Para pemimpin yang terhormat itu dipilih oleh rakyat. “Vox populi, vox Dei” Suara rakyat adalah suara Tuhan. Tugas mereka menyuarakan apa yang ada di hati rakyat, lebih-lebih mereka membela mati-matian orang yang diwakili. Para pemegang amanah rakyat itu bersidang, ber-rembug dan berbicara demi kesejahteraan yang diwakilinya. Tidak heranlah jika kata parlement itu dari kata parler (bhs Prancis) yang berarti berbicara.
Untuk itulah, rakyat akan sangat kecewa, jika amanah yang diberikan kepada wakilnya itu disalahgunakan. Lihat saja apa yang terjadi dalam diri anggota DPR akhir-akhir ini. Mereka tersandung masalah etika, sehingga para rakyat berkata, “Apa yang dapat diteladani dari pejabat public?” (Kompas 19 November 2011).
Berita di media cetak maupun elektronik tentang korupsi para elit politik membuat kepercayaan rakyat mulai luntur. Istilah sense of crisis umumnya terkait dengan makna kepekaan terhadap sebuah situasi yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Sudah layak dan sepantasnyalah bahwa orang-orang yang menerima amanah itu peka dengan jeritan rakyat. Ungkapan Latin, “Salus populi suprema lex esto” yang artinya “hendaklah keselamatan rakyat menjadi hukum tertinggi” menginspirasi kita bahwa penentu kebijakan atau stakeholder, diharuskan peka akan keselamatan rakyat dan ini sebagai bentuk tanggung jawab.
Peka membaca
Masyarakat Jawa menekankan kepekaan “membaca” apa yang berada di belakang sesuatu yang tampak. Sebab memang masyarakat Jawa cenderung sungkan menyampaikan sesuatu secara langsung dan terbuka. Penyampaian sesuatu, khususnya kritikan terhadap pimpinan secara terbuka sering dianggap tidak sopan, melanggar etiket bahkan dianggap mbalelo atau berontak.
Hal ini bisa kita lihat dalam kisah Ki Ageng Mangir yang berontak melawan kekuasaan Mataram. Kisah asmara yang diwarnai ambisi dan tragedi kekuasaan. Seorang pemimpin yang peka terhadap penderitaraan rakyatnya, harus mampu membaca tanda-tanda zaman dan yang menjadi rumor masyarakat yang dipimpinnya.
Sri Edi Swasono dalam Kepemimpinan, dilukiskan bahwa seorang pemimpin itu haruslah memiliki hati yang lapang dan peka terhadap masyarakat, terlebih mereka yang tidak mampu bersuara, voice of voiceless. Kepekaan itu modal awal bagi seseorang bisa merasa peduli. Orang yang tidak peka mustahil untuk peduli.
Seseorang yang mata hatinya tertutup oleh ego dan ambisi akan menjadi orang yang tidak peka. Sindhunata dalam Anak Bajang Menggiring Angin, hendak melukiskan ketidakpekaan yang ada dalam diri Dewi Keikeyi. Karena ambisi pribadinya, ia tidak hanya mengorbankan keluarganya, melainkan juga seluruh kerajaan Ayodya. Orang yang peka, sudah hampir pasti memiliki pengorbanan yang tinggi.
Lihat saja pengorbananan Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putra semata wayangnya yang sangat dicintainya: Ismail yang kemudian oleh Allah Allah SWT digantikan dengan hewan korban. Jika pengorbanan semacam ini kita teladani, maka pejabat pemerintah akan memegang amanah itu sebagai tugas pelayanan. Kalau menurut bahasa McGannon, leadership is action, not position. bersambung