Mengolah Keheningan Batin Untuk Menghadirkan Gereja Yang Inklusif, Inovatif Dan Transformatif Bersumber Dari Kerahiman Allah

0
1,586 views

Sebuah Pengantar Menyambut Temu Kebatinan XXIX (20-21 Februari 2016)

TEMU KEBATINAN (Tebat) Katolik ke-29 akan segera diselenggarakan oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Kom HAK KAS). Tepatnya, Tebat XXIX akan diselenggarakan di aula kompleks Gua Maria Kerep Ambarawa (GMKA). Sebagaimana sudah diketahui banyak orang, GMKA menjadi tempat peziarahan tak hanya bagi umat Katolik, tetapi juga bagi umat dari agama lain (termasuk Islam dan Kristen Protestan), apalagi sejak hadirnya Patung Maria Assumpta, yang oleh mendiang Mgr. Johannes Pujasumarta diimani sebagai simbol Maria Bunda Pemersatu bagi semua orang (tak hanya yang berkehendak baik, tetapi juga yang bahkan tidak berkehendak baik sekalipun agar menjadi baik berkat doa Sang Bunda Maria Assumpta). Tebat akan dilaksanakan pada hari Sabtu-Minggu, tanggal 20-21 Februari 2016, dari pukul 16.00 Sabtu hingga pukul 13.00 Minggu. [Bagi yang berminat ikut silahkan menghubungi via sms di 087831987418 atau 0811299695, pendaftaran diperlukan untuk mempersiapkan konsumsi berupa snack dua kali dan makan tiga kali.]

Sejak delapan tahun terakhir, forum Tebat Katolik menjadi forum katekese umat sesuai dengan dinamika (ombyaking) Gereja Keuskupan Agung Semarang (KAS) dengan mengangkat fokus pastoral tahunan KAS sebagai tema-tema yang dibahas, didalami dan direnungkan. Juga, enam atau tujuh tahun terakhir ini, tempat yang dipilih untuk penyelenggaraan Tebat adalah kompleks GMKA yang lebih memadahi baik secara rohani maupun jasmani. Secara rohani, banyak tempat bisa dipilih untuk berdoa dan berhening batin – ada Gua Maria, ada Kapel Adorasi Ekaristi Abadi, dan kini ada Patung Maria Assumpta – serta secara jasmani ada pula aula yang representatif, ruang untuk beristirahat, dan warung-warung para penjual makanan bila ada yang memerlukan untuk tetap menjaga stamina kesehatan badan. Kebanyakan dari para penjual ini tidak beragama Katolik. Mereka “terberkati” di bawah naungan Bunda Maria (Assumpta).

Tebat biasanya dihadiri rerata antara 200 – 500 Umat dari berbagai tempat, baik dari KAS maupun luar KAS. Mereka terdiri dari kelompok “pamendem” Tebat, “pandhemen” Tebat maupun para “simpatisan” yang datang dan pergi. Para “pamendem” Tebat adalah mereka yang sejak awal merintis, memulai dan terus merawat forum perjumpaan ini untuk mengolah keheningan batin dalam rangka menjalankan tugas perutusan sesuai dengan panggilan dan kharisma masing-masing. Para “pandhemen” Tebat adalah mereka yang selalu hadir dalam forum tersebut, meski bukan perintis atau pemulai forum ini, dan mereka pun setia hadir dalam setiap Tebat yang diselenggarakan, bahkan bila tidak bisa hadir, mereka mengirimkan kabar berita ketidakhadiran tersebut entah melalui SMS, BBM atau WA dan merasa menyesal bahwa karena satu dan lain hal tidak bisa mengikuti acara Tebat. Sedangkan para “simpatisan” adalah umat yang kadang ikut kadang tidak maka datang dan pergi tanpa pemberitahuan namun mereka bersimpati akan forum ini. Para”simpatisan” ada yang kemudian masuk dalam kategori “pandhemen” setelah mereka membangun komitmen untuk selalu hadir mengikuti setiap Tebat yang diselenggarakan. Semoga pula menjadi “pamendem” setia di kemudian hari.

Semula, Tebat yang sudah dimulai sejak tahun 1998 ini dilaksanakan setahun sekali saja. Namun di kemudian hari, karena permintaan para “pamendem”dan “pandhemen”, Tebat diselenggarakan dua kali setahun; pada Minggu III bulan Februari/Maret dan pada Minggu III bulan Oktober dengan tempat yang tetap di Aula Gua Maria Kerep Ambarawa (GMKA). Variasi mulai tahun lalu, Tebat juga dilaksanakan di halaman Patung Maria Assumpta dalam rangka gelar budaya lintasagama yang diikuti dari agama Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, Kristen Protestan dan tentu saja Kristen Katolik. Itu gebrakan dan gerakan positif sejak adanya Patung Maria Assumpta di kompleks GMKA. Melalui forum Tebat Katolik, GMKA dan Patung Maria Assumpta menjadi media dan medan untuk membangun dan menghayati kerukunan dan persaudaraan sejati lintasagama. [Mohon maaf, tidak seperti yang “diprihatinkan” oleh orang tertentu yang “menghakimi” bahwa Patung Maria Assumpta dan GMKA akan menjadi batu sandungan atau pemicu kekerasan dan kecemburuan sosial dan agama bagi masyarakat setempat sebagaimana “dipicu” oleh tulisan Romo Franz Magnis Suseno SJ di MajalahHIDUP. “Penghakiman” itu justru telah melukai kehendak baik banyak orang dengan segala keikhlasan mereka sebab disampaikan tanpa memperhatikan etika dan rasa hormat pada martabat sesama – maka tidak perlu ditanggapi secara khusus, justru lebih baik dipahami, dimengerti dan didoakan saja – sebab yang disampaikan jauh dari realitas yang sesungguhnya terjadi di kenyataan. Alih-alih dikhawatirkan menjadi pemicu ketidakharmonisan antarumat beragama, kehadiran Patung Maria Assumpta justru menjadi pemersatu dari berbagai kalangan dan menjadi berkat bagi masyarakat, terutama simbok-simbok bakul yang mencari rejeki di bawah naungan Bunda Maria Asumpta. Bahkan, seminggu menjelang peresmian dan pemberkatan Patung Maria Assumpta tersebut, saya sendiri boleh ikut serta bersukacita bersama para kiai, ulama setempat, dan para penari sufi yang turut memohonkan berkat agar proses peresmian dan pemberkatan Patung Maria Assumpta berjalan seturut dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Sejumlah kiai, ulama, tokoh agama dan masyarakat setempat, Ambarawa, Semarang, dan Salatiga turut hadir pada kesempatan tersebut.]

RIKAS 2016-2035 & ARDAS KAS 2016-2020 dalam Bingkai Kerahiman Allah

Sekarang ini, Keuskupan Agung Semarang memiliki Rencana Induk KAS (RIKAS) 2016-2035 dengan visi terwujudnya peradaban kasih dalam masyarakat Indonesia yang sejahtera, bermartabat dan beriman. RIKAS 2016-2035 sudah dipromulgasikan pada tanggal 08 Desember 2015 yang lalu pada Hari Raya St. Maria Dikandung Tanpa Noda, yang sekaligus ditetapkan Paus Fransiskus sebagai Pembukaan Tahun Yubileum Kerahiman Allah. Tahun Suci Yubileum Kerahiman Allah sendiri akan berlangsung hingga pada tanggal 20 November 2016, pada Hari Raya Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Kecuali itu, tahun 2016-2020, KAS juga mencanangkan Arah Dasar Umat Allah (ARDAS KAS) yang baru. ARDAS KAS 2016-2020 mengajak kita untuk menghadirkan Gereja yang inklusif, inovatif dan transformatif. Memadukan antara Tahun Suci Yubileum Kerahiman Allah dengan RIKAS 2016-2035 dan ARDAS 2016-2020, sepanjang tahun 2016 ini, kita semua diajak untuk mengembangkan Kerahiman Allah dalam Belarasa yang Nyata sebagai tema dan bingkai seluruh karya pelayanan kita.

Dalam konteks semua itulah, maka, Temu Kebatinan (Tebat) Katolik yang ke-29 ini mengambil tema Mengolah Keheningan Batin untuk Menghadirkan Gereja yang Inklusif, Inovatif dan Transformatif Bersumber dari Kerahiman Allah.Kerahiman Allah jelas menjadi sumber pengalaman hidup kita sebagai orang Katolik. Kerahiman Allah itu terpancar dalam kehidupan Yesus Kristus sendiri. Sebagaimana diterangkan oleh Paus Fransiskus dalam Bulla Misericordiae Vultus (MV), “Yesus Kristus adalah wajah kerahiman Bapa. Kata-kata ini mungkin juga merangkum misteri iman Kristiani. Kerahiman telah menjadi hidup dan kasat mata dalam Yesus dari Nazaret, mencapai puncaknya dalam diri-Nya. Bapa yang ‘kaya dengan kerahiman’ (Ef 2:4), setelah menyatakan nama-Nya kepada Musa sebagai ‘Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya’ (Kel 34:6), tidak pernah berhenti menunjukkan, dalam berbagai cara sepanjang sejarah, kodrat ilahi-Nya. Dalam ‘kegenapan waktu’ (Gal 4:4), ketika segalanya telah diatur sesuai dengan rencana keselamatan-Nya, Ia mengutus Putra-Nya ke dalam dunia, yang lahir dari Perawan Maria, untuk menyatakan kasih-Nya bagi kita dalam sebuah cara yang definitf. Siapa pun yang melihat Yesus melihat Bapa (Yoh 14:9). Yesus dari Nazaret, dengan kata-kata-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan seluruh pribadi-Nya menyatakan kerahiman Allah.” (MV 1).

Selanjutnya, Paus Fransiskus mengajak kita untuk terus-menerus merenungkan misteri kerahiman Allah. “Ia adalah sumber sukacita, ketenangan, dan kedamaian. Keselamatan kita tergantung padanya. Kerahiman, kata tersebut mengungkapkan sungguh-sungguh misteri Tritunggal Mahakudus. Kerahiman adalah tindakan utama dan tertinggi yang olehnya Allah datang untuk menemui kita. Kerahiman merupakan hukum dasar yang berdiam di dalam hati setiap orang yang memandang dengan tulus ke dalam mata saudari-saudara di jalan kehidupan. Kerahiman merupakan jembatan yang menghubungkan Allah dan manusia, membuka hati kita kepada sebuah harapan dikasihi selamanya meskipun kedosaan kita.” (MV 2)

Lalu apa kaitannya antara Kerahiman Allah dengan ARDAS KAS 2016-2020 yang mengajak kita hadir sebagai Gereja yang inklusif, inovatif dan transformatif sebagai upaya mewujudkan peradaban kasih dalam masyarakat Indonesia yang sejahtera, bermartabat dan beriman sesuai dengan visi RIKAS 2016-2035. Pertama-tama mari kita mengerti bahwa yang dimaksud dengan Gereja yang inklusif, inovatif dan transformatif adalah Gereja yang merangkul, terbuka untuk pembaruan dan memiliki daya ubah.

Meminjam ungkapan Paus Fransiskus, Gereja yang inklusif, inovatif dan transformatif adalah Gereja yang merasakan sebuah kebutuhan besar untuk menjaga Konsili Vatikan II tetap hidup. “Bersama Konsili tersebut, Gereja memasuki sebuah tahap baru sejarahnya. Para Bapa Konsili dengan sangat merasakan, sebagai sebuah nafas sejati dari Roh Kudus, sebuah kebutuhan untuk berbicara tentang Allah kepada pria dan wanita dari waktu mereka dengan sebuah cara yang lebih mudah diakses. Dinding-dinding yang terlalu panjang membuat Gereja semacam benteng yang dirobohkan dan waktunya telah tiba untuk memberitakan Injil dengan sebuah cara baru. Ia adalah sebuah tahap baru penginjilan yang sama yang telah ada sejak awal. Ia adalah sebuah usaha yang menyegarkan bagi semua orang Kristiani untuk menjadi saksi bagi iman mereka dengan antusiasme dan keyakinan yang lebih besar. Gereja merasakan sebuah tanggung jawab untuk menjadi sebuah tanda hidup dari kasih Bapa di dunia” (MV 4).

Meminjam pidato pembukaan Konsili Vatikan II yang disampaikan oleh St. Yohanes XXIII (sebagaimana pula dikutip oleh Paus Fransiskus dalam MV 4), Gereja yang inklusif, inovatif dan transformatif adalah Gereja yang “ingin menggunakan obat kerahiman ketimbang mengangkat senjata kekejaman… Gereja Katolik ingin menunjukkan dirinya seorang ibu yang penuh kasih bagi semua orang, sabar, baik, tergerak oleh belas kasihan dan kebaikan terhadap anak-anaknya yang terpisah.”

Gereja yang inklusif, inovatif dan transformatif juga bisa ditempatkan dalam kalimat-kalimat Beato Paulus VI (juga dikutip oleh Paus Fransiskus dalam MV 4) saat menutup Konsili Vatikan II, yakni Gereja “yang lebih memilih untuk menunjukkan bagaimana amal telah menjadi ciri religius utama Konsili ini.. cerita lama tentang orang Samaria yang baik telah menjadi model spiritualitas Konsili …sebuah gelombang kasih sayang dan kekaguman mengalir dari Konsili atas dunia modern umat manusia… Alih-alih menekankan diagnosis, mendorong pengobatan, alih-alih dugaan-dugaan yang mengerikan, pesan-pesan kepercayaan dikeluarkan dari Konsili kepada dunia masa kini. Nilai-nilai dunia modern tidak hanya dihormati tetapi dijunjung, upaya-upayanya disetujui, aspirasi-aspirasinya dimurnikan dan diberkati…”

Kerahiman Allah dan Tema Tebat XXIX

Mengolah Keheningan Batin untuk Menghadirkan Gereja yang Inklusif, Inovatif dan Transformatif Bersumber dari Kerahiman Allah. Itulah tema Tebat ke-29 kali ini. Dengan tema itu, para“pamendem”, “pandhemen” dan “simpatisan” Tebat Katolik diajak untuk memahami dan menghayati dinamika tak hanya dalam tataran KAS, melainkan juga Gereja Universal.

Apa itu kerahiman Allah? Dengan segala kearifannya Paus Fransiskus, menerangkan, “Sepanjang sejarah umat manusia, Allah akan selalu merupakan Dia yang hadir, dekat, ingat akan hari esok, suci dan penuh kerahiman. Kerahiman Allah bukanlah sebuah gagasan tak berwujud, tetapi sebuah realitas nyata yang melaluinya Ia menyatakan kasih-Nya seperti yang dilakukan oleh seorang ayah atau seorang ibu, yang bergerak menuju kedalaman demi kasih bagi anak mereka. Tidaklah berlebihan dikatakan bahwa ini adalah sebuah kasih ‘mendalam’. Ia menyembur keluar dari kedalaman secara alami, penuh kelembutan dan kasih sayang, indulgensi dan kerahiman.” (MV 6).

Pusat dan wajah kerahiman Allah tampak dan hadir dalam diri Yesus Kristus. Maka, Yesus Kristuslah wajah kerahiman Allah. Paus Fransiskus menerangkan lagi, “Dengan mata yang tertuju kepada Yesus dan tatapan-Nya yang penuh kerahiman, kita mengalami kasih Tritunggal Mahakudus. Perutusan Yesus yang diterima dari Bapa adalah perutusan pengungkapan misteri kasih ilahi dalam kepenuhannya. ‘Allah adalah kasih’ (1Yoh 4:8,16), Yohanes menegaskan untuk pertama dan satu-satunya dalam seluruh Kitab Suci. Kasih itu sekarang telah dibuat terlihat dan nyata dalam seluruh kehidupan Yesus. Pribadi-Nya hanyalah kasih, sebuah kasih yang diberikan secara cuma-cuma. Hubungan-hubungan yang Ia bentuk dengan orang-orang yang mendekati-Nya mengejawantahkan sesuatu yang nyata sepenuhnya unik dan tak dapat diulang. Tanda-tanda yang Ia kerjakan, terutama dalam menghadapi orang-orang berdosa, orang-orang miskin, kaum marjinal, orang-orang sakit, dan orang-orang menderita, semua dimaksudkan untuk mengajarkan kerahiman. Segala sesuatu di dalam diri-Nya berbicara tentang kerahiman. Tidak ada satu pun dalam diri-Nya sama sekali tanpa belas kasihan dan kerahiman.” (MV 8).

Gereja yang inklusif, inovatif dan transformatif harus bersumber dari kerahiman Allah. Itu benar dan tepat. Paus Fransiskus menjelaskan, “Kerahiman merupakan dasar dari kehidupan Gereja. Seluruh kegiatan pastoralnya harus tenggelam dalam kelembutan yang dihadirkannya bagi orang-orang percaya; tidak ada dalam pewartaannya dan dalam kesaksiannya kepada dunia dapat kurang dalam kerahiman. Kredibilitas Gereja terlihat dalam bagaimana ia menunjukkan kasih yang penuh kerahiman dan berbelas kasihan…” (MV 10).

Tentang kaitan antara Gereja dan kerahiman Allah, Santo Yohanes Paulus II (sebagaimana dikutip Paus Fransiskus dalam MV 11) menulis, “Gereja menghayati sebuah kehidupan yang otentik ketika ia mengakukan dan mewartakan kerahiman – sifat yang paling luar biasa dari Sang Pencipta dan Sang Penebus – dan ketika ia membawa orang-orang dekat dengan sumber kerahiman Sang Juru Selamat, adalah sang wali dan sang pemberi.”

Selanjutnya, Paus Fransiskus menerangkan,”Gereja ditugaskan untuk mewartakan kerahiman Allah, detak jantung Injil, yang dengan caranya sendiri harus menembus hati dan pikiran setiap orang. .. Cara bicaranya dan tindakannya harus meneruskan kerahiman, sehingga menyentuh hati semua orang dan mengilhami mereka sekali lagi untuk menemukan  jalan yang mengarah kepada Bapa. ..

Kebenaran pertama Gereja adalah kasih Kristus. Gereja menjadikan dirinya seorang hamba dari kasih ini dan mengantarainya kepada semua orang: sebuah kasih yang mengampuni dan mengungkapkan dirinya sendiri dalam karunia dirinya. Akibatnya, di mana pun Gereja hadir, kerahiman Bapa harus nyata….” (MV 12).

Dengan begitu, Gereja hadir secara inklusif, inovatif dan transformatif bersumber dari kerahiman Allah sendiri. Ciri-ciri Gereja yang inklusif, inovatif dan transformatif bersumber dari kerahiman Allah adalah (1) “Murah hati seperti Bapa” (MV 13), itulah yang bahkan menjadi motto Tahun Suci ini (14); (2) “tidak menghakimi dan tidak menghukum. … Berapa banyak kata-kata membahayakan dilakukan ketika orang termotivasi oleh rasa cemburu dan iri hati! Menjelekkan orang lain menempatkan orang dalam sebuah terang yang buruk, merusak reputasi dan menjadikan orang mangsa bergosip” (MV 14); (3) “membuka hati kita untuk mereka yang tinggal di pinggiran terluar masyarakat; menyembuhkan luka-luka mereka yang tersingkir; membuka mata melihat penderitaan dunia” (MV 15).

Ada dua model kerahiman yang ditawarkan oleh Paus Fransiskus. Pertama, karya jasmani kerahiman: memberi makan yang lapar, memberi minum yang haus, memberi pakaian yang telanjang, menyambut orang asing, menyembuhkan yang sakit, mengunjungi yang dipenjara, dan mengubur orang mati. Kedua, karya rohani kerahiman:menasihati yang bimbang, mengajari yang bebal, menegur yang berdosa, menghibur yang menderita, mengampuni yang bersalah, menanggung dengan sabar yang berbuat jahat kepada kita, dan mendoakan yang hidup dan yang mati (MV 15). Itulah tindakan kerahiman yang harus kita lakukan dengan setia (MV 16).

Secara khusus, Gereja dipanggil untuk menjadi tanda perdamaian dengan memberi ruang untuk sakramen pengampunan secara melimpah. Hal ini diuraikan Paus Fransiskus secara panjang lebar dalam MV 17. Bahkan Paus akan mengutus para Misionaris Kerahiman kepada seluruh umat beriman (MV 18)

Bersumber dari kerahiman Allah, Gereja yang inklusif, inovatif dan transformatif diharapkan membawa pesan kerahiman agar “menjangkau semua orang, dan tidak ada yang tidak mempedulikan panggilan untuk mengalami kerahiman. .. Jangan jatuh ke dalam perangkap berpikir yang mengerikan bahwa kehidupan tergantung pada uang dan bahwa dibandingkan dengan uang hal apa pun tidak bernilai dan bermartabat. … Maka jangan tergoda untuk korupsi. Luka bernanah korupsi ini adalah sebuah dosa berat yang menghancurkan dan menginjak-injak orang yang paling miskin dari antara yang miskin.” (MV 19).

Paus juga menegaskan bahwa “Kerahiman tidak menentang keadilan melainkan mengungkapkan cara Allah untuk menjangkau semua orang berdosa, menawarkan kepadanya sebuah kesempatan baru untuk melihat diri-Nya, bertobat dan percaya…. Keadilan Allah adalah kerahiman-Nya yang diberikan kepada semua orang sebagai rahmat yang mengalir dari kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.” (selengkapnya lihat MV 20-21). Kerahiman Allah juga ditandai dengan rahmat indulgensi yang ditawarkan kepada umat-Nya. Marilah kita menghidupi Yubileum ini dengan intensif, memohon Bapa untuk mengampuni dosa-dosa kita dan untuk memandikan kita dalam ‘indulgensi’-Nya yang penuh kerahiman. (lih. MV 22).

Kerahiman Allah dan Dialog Antarumat Beragama

Gereja yang inklusif, inovatif dan transformatif yang bersumber pada kerahiman Allah menjangkau siapa saja dan di mana saja. Paus Fransiskus mengajarkan bahwa “ada aspek kerahiman yang melampaui batas-batas Gereja. Ia mengaitkan kita kepada Yudaisme dan Islam, keduanya menganggap kerahiman adalah salah satu sifat Allah yang paling penting. Israel adalah yang pertama menerima pewahyuan ini yang berlanjut dalam sejarah sebagai sumber dari sebuah kekayaan yang tak habis-habisnya yang dimaksudkan untuk dibagikan dengan seluruh umat manusia.

Di antara nama-nama istimewa yang dikenakan Islam kepada Sang Pencipta adalah ‘Penuh Kerahiman dan Baik’. Permohonan ini sering berada di bibir umat Muslim yang merasakan diri mereka didampingi dan ditopang oleh kerahiman dalam kelemahan mereka sehari-hari. Mereka juga percaya bahwa tidak ada yang dapat menempatkan sebuah batasan pada kerahiman ilahi karena pintunya selalu terbuka.” (MV 23).

Lebih lanjut, Paus Fransiskus menegaskan,“Saya percaya bahwa tahun Yubileum merayakan kerahiman Allah ini akan menumbuhkan sebuah perjumpaan dengan agama-agama ini dan dengan tradisi-tradisi agama mulia lainnya; semoga kerahiman Allah membuka kita untuk lebih kuat berdialog sehingga kita bisa saling mengenal dan memahami dengan lebih baik; semoga kerahiman Allah menghilangkan segala bentuk ketertutupan pikiran dan ketidakharmonisan, dan mengusir setiap bentuk kekerasan dan diskriminasi.” (MV 23).

Seturut Teladan Bunda Maria (Assumpta)

Kerinduan dan harapan Paus Fransiskus agar kerahiman Allah menumbuhkan sebuah perjumpaan dengan agama-agama lain dalam arti tertentu sudah terbukti dan terhayati melalui kehadiran GMKA dan Patung Maria Assumpta di kompleks GMKA. Tempat ziarah ini telah menjadi tempat yang terbuka menerima siapa saja tanpa diskriminasi dan menjadi tempat perjumpaan pula berbagai umat beriman dari latar belakang tradisi dan keagamaan masing-masing. Tebat Katolik sendiri yang diselenggarakan di kompleks GMKA, menjadi forum dan ruang untuk perjumpaan itu. Di tempat ini, Tebat Katolik yang kita selenggarakan telah menghadirkan berbagai Narasumber dari berbagai kalangan dan latar belakang keagamaan. Misalnya, Bikkhu Nyana Suryanadi dari agama Buddha. Dari agama Islam yang pernah menjadi Narasumber dalam delapan tahun terakhir misalnya, Sri Sultan Hamengku Buwono X Yogyakarta, Sinuwun Tejowulan Surakarta, DYMM Sri Sultan Surya Alam Joyokusuma Sultan Demak II, Kiai Budi Harjono Al Jawi Pengasuh Pondok Pesantren Al Islah Tembalang, Ustadz Yusuf Daud dari Surabaya, Haji Mulyono Tjandra – pengurus Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dan Timur Sinar Suprabana. Narasumber lain yang bukan dari agama Katolik misalnya, Kang Gunretno (dari Agama Adam atau dikenal Sedulur Sikep atau Wong Samin, aliran Kepercayaan yang masih hidup di Pertiwi ini), dan Harjanto Halim – Budayawan Pasar Semawis Pecinan Semarang. Dan seperti yang sudah saya sebutkan pada awal tulisan ini, tahun yang lalu pada kesempatan Tebat ke-28, di pelataran Patung Maria Assumpta diselenggarakan Gelar Budaya Lintasiman yang melibatkan umat Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, Kristen Protestan dan Kristen Katolik sendiri. Dalam Tebat ke-29 ini pun hadir pula Dr. Haji Abu Rokhmad dari Majelis Ulama Indonesia Wilayah Jawa Tengah yang juga Dosen Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang dan Anggota Forum Kerukunan Umat Beragama Jawa Tengah sebagai nara sumber untuk menggali aspek dan sifat Kerahiman Allah menurut tradisi agama Islam.

Dengan demikian, kompleks GMKA dan Patung Maria Assumpta yang menjadi representasi Bunda Maria, yang oleh Paus Fransiskus disebut sebagai Bunda Kerahiman, telah menjadi pemersatu anak-anak manusia dari berbagai agama. Bukan kompleks sebagai tempat yang mempersatukan, namun Bunda Maria Assumpta yang dihadirkan sebagai simbol Bunda Pemersatu oleh mendiang Mgr. Johannes Pujasumarta sendirilah yang telah mempersatukan putri-putranya dari berbagai tradisi dan latar belakang keagamaan yang ada dalam kerukunan dan persaudaraan yang nyata.

Di sinilah, doa dan harapan Paus Fransiskus terbukti dan menjadi nyata saat Bapa Suci berseru, “Pikiran saya sekarang beralih kepada Bunda Kerahiman. Semoga kemanisan roman mukanya mengawasi kita di Tahun Suci ini, sehingga kita semua dapat menemukan kembali sukacita kelembutan Allah. Tidak ada yang telah menembus misteri mendalam dari Penjelmaan seperti Maria. Seluruh kehidupannya terpola setelah kehadiran kerahiman yang menjadi manusia. Bunda dari Dia yang Tersalib dan Bangkit telah memasuki tempat kudus kerahiman ilahi karena ia ikut serta secara intim dalam misteri kasih-Nya.

Dipilih untuk menjadi Bunda dari Putra Allah, Maria, sejak awal, dipersiapkan oleh kasih Allah untuk menjadi Tabut Perjanjian antara Allah dan manusia. Ia menyimpan kerahiman ilahi dalam hatinya dalam keselarasan yang sempurna dengan Putranya Yesus. Kidung pujiannya, yang dinyanyikan di ambang rumah Elisabet, didedikasikan bagi kerahiman Allah yang membentang dari ‘generasi ke generasi’ (Luk 1:50). Kita juga termasukkan dalam kata-kata nubuatan Perawan Maria. Ini akan menjadi sebuah sumber penghiburan dan kekuatan bagi kita karena kita melintasi ambang Tahun Suci untuk mengalami buah-buah kerahiman ilahi.” (MV 24).

Maka dari itu, mari sesuai dengan tema Tebat ke-29 ini, kita mengolah keheningan batin untuk menghadirkan Gereja yang inovatif, inklusif dan transformatif bersumber dari Kerahiman Allah sendiri. Kita bisa belajar dari keheningan Bunda Maria Assumpta, Bunda Kerahiman yang dari hati yang jernih, budi bening, jiwa bersih dan batin hening agar bisa menjadi umat beriman yang sejahtera, bermartabat dan beriman sebagai wujud peradaban kasih di antara kita. Dialah Sang Bunda Kerahiman yang telah dimuliakan di sorga maka disebut Maria Assumpta yang dari bibirnya yang suci tak pernah menghakimi apalagi mengalirkan kata-kata penuh syak wasangka kepada sesama dengan sikap sok tahu dan kesombongannya. Tak ada sama sekali warna negatif dalam hidupnya karena Sang Bunda telah menjadi model kehadiran Gereja yang inklusif, inovatif dan transformatif demi terwujudnya peradaban kasih bagi masyarakat yang sejahtera, bermartabat dan beriman sebagaimana terjadi dalam Pesta Perkawinan di Kana, saat menginspirasi Yesus untuk membuat mujizat-Nya yang pertama, mengubah air menjadi anggur; bukan sebaliknya!

Akhirnya, terima kasih kepada Romo Franciscus Xaverius Sukendar Wignyosumarta, Pr dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Uskup Keuskupan Agung Semarang, yang telah berkenan menjadi narasumber untuk Tebat ke-29. Terima kasih pula kepada sahabat saya, Dr. Abu Rokhmad, yang juga berkenan menjadi narasumber pada kesempatan ini dengan membuka wawasan kita tentang Kerahiman Allah dalam perspektif agama Islam.

Terima kasih kepada para “pamendem”, “pandhemen”dan “simpatisan” forum Temu Kebatinan Katolik Keuskupan Agung Semarang yang selalu setia terlibat dalam forum ini. Terima kasih kepada Panitia Tim Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang yang selalu tulus ikhlas mempersiapkan setiap acara dan dinamika Tebat dari waktu ke waktu. Terima kasih kepada Tim MajalahINSPIRASI, Lentera yang Membebaskan, yang sejak delapan tahun terakhir ini menjadi bagian dari pendukung untuk penyelenggaraan Tebat ini.

Akhirnya, sebagaimana diserukan Paus Fransiskus, “Semoga Gereja menggemakan sabda Allah yang berkumandang kuat dan jelas sebagai sebuah pesan dan sebuah tanda pengampunan, kekuatan, bantuan dan kasih. Semoga ia tidak pernah lelah memperluas kerahiman, serta senantiasa sabar dalam menawarkan kasih sayang dan kenyamanan. Semoga Gereja menjadi suara setiap pria dan wanita, dan mengulanginya dengan percaya diri tanpa akhir: ‘Ingatlah segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya Tuhan, sebab semuanya itu sudah ada sejak purbakala’ (Mzm 25:6)” (MV 25). Dan siapakah “Gereja” itu? Tidak lain adalah saya dan Anda yang dipanggil menjadi pewarta dan pelaku kerahiman Allah, saya dan Anda, kita sebagai putra-putri Bapa yang mesti mencerminkan pula sifat-sifat Bapa dalam diri kita, kendati kelemahan, kerapuhan dan kedosaan kita! Berkah Dalem!

Girlan Ungaran,
Pada HUT-ku yang ke-48
Di Hari Kasih Sayang, 14 Februari 2016
Aloys Budi Purnomo Pr

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here