BETAPA mudah seorang religius meninggalkan panggilan suci, hanya karena perkara karya saja. Karya menjadi medan persaingan antar kaum berjubah, kaum religius dari tarekat. Atau juga para tertahbis lainnya dari keuskupan (baca: imam-imam praja).
Keberhasilan seorang religius seakan-akan hanya ditentukan dengan karyanya. Apakah karya yang sedang dia tangani itu bisa berjalan baik atau tidak.
Di lain pihak, karya sungguh bsa menjadi kebanggaan tersendiri. Tapi, karya yang berjalan macet nantinya juga bisa memacetkan hidup panggilan.
Seorang religius bisa mengalami frustrasi berat, karena selalu dinilai jelek oleh pembesarnya. Juga oleh teman sekomunitas. Penilaian membuat dirinya menjadi kecil hati.
Lalu, bagaimana ia nantinya akan berusaha mati-matian bahwa dirinya mampu bersaing dengan rekan sekomunitasnya.
Persaingan dalam karya merupakan akar keretakan relasi antarpribadi. Kalau sudah begitu, umat hanya bisa jadi penonton.
Walaupun aku tidak secara khusus mencari waktu untuk berdoa kepada Bunda Maria, namun ada suara kecil dalam hati untuk selalu menyebut: ”Doakan aku, ya Bunda agar aku dapat bekerja sebagai pastor kampung dengan baik.”
Aku berdoa kepada Bunda Maria agar melalui karya atau pekerjaan yang kulakukan setiap hari, aku mampu menghayati peranku sebagai imam.
Sisi kecil hidup pastor kampung
Memang tidak banyak kegiatan pastoral di paroki kampung. Sepulang dari kegiatan turne –pergi ke stasi ke pedalaman—aku tiba di pastoran biasanya sudah larut malam. Pukul 23.30 WIB.
Sekali waktu, ketika baru saja mau melepaskan tas peralatan misa, terdengar air PAM telah menetes kembali. Dengan cepat, aku segera menadahnya dari kran.
Maklum, waktu itu, pasokan air PAM sudah 20 hari tidak mengalir. Hujan pun sudah tiga pekan juga tidak turun. Menunggu dan menunggu sampai pukul 04.00 WITA subuh adalah salah satu potret sisi kehidupanku sebagai pastor kampung di Desa Penajam, Kalimantan Timur.
Barulah di tahun 2020 ini, tiba-tiba saja Penajam mulai meroket namanya. Katanya mau dijadikan Ibukota Negara. Menggantikan Jakarta yang sudah penuh sesak.
Kembali ke soal tadah-menadah air tadi. Siapa yang tak mau berusaha dan tidak tekun mencari tandon air, maka dia pasti juga tidak akan bisa mendapatkan pasokan air.
Mengapa aku mau berbuat seperti itu? Mengapa aku tidak tidur saja, dan biarlah besok bisa memerintahkan umat untuk ambil air?
Menyimpan semua perkara di hatinya
Maria bersama Yesus dan Yosef tinggal selama 30 tahun di desa Nazareth. Maria hidup seperti keluarga-keluarga pada umumnya di desa. Segala sesuatu dilaksanakan sesuai dengan irama hidup harian.
Dalam keseharian inilah Maria semakin memahami rencana Allah yang memilih dan memanggilnya sebagai Ibu Tuhan.
Pastoran kami di Penajam itu hanyalah rumah dari papan berukuran 6×6 m. Dalam kesunyian dan keheningan alam sekitar, peranku sebagai imam tidak nampak secara formal.
Lewat memasak, cari air, cuci pakaian sendiri, bersih-bersih lingkungan, beli sayur di pasar, menyapa tetangga yang sederhana dan sebagainya, aku merasa senang bahagia memainkan peran sebagai imam.
Maria sebagai wanita kudus, Ibu Tuhan, Bunda Allah tidak lepas dari kegiatan-kegiatan harian. Maria tidak meninggalkan kodratnya sebagai perempuan ciptaan Allah. Ia pun mengambil bagian dalam membangun keluarga kudus Nazareth.
Menjadi imam bukanlah jabatan yang melekat dalam diriku. “Uenaak tenan” –seperti kata dan slogan dalam setiap iklan kuliner—sering dipakai untuk lelucon mengibaratkan kondisi cocok untuk menyatakan bahwa menjadi seorang imam itu memang enak.
Jabatan imam itu sering terpandang, lalu diistimewakan oleh segenap umat, bisa memiliki posisi terhormat di kalangan umat maupun masyarakat. Jangan lupa, status sosial juga ikut terkatrol naik.
Menggali hidup keseharian Bunda Maria akan lebih membuka cakrawala iman. Maria menghayati panggilan kekudusan lewat menekuni hal-hal yang kecil.
Dengan kekuatan iman Maria ini, aku merasa ditantang dan didorong untuk menekuni irama hidup di paroki Kampung Penajam.
Aku sadar bahwa irama hidup sehari hari di paroki kampung merupakan bagian hidupku sebagai imam-Nya. Mempertahankan jabatan yang melekat dapat menimbulkan jarak dengan kenyataan sehari-hari.
Lalu diri ini bisa menjadi terasing.
Berani melepaskan jabatan merupakan pintu masuk menikmati keseharian dan membuka pintu hati untuk menyapa dan menyambut umat, siapa saja tanpa membedakan agama, suku, ras , status sosial.
Pasti pastoran kecil menjadi tempat yang hangat bagi umat dan tetangga yang bertandang dan berkumpul sebagai komunitas orang kecil.
Pastoran kecil menjadi oase persaudaraan dan kerukunan antartetangga.
Karya adalah sarana untuk menghayati panggilan Tuhan. Lewat karya yang dipercayakan padaku, aku bisa berkembang dan peranku sebagai imam juga semakin diperkuat.
Kuakhiri coretanku ini tentang Maria Fatima dengan sebuah dialog berikut ini.
- Maria: ”Liem, ini ada titipan dari mamamu.”
- Liem: ”Oh ya? Kapan Bunda Maria bertemu dengan mamaku?”
- Maria:”Tadi pagi, ketika mamamu belanja di Pasar Gede Solo. Mamamu sehat-sehat saja.”
- Liem: ”Syukurlah. Ada pesan?”
- Maria: ”Dia hanya pesan kamu diminta banyak berdoa.”
- Liem: ”Makasih.”
Ketika Liem tiba di pastoran, titipan dari mamanya dibuka. Isinya ternyata obat Promag, Bodrek, dan beberapa peniti.
Seperti itukah Bunda Maria Fatima sebagai pengantara yang keibuan?
Maria Fatima di Penajam sekarang
Demikian kutulis kisahku 20 tahun yang lalu, ketika aku tinggal sebagai pastor pedalaman di zaman serba jadul .
Aku tidak tahu bagaimana Penajam di zaman now, millenium ini. Pasti Penajam sangat berkembang dan pasti akan sangat cepat berkembang, melaju dengan kecepatan maksimal untuk bisa layak disebut menjadi Ibukota Republik Indonesia tercinta.
Pastor tetap pastor. Imam tetap imam. Setiap pribadi pastor berbeda
Apalagi metode berpastoral di zaman milenial di zaman now ini pasti juga akan sangat berbeda dengan metode pendekatan pastoral zaman dulu. Tampilan umat dan masyarakat 20 tahun yang lalu pasti juga akan berbeda dengan sekarang di zaman milenial.
Namun umat tetap membutuhkan siraman rohani, kekuatan iman seorang pastor, sentuhan kasih kebapaan seorang gembala umat.
Ini agar mereka menikmati hidup yang damai, tenang, semangat, bersaudara dalam membangun Gereja (persekutuan umat) di tengah masyarakat majemuk.
Namun, Maria Fatima tetap menjadi Bunda Yesus. Bunda Gereja dari awal sampai sekarang dan selama lamanya.
Maria Fatima tetap konsisten dan setia menjalankan perannya sebagai perantara, sebagai pengayom dan ibu bagi anak-anaknya.
Mengakhiri kisah Maria Fatima ini, aku menuliskan kembali ungkapan jeritan doa Bapak Lupoq kepada Maria Fatima lewat WA yang kuterima semalam.
Bunda Maria Fatima,
20 tahun yang lalu, Maria Silau, puteriku, telah hilang.
Kutemukan kembali sepekan berselang.
Engkau tahu ya Maria Fatima
Silau adalah buah hatiku yang utama
lahir dan mengakar di Bumi Penajam
Walau miskin, kutatap hidupku dengan mata tajam
Kini malah tambah runyam, hilanglah akar bumi dan gaharu
Tanah pusaka cepat berpindah rupa surat baru
Kemana akan kutemukan kembali
Nurani pusat Bumi Kalimatan yang tertelan ambisi insani
Tenggelam dalam panasnya ibukota
O Bunda Maria Fatima
Bantu anak-anakmu yang hilang jatidiri
Agar langkahku mantap dan pasti. (Selesai)
PS: Romo Nico Setija Widjaja OMI berkarya di Penajam tahun 2000–2011.