Menjadi Miskin Itu Sangat Menyakitkan

0
715 views
Ilustrasi: Orang miskin di sebuah terminal bus di Kamboja. (Mathias Hariyadi)

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN

Selasa, 22 Juni 2021

Tema: Miskin itu menyakitkan

  • Bacaan Kej 14: 2, 5-18
  • Mat. 7: 6, 12-14

PROSES menjadi manusia tidaklah segampang yang diangankan.

Manusia tinggal memilih. Menjadi berkat atau menjalani hidup dengan penyesalan.

Semua itu pilihan bebas manusia: untuk apa ia diciptakan, dan kemana ia akan kembali. Setiap saat, setiap detik ia dapat hidup lebih dekat pada rahmat atau sebaliknya.

Keputusan-keputusan yang diambil apakah mendatangkan rahmat; menikmati sukacita atau sebaliknya.

Abraham dengan sadar dan tulus mengubah dan mewujudkan imannya akan Yahwe. Dari berkat yang diterima menjadi sembah syukur di mezbah mulia. Lih ay 14-18.

“Saya agak gagal mendidik anak-anak,” kata seorang bapak. “Anak-anak tidak menjadi pribadi yang kami harapkan. Dengan memanjakan, kami menjerumuskan masa depan mereka.”

“Maksudnya bagaimana Pak? Bukankah usia senja adalah saat di mana orang boleh beristirahat dari segala kesibukan dunia? Bisa menikmati waktu-waktu tenang bersama Tuhan dan keluarga; menata ulang hidup dengan lebih baik,” kataku heran.

“Itulah soalnya, Romo.”

“Saya sudah tua. Hidup dalam kecemasan, kekhawatiran. Anak-anak tidak dapat mandiri. Kematangan pribadi labil. Ekonomi tergantung kami. Tidak bisa kerja. Gampangkan dan malas.

Saya dari keluarga miskin. Adik-adik perempuan saya tidak melanjutkan pendidikan demi saya.

Seluruh usaha orangtua saya diperuntukkan bagi pendidikan tinggi saya. Saya lulus dan mendapat pekerjaan yang menjanjikan.

Saya bekerja sebaik mungkin, jujur, setia demi kemajuan perusahaan. Saya menjadi orang kepercayaan bos. Perusahaan maju dan sukses. Finansial makin kuat.

Karier sukses. Materi tak kekurangan.

Bos sangat baik. Beliau mempercayakan roda perusahaan kepada saya. Saya diminta mengkader anak-anak mereka untuk menjadi pemimpin di unit-unit usaha.

Perusahaan berkembang pesat. Saya mendapat dana pensiun yang sangat besar dan pembagian saham untuk keberlangsungan keluarga saya.

Menjadi miskin itu menyakitkan

Tidak dipandang, tak dianggap dan tidak diperhatikan. Ada cap pula sebagai sampah masyarakat; orang yang malas, pencuri, perusak pandangan.

Miskin itu hina.

“Saya tidak ingin anak-anak saya menderita karena kemiskinan. Saya tidak ingin pengalaman pahit saya dialami oleh anak-anak. Cukup saya saja.

Saya bekerja mati-matian untuk mendapat penghasilan yang layak agar anak- anak menikmati kehidupan. Uang adalah cara baik untuk hidup terhormat.

Dengan uang, saya bisa bertindak apa saja; memanipulasi orang menjadi benteng sekitar saya.

Uang adalah kemudahan, kekuasaan.

Saya memberi bantuan rutin pada adik-adik perempuan saya. Kepada pasangan, saya berpesan jangan melupakan mereka. Mereka berkorban sampai saya “menjadi orang”.

Syukur pasangan saya mengerti dan memahami.

Saya begitu bahagia dalam keluarga. ‘Pakailah kartu kredit. Belanjakanlah uang, tidak usah melapor apa yang kamu belanjakan. Penuhi keinginan anak-anak. Beli yang mereka butuhkan.

Keluarga kami bahagia, nyaman, tenteram dan damai. Anak-anak manja. Semua kebutuhan disediakan. Senang bila anak-anak bergembira mendapat apa yang diinginkannya; tersenyum pada kami. Mereka tidak kekurangan”

Benar-benar jadi salah didik.

‘Rasa bahagia semakin pudar. Anak-anak selalu meminta bantuan, kendati mereka sudah berkeluarga. Besar pasak daripada tiang. Terlanjur salah didik. Hanya mau enak, tanpa mau bekerja keras.

Masa tua saya adalah masa prihatin dan tak bisa apa-apa. Apa yang dicari, didapat selama ini habis sudah.

Miskin itu benar-benar menyakitkan.

Nasihat Yesus, “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injak nya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.” ay 6.

Tuhan, ajari aku bijaksana dalam hidup dan keputusan-keputusanku. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here