DUA remaja puteri Joice Agatha Manik dan Beata Kristina Taslulu sudah memberi contoh nyata, di zaman now ini hidup religius sebagai suster biarawati masih menarik untuk dijalani. Untuk melambangkan pola hidup yang serba baru –dimulai dari proses pembinaan diri sebagai novis Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi (SFS)—keduanya memilih nama baru sebagai identitas diri yakni Sr. Maria Gabriela SFS dan Sr. Maria Filomena SFS.
Tentang hal ini, Pelayan Umum Persaudaraan (Provinsial) SFS Sr. Maria Zita memberi ulasan menarik.
Meneladan hidup Orang Kudus
Kepada Joice yang mengadopsi nama baru sebagai Gabriela, Sr. Zita berujar demikian. Gabriel atau Gabriela adalah Malaikat Agung. Karena mengadopsi nama malaikat agung ini, maka Joice alias Gabriela mesti menjaga hidupnya agar tetap kudus.
Salah satunya adalah dengan menjaga ucapan, menahan lidah untuk tidak sembarangan bicara, dan bijak bermain medsos. Marilah dan sama seperti Malaikat Agung yang senantiasa menjaga hidup kita, Anda hendaknya menjaga hidup tetap sehat, berdoa dengan tekun dan bekerja dengan giat.
Kristina Taslulu mengadopsi Filomena sebagai nama biaranya. Menurut Sr. Emilia SFS –kakak kandungnya—rupanya nama baru biara ini diambil dari nama pelindung parokinya yakni St. Filomena di Mena, Keuskupan Atambua.
Sr. Filomena mendapat tugas untuk selalu mencari kebaikan dan kesalehan hidup sebagaimana dulu St. Filomena telah menghidupinya sebagai manusia dan Orang Kudus.
Menjadi suster biarawati
Tak pernah terpikir sebelumnya bahwa Sr. Maria Michaela SFS ini sekali waktu sungguh-sungguh menjadi seorang suster biarawati.
Lahir di sebuah dusun kecil di Pulau Siberut di Kepulauan Mentawai, Keuskupan Padang, hari-harinya sebagai anak di kawasan hunian nan jauh di tengah hamparan Samudera Indonesia ini adalah dunia laut dan hutan.
Ia mengakrabi semua biota laut dan sungai, karena rumahnya tidak jauh dari perairan laut Samudera Indonesia. Ia juga mengakrabi hutan di mana ayahnya sering pergi ke ladang untuk memetik sesuatu. “Setiap pulang sekolah, saya sering ‘lari’ ke hutan sendirian menyusul bapak,” ungkap suster biarawati yang selama tahun-tahun terakhir ini menjadi guru TK di Cibinong, Kabupaten Bogor.
Berenang di laut atau mandi di sungai atau ‘dolan menyepi’ di hutan bukan hal yang menakutkan bagi Sr. Michaela. “Saya dulu senang sekali pergi mancing di laut, menangkap udang di sungai, atau mengayuh perahu kecil dengan sampan di perairan teluk Samudera Indonesia,” ungkapnya mengenang masa silam.
Bersama delapan kolega suster SFS lainnya, Sr. Michaela mengucapkan komitmennya selama setahun ke depan tetap menjadi suster biarawati SFS. Inilah inti acara pembaruan kaul profesi yang dia lakoni bersama para suster yunior SFS lainnya ketika janji kaul religius itu mereka ucapkan di hadapan Pelayan Umum Persaudaraan SFS Sr. Maria Zita.
Menjadi guru
Menjadi suster biarawati di zaman now tetap menarik bagi Sr. Michaela. Apalagi, ketika hari-harinya dia isi dengan mengajar anak-anak TK dan di luar waktu formal ia juga mengisi slot waktu dengan mengajar agama untuk kelomok Bina Iman Anak (BIA) di Gereja Paroki Cibinong.
Atas perannya sebagai guru pengajar iman ini, Sr. Michaela merasa senang ketika Keuskupan Bogor mengutusnya sebagai pendamping bagi delegasi keuskupan untuk mengikuti Jambora Nasional Serikat Remaja dan Anak Misioner Indonesia (Jamnas SEKAMI) di Keuskupan Agung Pontianak, 3-6 Juli 2018 lalu.
Sembilan Suster SFS Perbarui Komitmen Kaul Religius di Hadapan Pelayan Umum Persaudaraan (4)
Bisa tidur di tengah keramaian Jamnas SEKAMI?
“Bisa sekali dan saya merasa senang berada di tengah ribuan anak dan remaja misioner dari seluruh Indonesia,” terang mantan guru honorer di Mentawai sebelum akhirnya masuk biara SFS lima tahun lalu.
Hepi dan menjalani hari-harinya sebagai suster biarawati adalah keseharian Sr. Maria Michaela SFS. Demikian pula delapan kolega dekatnya yang pada hari yang sama kemarin mengucapkan janji profesinya sebagai suster religius SFS.
Gratia supplet. (Berlanjut)