Menguji Kesetiaan dalam Profesi Agung Benediktin (2)
MENURUT tradisi Biara Benediktin, acara prosesi pengucapan kaul kekal seorang rahib Benediktin ini berlangsung sangat khitmat dan indah. Tentu saja juga mengharukan, karena prosesi ini membawa kita pada sebuah permenungan rohani yang dalam. Terutama, ketika di zaman modern ini komitmen dan kesetiaan semakin menjadi “barang langka” di tata pergaulan antarmanusia yang gampang melupakan komitmen.
Profesi monastik sungguh menjadi sebuah “saksi hidup” dimana ada orang-orang mau membaktikan hidup dan mengikatkan diri seumur hidup pada kelompok hidup bakti. Profesi monastik menjadi “saksi” akan kesediaan manusia mau mengikatkan diri kepada Allah.
Tindakan “menandatangani” naskah perjanjian diri akan hidup kekal menjalani hidup bakti itu juga merupakan lambang bagaimana hidup sang rahib –sebagaimana ekaristi—secara total dipersembahkan kepada Allah. Non nobis Domine, non nobis, sed nomini tuo da gloriam (Bukan kepada kami, bukan kepada kami, ya Tuhan, melainkan kepada nama-Mu berikanlah kemuliaan (Mz 113:9).
Bukankah semestinya kita harus memersembahkan diri kepada Allah semata? Ini benar, karena dalam hal ini kehidupan para rahib Benediktin sebenarnya tak beda dengan kehidupan para awam katolik pada umumnya. Yang berbeda hanyalah “cara” menjalani kehidupan itu dalam kesehariannya.
Lilin bercahaya
Tradisi liturgis Gereja Katolik dimana pun selalu mengakrabi lilin. Kehadiran lilin sepertinya tak pernah bisa ditinggalkan dalam setiap kegiatan berdoa dan apalagi ibadat liturgi. Lilin-lilin dinyalakan dan menjadikan gelap mendapatkan pendaran sinar yang menerangi ruangan gelap.
Lilin menjadi terang dalam kegelapan. Keberadaan lilin yang merupakan hasil sejarah begitu panjang tentang upaya manusia mendapatkan pendaran sinar terang dalam suasana gelap menghadirkan makna khusus dalam setiap upacara liturgi.
Tak terkecuali dalam prosesi pengucapan Kaul Agung dalam tradisi Biara Benediktin. Dalam kegelapan ketika listrik mulai byar pet, orang segera mencari lilin sebagai ganti penerangan sementara. Meski orang-orang kota sudah mengakrabi rechargable light, namun lilin tetap menjadi pilihan paling cepat dan praktis bagi banyak orang di pedesaan manakala tiba-tiba aliran listrik produksi PLN tidak lagi suka mengunjungi para pelanggannya alias oglangan.
Lilin merupakan simbol terang yang menerangi kehidupan manusia. Ia menjadi cahaya kehidupan. Namun tak semua lilin yang dinyalakan untuk keperluan menerangi ruangan, mengusir kegelapan. Kehadiran seorang rahib ibarat datangnya terang dalam kehidupan umat manusia.
Namun, lilin yang dinyalakan orang pada saat ulang tahun jelas bukan demi tujuan ingin menerangi ruangan.Lilin ini adalah lambang sukacita, kegembiraan, dan harapan akan masa depan yang cerah.
Lilin dalam ekaristi menjadi simbol akan kemuliaan Tuhan. Dua lilin yang menyala dibawa akolit untuk mengiringi pembacaan Injil. Ini menandakan kehadiran Allah yang berkuasa, bersabda dan menyelenggarakan kehidupan kita. Lilin menerangi kita, memberi kita akan kehidupan penuh berkat dan kehangatan cintaNya. (Selesai).
Frater Ignazio Prakarsa OSB, rahib Benediktin asal Indonesia menjalani hidup monastik di Biara San Benedetto Norcia, Perugia, Italia.
Mathias Hariyadi, penulis dan anggota Redaksi Sesawi.Net.