Menjadi Orang Baik Itu Pilihan

0
0 views
Ilustrasi: Ambil pilihan terbaik. (Ist)

Jumat, 7 Februari 2025

Mrk 6: 14-29

BUNDA Teresa pernah berkata, “Menjadi orang baik adalah pilihan. Tidak ada orang yang dilahirkan menjadi baik atau buruk.”

Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa kebaikan bukan sesuatu yang otomatis ada dalam diri seseorang, melainkan hasil dari keputusan-keputusan yang kita buat setiap hari.

Dalam hidup, kita selalu dihadapkan pada berbagai pilihan: mencintai atau membenci, memaafkan atau mendendam, berkata jujur atau berbohong, menolong atau bersikap acuh. Setiap pilihan mencerminkan siapa diri kita dan menentukan jalan hidup yang kita tempuh.

Memilih untuk menjadi orang baik bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan keberanian moral, keberanian untuk tetap berbuat baik meskipun tidak dihargai, untuk tetap jujur meskipun ada risiko, dan untuk mengasihi meskipun disakiti.

Dunia sering kali mengajarkan bahwa kebaikan bisa dianggap kelemahan, tetapi sejatinya, hanya orang yang kuatlah yang mampu terus berbuat baik dalam situasi yang sulit.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Lalu sangat sedihlah hati raja, tetapi karena sumpahnya dan karena tamu-tamunya ia tidak mau menolaknya. Raja segera menyuruh seorang pengawal dengan perintah supaya mengambil kepala Yohanes. Orang itu pergi dan memenggal kepala Yohanes di penjara.”

Perikope ini, menunjukkan dilema yang dialami sang raja, hatinya sedih, tetapi karena sumpah dan tekanan dari para tamu, ia tetap memerintahkan eksekusi terhadap Yohanes.

Peristiwa ini mengajarkan kepada kita tentang bahaya kompromi terhadap kebenaran. Herodes sebenarnya tahu bahwa Yohanes adalah orang benar, tetapi ia lebih memilih menjaga citranya di hadapan orang lain daripada berpegang pada suara hatinya. Ia takut kehilangan muka, sehingga mengorbankan seseorang yang tidak bersalah.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga sering dihadapkan pada pilihan serupa. Bukankah tidak sedikit orang yang memilih menyenangkan orang lain dengan mengorbankan nilai-nilai yang mereka yakini.

Untuk itu, kita dipanggail untuk belajar dari Yohanes Pembaptis. Dia tetap teguh dalam menyuarakan kebenaran, meskipun itu berarti kehilangan nyawanya. Ia tidak takut terhadap konsekuensi karena ia tahu bahwa kebenaran lebih berharga daripada keselamatan pribadi.

Jangan sampai kita mengulangi kesalahan Herodes yang lebih takut pada pendapat manusia daripada pada kebenaran.

Kita mesti memiliki keberanian moral untuk berpegang teguh pada apa yang benar, meskipun itu sulit dan penuh tantangan. Sebab pada akhirnya, kebenaran yang sejati akan selalu menang.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku berani berdiri di pihak yang benar meskipun ada tekanan dari lingkungan?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here