Menjadi Sahabat Untuk Yang Terbuang

0
346 views

“Melihat itu, orang-orang Farisi berkata kepada murid-murid Yesus, ‘Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?’” (Mat 9,11)

KEMAREN siang seorang teman bercerita tentang keunikan sahabatnya. Sahabatnya itu termasuk orang yang sederhana. Dia tidak memakai pakaian yang bagus dan mahal, malah cenderung pakaian yang lusuh dan pantas pakai; dia lebih suka makan di warung dengan makanan yang murah dibandingkan dengan makan di pastoran; lebih suka tidur pos ronda atau emperan rumah dari pada tidur di kamar yang ber-AC.

Suatu malam ada orang gila dengan rambut kumal dan pakaian compang-camping duduk di serambi gereja. Tidak lama orang gila itu tidur juga di sana. Melihat hal itu, sang sahabat masuk kamar dan mengambil sarung. Kemudian dia pun ikut tidur di serambi gereja itu, dengan alasan ingin ikut serta merasakan apa yang dirasakan oleh orang gila itu. Memang unik, dia lebih memilih tidur di serambi bersama orang gila dibandingkan tidur di pastoran dengan rekan komunitasnya. Keunikan yang membuat rekan lain gemes, sehingga menulis status, “Rupanya dia memilih orang gila dari pada aku!”

Menjadi sahabat bagi orang gila merupakan pilihan hidup yang tidak lazim diambil banyak orang; bahkan merupakan pilihan hidup yang sering disingkiri atau diabaikan. Orang gila sering terlihat di jalanan; mereka berpakaian kotor dan compang-camping, rambut kumal dan tidak terawat, badan dekil dan berbau menyengat, banyak kotoran menempel di badan; mereka mengambil makanan di jalanan atau tempat sampah. Orang gila sering dijauhi dan disingkiri; mereka menjadi kelompok orang yang dijauhi oleh masyarakat umum.

Sebetulnya tidak hanya terbatas pada orang gila yang sering dijauhi dan diasingkan, tetapi juga orang-orang normal lain yang masuk kategori “tidak baik atau jahat.” Mereka disebut tidak baik karena sikap dan perilakunya bertentangan dengan norma-norma hidup bersama, entah norma sopan santun atau norma moral; juga bertentangan dengan aturan-aturan di dalam kehidupan bersama; juga berkaitan dengan pola-pola hidup atau kebiasaan yang aneh dan tidak lazim. Mereka dijauhi, agar sikap dan perilaku tidak baik atau jahatnya tidak menular kepada orang lain.

Orang-orang baik yang bergaul dengan mereka sering kali dicurigai, ditegur dan diingatkan, dipanggil dan diklarifikasi, atau mungkin dijadikan bahan omongan atau gosip yang berkepanjangan. Kenyataan inilah yang dialami oleh Sang Guru, ketika Dia makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang berdosa. Banyak orang bertanya, mengapa Dia makan bersama pemungut cukai? Mengapa Dia bergaul dengan orang berdosa?

Identitas dan jatidiri seseorang memang sering dikenal melalui pergaulannya. Menjadi sahabat bagi orang berdosa, orang terbuang atau sampah masyarakat bukan berarti menyetujui dan mendukung sikap atau perilaku mereka. Menjadi sahabat bagi mereka berarti agar orang yang berdosa, yang terbuang, yang menjadi sampah masyarakat mendapat kesempatan mengalami berkat dan belas kasih Allah.

Selama ini saya bergaul dan bersahabat dengan siapa dan kelompok orang macam apa saja? Pernahkah saya bersahabat dengan orang yang terbuang, terkucilkan dan dianggap sebagai sampah masyarakat? Berkah Dalem.

Kredit foto: Ilustrasi (Ist)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here