Renungan Harian
Kamis, 21 Oktober 2021
Bacaan I: Rom. 6: 19-23
Injil: Luk. 12: 49-53
“ROMO, kami berdua sudah memutuskan bahwa kami akan berpisah. Kami mohon saran Romo, langkah-langkah apa yang harus kami tempuh.
Kami berharap bisa resmi pisah sesuai dengan aturan Gereja, tetapi kalau tidak mungkin kami akan pisah secara sipil saja.
Romo, ini keputusan kami berdua, bukan karena ada orang ketiga atau yang lain. Semua murni dari kesadaran kami berdua bahwa kami tidak mungkin melanjutkan hidup perkawinan kami.
Berpisah adalah pilihan yang baik bagi kami, kiranya dengan berpisah kami jadi lebih tenang dan lebih bahagia.
Karena kalau kami melanjutkan hubungan kami, maka yang terjadi kami malah sering ribut, dan cenderung saling menyakiti.
Soal anak-anak tidak ada masalah, kami sudah bicara dengan mereka dan mereka tidak ada keberatan apa pun. Bahkan mereka mengatakan itu ide yang baik daripada mereka melihat kami sering ribut.
Romo, setelah 20 tahun kami menjalani hidup perkawinan, semakin lama kami semakin tidak mengenal satu sama lain. Saya berpikir kemana, dia berpikir kemana.
Kami juga merasakan bahasanya menjadi aneh satu sama lain sudah tidak nyambung sehingga hal-hal sepele menjadi besa,r karena salah mengerti, salah tangkap.
Kami sendiri bingung dengan situasi ini dan itulah romo, kami pikir berpisah adalah pilihan terbaik,” seorang suami menjelaskan maksud kedatangannya.
Setelah berbincang cukup lama, mendengarkan cerita dari pasangan itu, kami (saya dan pasangan suami istri itu) menemukan bahwa sumber dari permasalahan adalah tidak adanya komunikasi di antara keduanya.
Keduanya amat sibuk bekerja, saat pulang ke rumah sibuk dengan urusan rumah, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mereka sendiri berbicara dari hati.
Semua pembicaraan selalu berkaitan dengan hal-hal teknis dan fungsional. Mereka saling mencintai dan masih saling mencintai tetapi nyala api cinta itu tidak berkobar lagi.
Dalam pembicaraan mereka mencoba untuk menyediakan waktu berdua, menikmati waktu berdua, berbicara tentang rasa; tidak tentang hal-hal yang sifatnya fungsional.
Mereka berjanji paling kurang sekali dalam sepekan, mereka akan menyediakan waktu untuk berdua. Tanpa anak-anak, juga tanpa orang lain; dengan harapan apinya bernyala kembali.
Syukur pada Allah setelah tiga bulan, mereka menemukan nyala api cinta mereka kembali dan mencabut keputusan untuk berpisah.
Mereka menemukan kembali gairah hidup perkawinan mereka, yang telah mereka bangun.
Membangun komunikasi pribadi yang intens, bukan komunikasi fungsional, tetapi berani mengungkapkan rasa secara pribadi menjadi kunci mengobarkan api kembali.
Pengalaman pasangan suami isteri itu menyadarkan saya.
Untuk dapat mengobarkan api iman, api cintaku pada Allah, maka kuncinya adalah membangun relasi personal dengan Allah.
Bukan hanya sekedar rutinitas doa dan beribadat, tetapi membangun rasa dalam doa-doa pribadi.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Lukas: “Aku datang melemparkan api ke bumi dan betapa Kudamba agar api itu selalu menyala.”
Bagaimana dengan aku?
Dengan cara apa aku mengobarkan api cintaku?