tidak tertarik ikut menghujat, atau tidak terlibat dalam kekerasan dan kebencian.
Maka, pada malam hari, Nikodemus datang menjumpai Yesus secara pribadi.
Perjumpaan dan pembicaraan dari hati ke hati itulah perjumpaan yang manusiawi sekaligus Ilahi.
Bagaimana memaknai kehidupan yang adalah rahmat Allah tanpa pemaksaan pendapat bahkan kekerasan.
Menyikapi situasi dan kondisi
Saat pelatihan “Active Non Violence” (ANV) tahun 1985 bersama Romo Blanco SJ n Teams dari Filipina, peserta diberi pembelajaran soal pengamatan dan analisis suatu peristiwa lapangan, dasar-dasar dan prinsip ANV dan Gerakan People Power.
Para peserta diajak melakukan sebuah drama dengan sungguh. Kelompok diberi peran masing-masing dan harus memerankan dengan serius. Tidak boleh sungkan, ragu-ragu, jujur pada diri dan karakter pribadi.
Ekspresikan dirimu, biarkan keluar dari hati.
Awalnya sebuah gerakan demonstran. Pawai protes berhadapan dengan “tentara” yang menghalangi gerak mereka. Ada gerakan saling dorong, umpat mengumpat.
Para demonstran saling bergandeng tangan, maju bersama. Langkah mereka begitu solid, erat dan tak tertembus. Teman saya sebagai salah satu penghadang mulai terbakar emosi dan memukul para demonstran dengan gulungan kertas: di bahu, tangan dan kaki.
Dia sungguh meluapkan emosi. Pendemo menyeringai karena sakit. Tetapi mereka nekad menerobos barisan. Ada yang menyambak rambut, kepala dipegang digoyang-goyang. Semua tindak kekerasan dilakukan.
Suasana menjadi panik. Tiba-tiba, mungkin karena lelah dorong-mendorong, akhirnya ikatan mereka goyang, lepas. Langsung “tentara” mencokol mereka satu per satu. Ada yang dicekik lehernya; ada yang ditarik bajunya; ada pula yang diseret kaki atau tangan mereka.
Mereka di bawah keluar ruangan. Pemimpin kelompok seorang biarawati dihalau, didorong-dorong dan akhirnya dimasukkan ke dalam toilet dan dikunci dari luar.
Semua berperan dengan baik.
Kami bukan saja menampilkan peristiwa dengan baik, tetapi masing-masing menampilkan karakter pribadinya.
Kami lupa bahwa ini adalah sebuah permainan; tersulut oleh hujatan, teriakan bahkan kekerasan muncul begitu saja.
Emosi tak terkendali.
Satu pihak para demonstran berusaha mati-matian bergerak maju menerobos blokade; apa pun mereka gunakan.
Ada yang menendang, melempar botol minuman. Tanpa sadar mungkin dengan maksud baik sekali pun, tidak luput dari tindak kekerasan. Penghadang pun tidak bisa menjaga emosi. kami terbakar.
Perintah jelas: bubarkan, at all risk. Terbawa emosi dan membalas dengan kekerasan, tak terhindar.
Saat refleksi dan evaluasi suasana tegang dan ada yang tidak terima dipukuli, dikata-katai, bahkan dimaki-maki.
Pembimbing menyadarkan inilah kenyataan hidup.
Di mana engkau berpihak? Apa yang engkau perjuangkan?
Bernilaikah? Bermartabatkah? Kekaburan sikap suam-suam kuku bukanlah sebuah tindak dan keputusan bijak.
Dengan maksud baik sekalipun, kekerasan tidak akan memecahkan masalah; bahkan akan menimbulkan masalah yang lain.
Sebagai murid kadang ada penganiayaan yang tak terelakkan demi salib. Bahkan mungkin lelah dan derita dialami. Justru karena melakukan perintah kasih dan mengikuti jalan keadilan.
Namun bagi kita, hal itu dapat menjadi sarana pendewasaan iman dan pengudusan hidup. Bdk Kis 4: 31.
Yesus berkata, “Sesungguhnya jika seseorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.”, ay 3.
Bacalah juga Yoh. 19: 38-40.
Tuhan, janganlah kami lengah, bahwa iman akan Engkau menuntut keadilan. Amin.