MASA Prapaska di Australia diisi antara lain dengan program compassion project yang diorganisir Caritas Australia. Kegiatan ini sudah menjadi semacam “tradisi” gereja lokal di sini sejak lama. Setiap awal masa prapaskah, di semua gereja katolik disediakan kotak karton yg bisa menjadi celengan. Umat membawanya pulang, mengisinya dan kemudian mengembalikan setelah Paska.
Bagi pembayar pajak yang ingin mendapatkan keringanan bayar pajak, maka besarnya donasi yang telah diberikan bisa menjadi alat bukti untuk dimintakan pengurangan beban membayar pajak. Caranya dengan minta tanda bukti dari pastor. Hanya saja, pada kenyataan sehari-hari, tak banyak warga paroki yang “memanfaatkan” peluang itu.
Minggu Palma
Mengikuti misa Minggu Palma di St. Ambrose, kita bisa mendapatkan pengalaman unik. Sejak tahun lalu, St. Ambrose memulai perayaan pekan suci bersama dengan gereja-gereja lain yang berdekatan di Brunswick. Upacara dimulai di halaman gereja St. Ambrose dengan doa dan nyanyian bersama dan kehadiran Trish, keledai berumur enam tahun sebagai lambang perjalanan Yesus memasuki Yerusalem. Kegiatan ritual ekumenis ini mengawali Minggu Palma dan ini mungkin satu-satunya yang bisa ditemui di Melbourne.
Lain di Indonesia, lain pula di Melbourne. Sementara dipakai daun-daun palma, umat di Melbourne menggunakan daun olive. Sungguh kebetulan pula, ketika misa Minggu Palma berlangsung juga bertepatan dengan acara panen buah olive di kebun halaman gereja. Sayang juga, buah olive tidak bisa kita makan langsung begitu dipetik. Pahit rasanya.
Kamis Putih
Misa dimulai pukul 19.30 dan berlangsung hanya satu jam. Singkat namun hidmat dan mengesan. Yang menarik bagi saya adalah acara pembasuhan kaki para rasul. Ini dilakukan berbeda dari Indonesia. Gereja St. Ambrose melakukan pembasuhan di antara bacaan, dan bukan setelah Injil dan kotbah.
Jumlah “rasul” pun hanya enam orang: tiga pria dan tiga perempuan. “Yang penting bukan jumlahnya yang 12, tapi simbolisasi pelayanan,” tutur Pastor Cassey menjawab pertanyaan saya. “Tentu saja, dengan jumlah yang kecil, juga lebih mudah mengatur komposisi duduknya di depan altar yang tidak seberapa luas,” tambahnya.
Tradisi ini sudah berlangsung sejak 10 tahun terakhir ini. Setiap tahun, “ritualnya” selalu berubah-ubah. Beberapa tahun lalu, misalnya, pernah “rasul” wanita berdiri memegang bahu suaminya yang kakinya dibasuh. Begitu selesai, gantian sang suami memegangi pundak istrinya yang kakinya tengah dibasuh. Tahun ini, Pastor Cassey menyediakan “daftar suka rela” bagi mereka yang ingin menjadi rasul.
Selepas dikumandangkan Tantum Ergo, dilanjutkan dengan adorasi tuguran dimana umat melakukan doa bersama selama 15 menit, mulai pukul 21.00.
Jumat Agung
Mengikuti ibadat Jalan Salib pada Jumat Agung, saya mendapat kesan bagus. Semua gereja di Melbourne nyaris penuh sesak. “Misa” yang biasanya berlangsung hanya satu jam, khusus di Jumat Agung berlangsung hampir dua jam. Di halaman Gereja St. Ambrose terbentang kain sepanjang 10 meter dengan hiasan gambar labirin. Umat diajak berjalan di atas bentangan kain ini, setelah sebelumnya melepas sepatu.
Umat diajak berputar mengelilingi kain itu. Inilah perjalanan ziarah, sebuah simbolisasi “ziarah batin” umat menuju Allah bak kisah Perumpamaan Anak Hilang. Gambar labirin juga dibentangkan di depan altar: semacam lambang perjalanan batin manusia kembali ke Tuhan.
St. Ambrose sungguh beruntung memiliki Tricia Murray, seorang artis yg kreatif menvisualkan ide Pastor Cassey dalam bentuk bentangan banner atau lukisan dan itu lalu diletakkan di altar selama masa Prapaskah. Setiap tahun dipilih tema berbeda. Tahun ini, paroki ini mengangkat tema ziarah.
Royani Lim, bekerja di sebuah lembaga nirlaba di Jakarta.