PADA waktu mengajar, Yesus berbicara dengan otoritas (Lukas 4:32). Inilah yang membedakan pengajaran-Nya dari para ahli Kitab atau ahli Taurat (Matius 7:29). Ajaran-Nya bersumber dari diri-Nya sendiri sebagai Tuhan.
Orang yang kerasukan setan itu mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan. “Aku tahu siapa Engkau: Engkaulah yang kudus dari Allah.” (Lukas 4:34).
Meski mengetahui nama-Nya, namun dia takut kepada-Nya. “Engkau datang hendak membinasakan kami?” (Lukas 4:34).
Yesus tidak menggunakan otoritas atau kekuatan-Nya untuk menguasai secara semena-mena, melainkan untuk membebaskan orang yang kerasukan setan.
Dia menghardik setan itu, “Diam, keluarlah dari padanya.” (Lukas 4:35). Lantaran kekuasaan-Nya yang besar, setan itu pun keluar tanpa menyakitinya (Lukas 4:35).
Otoritas mendukung penuh yang dikatakan-Nya. Pengajaran-Nya penuh kuasa karena mewujud dalam tindakan-Nya. Itu membuka mata banyak orang di Kapernaum bahwa Tuhan hadir di tengah-tengah mereka (Lukas 7:16).
Injil hari ini (Lukas 4:31-37) mengajar kita tentang otoritas. Itu berasal dari kata Latin auctoritas yang dibentuk dari kata augere. Artinya menambah atau mengembangkan.
Yesus menambah pengajaran-Nya dengan kuasa untuk membebaskan manusia (Lukas 4:18-19). Dia juga memberdayakan atau membuat manusia lebih berdaya.
Sebagian besar dari kita, dalam arti tertentu memiliki atau mendapatkan otoritas. Orangtua memiliki otoritas atas anak-anaknya. Guru diberi otoritas untuk mendidik para muridnya. Pejabat publik mendapatkan otoritas untuk melayani rakyat.
Bagaimanakah selama ini kita menggunakan otoritas itu?
Yesus menggunakannya untuk melayani, bukan untuk dilayani (Matius 20:28). Dia menyelamatkan; bukan membinasakan.
Dia memberikan teladan bagaimana orang sebaiknya menggunakan otoritas secara benar.
Selasa, 5 September 2023