Sabtu, 9 Maret 2024
- Hos. 6:1-6;
- Mzm. 51:3-4,18-19,20-21ab;
- Luk. 18:9-14.
MERASA percaya diri tentu bagus. Namun, jika rasa percaya diri itu sudah kelewat batas, hingga suka merendahkan orang lain, dan menganggap dirinya paling penting, bisa jadi itu tanda gangguan kepribadian.
Meski begitu, di balik rasa percaya diri yang luar biasa itu terdapat sisi yang sangat rapuh dan mudah runtuh, bahkan hanya dengan sedikit kritikan.
Sepertinya sudah menjadi sifat dasar manusia bahwa manusia lebih suka membicarakan kekurangan orang lain dari pada kekurangan dirinya sendiri. Dan begitu pula sebaliknya, manusia lebih senang membesar-besarkan kelebihan diri sendiri, dari pada kelebihan orang lain.
“Orang yang beneran baik tidak akan menghakimi yang belum baik. Orang yang beneran ikhlas tidak akan mengungkit-ungkit yang sudah lewat. Orang yang beneran kaya tidak akan merendahkan yang masih miskin,” kata seorang bapak.
“Inilah yang terjadi pada diri kakakmu, yang sering membicarakan kekurangan adikmu. Dari omongannya terlihat bahwa kakakmu menunjukan diri bahwa dia lebih baik dari adikmu. Dia meninggikan diri dengan cara merendahkan adikmu,”ujarnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”
Yesus memberikan contoh dua orang yang pergi ke Bait Allah untuk berdoa. Mereka adalah orang Farisi dan seorang pemungut cukai. Ketika orang Farisi berdoa, ia menyatakan kalau ia tidak sama dengan pemungut cukai. Bahkan, ia memaparkan telah menunaikan kewajibannya, telah beribadah, dan memberi persepuluhan. Ia mengatakan kepada Allah bahwa ia adalah orang saleh, tidak seperti kebanyakan orang berdosa lainnya.
Dengan melakukan semua itu, ia tidak menunjukkan kesungguhan hati, melainkan keangkuhan. Ia menganggap dirinya lebih baik dari orang lain dan dirinyalah yang benar. Itu sebabnya, ia menjadi tidak menghargai orang lain.
Berbeda dengan pemungut cukai. Ia menyadari kalau dirinya orang berdosa. Ia bahkan tidak berani menengadah ke langit, melainkan memukuli diri dan meminta agar Allah mengasihaninya karena merasa dirinya tak layak. Pemungut cukai bersikap rendah hati dengan mengungkapkan pertobatannya. Oleh karena itu, Allah mengindahkannya.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku bisa menghargai kekurangan dan kelebihan sesama dan tidak memanipulasi sesama demi nama baikku?