Menjadi Keluarga yang Melayani Seturut Sabda Allah (2)

0
1,436 views
The Brooks family -- Joe, Desiree, Gabrielle and Alyssa -- pray after arriving for Sunday Mass at St. Joseph's Catholic Church in Alexandria, Va., Nov. 27. According to the first study of its kind, Black Catholics in the U.S. are highly engaged with their religion and parish life, more so than white Catholics. (CNS photo/Nancy Phelan Wiechec) (Nov. 29, 2011) See BLACK CATHOLICS Nov. 29, 2011.

Pelayanan murah hati
Dalam melayani sesama kiranya kita bisa belajar dari pengalaman keluarga Abraham. Dengan murah hati Abraham sekeluarga menyambut dan menjamu ketiga tamunya. Bahkan sebagai tuan rumah, Abraham bersikap sebagai pelayan, yang berdiri siap melayani tamu-tamunya (Kej 18:8). Makna awal diakonia adalah pelayanan di meja makan, dimana pelayan siap-sedia memenuhi kebutuhan mereka yang sedang makan.

Di sini dibutuhkan sikap peduli dan cekatan dalam melayani. Bukankah sering terjadi, orang berniat untuk melayani, namun berhenti sebatas ide dan niat baik, menunda-nunda pelaksanaannya dengan pelbagai dalih. Berkat bantuan rahmat Tuhan kita dimampukan mewujudkan kemauan dan niat-niat baik kita (bdk. Flp 2:13). Sementara yang lainnya lagi memang memberikan pelayanan, namun sayangnya tidak sesuai dengan yang dibutuhkan orang, dia sekedar melayani berdasarkan pikirannya sendiri.

Pelayanan demikian belum menjawab kebutuhan orang yang dilayani. Sikap peduli akan kebutuhan konkret orang lain, akan membantu kita memberikan pelayanan yang tepat.

Kemurahhatian Abraham berbuah manis, Sang Tamu menegaskan bahwa tahun depan Abraham akan memiliki anak. Janji Tuhan yang selama ini dinanti-nantikannya, segera terpenuhi. Tuhan sendiri, sang Tamu yang mengetahui nama istri dan dambaan hati keluarganya (Kej 18:9-10), memberikan balasan atas kemurahhatian keluarga Abraham. Hal yang senada diajarkan oleh Tuhan Yesus, bila kita berbuat baik kepada mereka yang tidak memiliki apa-apa untuk membalasnya, kita patut berbahagia karena akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar (Luk 14:14).

Rasul Paulus juga menasihati, “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah” (Gal 6:9). Siapa menabur kebaikan, akan menuai kebaikan. Namun, kita tidak tahu kapan waktunya dan juga melalui siapa dan bagaimana persisnya Tuhan mengganjar kebaikan kita saat ini. Yang pasti lantaran “pembalasan-Nya” tidak segera nampak, banyak orang kemudian kendor dalam berbuat baik; maka Paulus nasihatkan “Janganlah jemu-jemu berbuat baik!”

Selain keluarga Abraham, masih ada banyak keluarga yang menunjukkan kemurahhatian kepada sesama. Pertama, kemurahhatian yang ditujukan kepada Yesus dan para murid-Nya. Beberapa wanita mengikuti Yesus dan melayani rombongan Yesus dengan kekayaan mereka (Luk 8:3). Keluarga Maria dan Marta di Betania menjamu Yesus (Luk 10:28-45), demikian pula Zakheus (Luk 19:1-10).

Di kota Filipi Paulus dan kawan-kawannya diajak menumpang di rumah keluarga Lidia (Kis 16:15). Selanjutnya di kota Korintus pasutri Priskila dan Aquila menyambut Paulus di rumahnya dan bekerjasama membuat tenda (Kis 18:3). Penulis 3 Yoh mengajak umat untuk menyambut dan dengan murah hati menjamu para pewarta Injil keliling “supaya kita boleh mengambil bagian dalam pekerjaan mereka untuk kebenaran” (1:8).

Kedua, kemurahhatian yang ditujukan kepada mereka yang membutuhkan, seperti dilakukan oleh Tabita-Dorkas yang membuatkan baju bagi para janda di Yope (Kis 9:39) maupun oleh Kornelius sekeluarga yang banyak bersedekah untuk orang Yahudi (Kis 10:2).

Kolekte sebagai pelayanan kasih
Seperti telah kita pada bagian sebelumnya bahwa kata diakoniajuga digunakan untuk menyebut praktek pengumpulan derma atau kolekte untuk orang-orang miskin. Pemberian dana ini sebagai perwujudan semangat kasih untuk saudara seiman yang berkekurangan. Dalam hal ini kita patut mengingat perhatian Paulus pada orang-orang miskin sebagaimana dipesankan oleh para sokoguru Gereja (Gal 2:10). Bersama Barnabas, ia membawa sumbangan jemaat Antiokia bagi jemaat Yudea yang menderita karena bahaya kelaparan (lih. Kis 11:27-30).

Pada masa selanjutnya, ketika mengadakan perjalanan misi, Paulus tetap memotivasi jemaat-jemaat yang didirikannya untuk menyisihkan kolekte setiap hari pertama dalam pekan (1 Kor 16:2) yang akan dihimpun dan dikirimkan untuk pelayanan kasih bagi jemaat Yerusalem yang miskin (Rom 15:25, 2 Kor 8:19).

Paulus memuji semangat pelayanan kasih jemaaat-jemaat Makedonia yang sebenarnya sangat miskin namun kaya dalam kemurahan (2 Kor 8:2). “Dengan kerelaan sendiri mereka meminta dan mendesak kepada kami, supaya mereka juga beroleh kasih karunia untuk mengambil bagian dalam pelayanan kepada orang-orang kudus” (2 Kor 8:4). Menjadi sukacita bagi jemaat Makedonia bila boleh ambil bagian dalam pelayanan kasih ini.

Dari praktik pelayanan kasih berupa penghimpunan kolekte di atas, kiranya keluarga dan komunitas kristiani dewasa ini dapat menemukan beberapa inspirasi berharga. Pertama, dengan memberikan kolekte, mereka berpartisipasi dalam pelayanan bagi mereka yang membutuhkan. Mereka patut bersukacita karena dengan ambil bagian dalam pelayanan ini mereka mendapat kasih karunia.

Mereka memberikan sumbangan berdasarkan apa yang ada pada mereka (2 Kor 8:11-12), dengan penuh kerelaan hati, bukannya dengan sedih hati, apalagi terpaksa (2 Kor 9:7). Ini bukanlah praktek persepuluhan yang ditujukan untuk kaum Lewi, melainkan pelayanan kasih bagi orang-orang Kristen yang miskin. Kendati demikian, jumlah pelayanan kasih ini selayaknya pantas atau berpadanan dengan berkat yang telah diterima oleh keluarga (bdk. Sir 35:9).

Kedua, kolekte yang terhimpun ini pertama-tama untuk membantu mereka yang berkekurangan. Maka prioritas penggunaan dana Gereja semestinya untuk karya karitatif dan pemberdayaan umat, bukannya sekedar untuk kesemarakan ritual ibadah ataupun kemegahan gedung ibadah, karena pertama-tama yang diminta oleh Tuhan adalah mewujudkan keadilan dan kebenaran (Am 5:21-24).

Bukankah sering terjadi Pastor dan Dewan Pastoral Parokinya begitu bangga dengan aneka aset dan deposito yang mereka miliki dan dana abadi yang mereka himpun, namun lupa dengan intentio dantis umat yang memberikan sumbangan. Maka menjadi pertanyaan reflektif, dari aneka sumbangan dana umat itu sejauhmana telah disalurkan untuk aneka kegiatan karitatif dan pemberdayaan? Saya sangat terkesan dengan apa yang dilakukan oleh Gereja Italia, dimana mereka menyediakan tempat-tempat yang memungkinkan orang-orang miskin bisa mengambil jatah makanannya secara gratis. Setiap hari.

Ketiga, pelayanan kasih ini ditujukan kepada jemaat-jemaat lain yang sangat membutuhkan. Di sini terbangun semangat solidaritas dan kesatuan sebagai satu tubuh. Menjadi pertanyaan bagi paroki-paroki kaya di Indonesia, apakah mereka juga mau solider dan berbagi dengan paroki-paroki terpencil lintas keuskupan yang kolektenya saja tidak mencukupi untuk operasional pastoral? Dana yang terhimpun memang dari keluarga-keluarga yang bersemangat pelayanan kasih, namun penyalurannya ditentukan oleh kebijakan Pastor Paroki dan Dewan Pastoral Parokinya.

Sumber: www.imankatolik.or.id

Kredit foto: Ilustrasi (Ist)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here