“Jangan harap dapat pemimpin cerdas kalau yang memilih bodoh” Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid
SISTEM demokrasi mensyaratkan partisipasi aktif warganegara dalam memilih pemimpin-pemimpinnya. Para pemimpin seperti presiden, gubernur, walikota, dan bupati (semua beserta wakilnya), dipilih langsung oleh warganegara. Demikian juga para wakil rakyat disetiap level pemerintahan.
Mekanisme politik mempersiapkan para kandidat/calon pemimpin, tetapi rakyatlah yang menentukan dengan memilih. Kepada para pemimpin yang terpilih itulah nasib bangsa dan rakyat dititipkan, bahkan juga nasib generasi selanjutnya. Karena itu, baik atau buruknya pemimpin terpilih sangat dipengaruhi oleh kualitas pemilih.
Dengan kata lain, hidup dan masa depan bangsa sangat bergantung pada partisipasi dan kualitas para pemilih.
Apabila iman keagamaan juga dihayati sebagai panggilan untuk ambil bagian mewujudkan kebaikan Tuhan, maka upaya menjadi pemilih yang cerdas jelas merupakan panggilan iman yang sangat relevan pada masa ini.
Ini sejalan dengan nasihat Paus Fransiskus: “Berpolitik, sesuai dengan ajaran sosial Gereja, merupakan salah satu bentuk tertinggi dari karya amal karena melayani kepentingan umum”.
Lalu, bagaimana cara untuk mengasah diri menjadi pemilih yang cerdas? Mungkinkah umat sederhana, tidak terlibat politik dapat menjadi pemilih yang cerdas? Bagaimana dapat memilih dengan cerdas ditengah maraknya hoax-hoax politik dan kampanye ‘hitam’?
Ada beberapa kriteria dasar yang dapat dijadikan landasan dalam memilih pemimpin yaitu: karakter, kepemimpinan, visi-misi, partai pendukung, dan orang-orang disekitar.
Kriteria-kriteria ini belum merupakan keseluruhan kriteria yang membentuk kompleksitas realitas, tetapi setidaknya ini yang paling mendasar.
Berikut gambaran dari masing-masing kriteria tersebut.
Karakter
Karakter adalah kriteria terpenting dalam memilih pemimpin. Orang baik berbuah baik, dan sebaliknya, orang buruk berbuah buruk. Hukum perlu dilandasi dengan itikad baik supaya tidak disalahgunakan. Moralitas, etika, dan nilai-nilai keutamaaan terwujud dari karakter yang baik.
Memang, manusia adalah mahluk yang bisa berubah karakternya, dari yang baik menjadi buruk atau sebaliknya. Tetapi perubahan karakter pada umumnya merupakan proses yang tidak mudah. Struktur psikologi seseorang dibentuk dalam proses hidup yang panjang. Orang yang egois misalnya, tidak begitu saja mudah berubah menjadi tulus dan punya kepekaan sosial. Yang culas tidak begitu saja mudah menjadi jujur, dst. Dan sebaliknya, yang baik juga tidak begitu saja mudah menjadi buruk.
Mengamati rekam jejak perkembangan karakter calon pemimpin merupakan faktor penting dalam memilih.
Dalam masa kampanye, setiap calon cenderung menutupi karakter yg buruk dan mensosialisasikan yang baik. Karena itu tidak heran hoax-hoax politik yang menjelek-jelekkan (pencitraan negatif pada lawan) dan yang mengagung-agungkan (pencitraan positif pada diri) marak menjelang pemilihan politik. Tetapi rekam jejak yang terpercaya dalam kurun waktu yang panjang dapat memberi gambaran karakter yang utuh dan jernih. Butuh perjuangan untuk mendapat data rekam jejak yang sesuai.
Lalu, karakter apa saja yang dibutuhkan seorang untuk menjadi pemimpin yang baik? Atau atas dasar apa menilai karakter?
Etika politik Katolik telah menjelaskan kualitas pemimpin yang dibutuhkan dengan karakter: kebaikan hati, keberpihakan pada kehidupan, kesejahteraan umum, subsidiaritas, solidaritas, hak-hak asasi manusia, penolakan terhadap kekerasan, dan persaudaraan semesta. (Ref: Franz Magnis Suseno, Katolik Itu Apa?, Kanisius, Yogyakarta, 2017, hal 184-185).
Kepemimpinan
Kriteria kedua yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan memimpin. Pemimpin dipilih untuk memimpin, bukan untuk tugas lainnya. Tanpa kemampuan memimpin, orang yang baik, saleh, religius dan lainnya itu tidak layak dipilih.
Memilih pemimpin yang tidak kompeten dalam memimpin adalah kebodohan. Apa yang bisa diharapkan dari pemimpin yang tidak cakap memimpin?
Pemilih cerdas mampu jernih melihat kriteria ini. Sebaliknya, pemilih bodoh justru mengabaikan faktor penting ini. Mereka menjadi korban strategi fanatisme sempit yang mengaburkan tujuan utama pemilihan itu sendiri. Memilih pemimpin semata-mata berdasar kriteria agama, ras, dan lain-lainya itu tidak sesuai dengan tujuan pemilihan. Rekam jejak terhadap kemampuan memimpin merupakan faktor paling mudah ditangkap. Kompetensi kepemimpinan sulit berubah dalam waktu singkat. Yang tidak kompeten tidak mudah tiba-tiba menjadi kompeten, dan sebaliknya juga.
Memimpin politik dalam era ini membutuhkan kompetensi untuk mengambil keputusan terbaik di tengah kompleksitas yang rumit. Butuh terobosan ditengah kesulitan dan keterbatasan. Menghadirkan terang harapan masyarakat di tengah kegelapan.
Kriteria ini membutuhkan kompetensi untuk mengorganisasikan orang-orang kompeten diberbagai bidang sebagai pendukung, dan keberanian yang tegas dan cerdas mengambil langkah nyata sesudahnya. Kriteria kecakapan untuk wakil rakyat yang tidak memimpin tentu berbeda (belum dibahas pada tulisan ini).
Para calon pemimpin pada umumnya punya sejarah memimpin sebelumnya. Prestasi memimpin sebelumnya menunjukkan kompetensinya.
Visi–misi
Visi-misi adalah perwujudan kontrak politik antara pemimpin dan pemilihnya. Pemimpin akan dinilai berhasil atau gagal berdasarkan pencapaian visi-misi yang disampaikannya saat kampanye.
Masyarakat yang makin cerdas menuntut janji kampanye yang tertuang dalam visi-misi. Walaupun pada masa ini penyusunan visi-misi para calon melibatkan banyak pihak seperti: konsultan politik, partai-partai pendukung, dan lainnya itu, tetapi visi-misi itu akan melekat dalam kepemimpinan para calon apabila terpilih.
Program kerja pemimpin terpilih merupakan upaya pencapaian visi-misinya. Para pemilih cerdas akan mencermati dengan serius visi-misi para calon. Mereka menilai berdasar:
- Kualitas visi-misi itu.
- Dapat diwujudkannya visi-misi itu secara rasional. Visi-misi yang terlalu muluk dan tidak dapat dicapai adalah kesia-siaan.
Lalu, apa yang perlu diperhatikan dalam visi-misi? Bagaimana menilai kebaikan visi-misi? Nilai-nilai ajaran iman Katolik selain memberi penekanan pada upaya pencapaian kesejahteraan umum, juga pada nilai-nilai yakni keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (justice, peace, and intergration of creation, atau sering disingkat JPIC).
Sejauh mana visi-misi calon memberikan penekanan pada pencapaian hal-hal tersebut dan kemampuan mewujudkannya, menjadi kriteria penilaian yang penting.
Partai pendukung
Dalam sistem politik di tanahair, calon non partai telah dimungkinkan. Namun karena faktor persyaratan, penggunaan partai pengusung masih lebih populer. Partai pendukung para calon sudah diumumkan sejak awal.
Jargon “tidak ada makan siang yang gratis” dalam politik, membuat pemilih harus sadar bahwa partai politik punya peran dalam kepemimpinan. Walaupun dilarang oleh hukum, tetapi isu “mahar politik” tetap perlu diwaspadai dan dipertimbangkan.
Demikian juga kemungkinan adanya “kontrak politik” tertentu antara calon dengan partai pendukungnya. Dengan demikian, rekam jejak karakter dan visi-misi partai-partai pendukung tetap perlu menjadi salah satu kriteria pemilihan.
Namun demikian, mengingat politik bersifat cair, dinamis, dan mudah berubah, faktor ini jadi tidak teralu dominan. Fenomena pemimpin yang berganti partai setelah memenangkan pemilihan sudah banyak terjadi.
Orang-orang di sekitar
Yang dimaksud “orang-orang disekitar” adalah tim sukses, kelompok-kelompok masyarakat, tokoh-tokoh, pengusaha, dan lainnya yang dekat dengan calon. Mereka ini sering kali justru memberi pengaruh terbesar dalam kepemimpinan. Banyak menteri atau pejabat-pejabat penting dalam pemerintahan di semua level kepemimpinan diambil dari kelompok ini.
Karakter dan kualitas orang-orang yang berada di sekitar calon akan sangat mewarnai kepemimpinannya kelak. Hal ini membuat mereka perlu diperhitungkan tersendiri sebagai kriteria dalam pemilihan. Pemimpin yang berada dalam lingkaran orang-orang baik dan kompeten akan cenderung menghasilkan kepemimpinan yang lebih baik, dan sebaliknya.
Memang tidak mudah yang memilih yang tepat. Apalagi ditengah kenyataan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Setiap calon punya kelebihan dan kekurangan masing-masing pada kriteria-kriteria yang ada. Selain itu juga masih ada banyak faktor-faktor lain yang juga berpengaruh dalam suksesnya sebuah kepemimpinan, seperti faktor global, proxy war, dan lainnya.
Akan menjadi semakin rumit ketika semua diperhitungkan, walau tentu semakin baik bagi yang mampu mempertimbangkan lebih luas. Memilih dalam kompleksitas yang rumit tentu tidak mudah, juga rawan kesalahan.
Dua hal yang menjadi pegangan utama dalam memilih yaitu “suara hati” dan upaya untuk menjadi pemilih yang cerdas. Penggunaan suara hati semata tanpa disertai upaya menjadi pemilih yang cerdas adalah bentuk kemalasan dan kebodohan.
Sebaliknya, mengandalkan upaya saja tanpa menyertakan suara hati adalah bentuk kesombongan yang takabur. Orang beriman berjuang mendengarkan “suara Tuhan” dalam seluruh peristiwa hidupnya.
Cerdas yang dimaksud disini bukan dalam arti sempurna, mencapai derajat akademis, atau level kemahiran politik tertentu, tetapi lebih pada: mendengarkan bisikan Tuhan dan mengupayakan talenta secara maksimal. Cerdas dalam arti menyatunya iman dan akal budi. Selamat mewujudkan panggilan iman menjadi: pemilih yang cerdas.