Menjual Setan

1
210 views
Ilustrasi.

Renungan Harian
Jumat, 8 Oktober 2021
Bacaan I: Yl. 1: 13-15; 2: 1-2
Injil: Luk. 11: 15-26
 
BEBERAPA tahun yang lalu, saya diminta oleh sebuah keluarga untuk memberkati rumahnya.

Saya dengan senang hati melayani dan meminta agar mengundang warga di lingkungannya. Harapan saya agar keluarga ini kenal dengan warga lingkungannya, karena saya menduga bahwa pemberkatan ini untuk rumah baru.
 
Pada hari yang ditentukan saya datang ke rumah keluarga tersebut. Pada saat saya sedang mempersiapkan peralatan misa, tuan rumah menghampiri saya dan menyampaikan bahwa tahun lalu rumah ini sudah diberkati seorang imam. 

Saya agak terkejut dan bertanya mengapa mesti ada pemberkatan lagi, kalau tahun lalu sudah pernah diberkati.

Bapa itu mengatakan bahwa rumahnya ada “penunggunya” yang kembali lagi.

Pada saat pemberkatan rumah tahun lalu dilakukan acara pengusiran “penunggu”, tetapi sekarang keluarga itu merasa bahwa penunggunya kembali lagi.

“Bapak pernah melihat dan mengenali ‘penunggu” rumah ini?” tanya saya.

“Belum pernah Romo, tetapi saya bisa merasakan bahwa penunggu itu kembali lagi,” jawabnya.

“Bagaimana bapak tahu bahwa rumah ini ada ‘penunggunya’? tanya saya.

“Wah ceritanya panjang Romo,” jawab bapak itu.
 
“Romo 20 tahun lalu kami mulai menempati rumah ini. Kami bersyukur bisa membeli rumah ini, setelah sekian lama kami menjadi “kontraktor”.

Tahun lalu saat seorang romo mengunjungi rumah kami, romo itu mengatakan bahwa rumah kami ada “penunggunya” berdiam di bawah tangga itu.

Menurut romo itu, penunggu itu memberi hawa panas yang negatif, kalau dibiarkan akan menimbulkan perpecahan dalam keluarga.

Saya jadi tersadar mengapa selama ini saya mudah emosi dan sering cekcok dengan isteri, ternyata karena “penunggu” itu.

Kemudian romo itu mengusulkan agar rumah kami diberkati lagi dengan beberapa syarat yang diminta. Jadi tahun lalu rumah kami diberkati,” bapak itu menjelaskan.
 
“Apakah sebelum menempati rumah ini, bapak tidak pernah emosi dan cekcok?” tanya saya penasaran.

“Ya emosi. Namanya juga manusia ya romo. Dan namanya hidup berkeluarga cekcok menurut saya lumrah,” jawab bapak itu.

“Terus setelah ‘penunggu’ itu diusir, bapak tidak emosi lagi?” tanya saya.

“Masih Romo, tetapi ya berkurang. Tetapi akhir-akhir ini menjadi sering dan mudah emosi,” jawab bapak itu.
 
Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Saya menjadi gundah, kegundahan saya adalah apa pentingnya orang sampai mengatakan bahwa rumah ini atau tempat itu ada penunggunya.

Saya menghargai adanya orang-orang tertentu mempunyai karunia tertentu.

Tetapi dengan mengatakan ada “penunggu” bukannya membuat keluarga yang awalnya biasa-biasa menjadi resah. Dan lebih lagi membuat mereka semakin lebih percaya dan merasakan kehadiran “penunggu” daripada kehadiran Allah?

Kalau itu dikatakan pada umat, bukankah akan membuat iman umat semakin “kacau” dari pada semakin diteguhkan?

Tidak usah dikatakan pun umat lebih senang dan lebih mudah bicara tentang “penunggu” daripada bicara tentang imannya.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Lukas, Yesus berhadapan dengan umat yang lebih percaya pada kuasa-kuasa “setan” daripada kuasa-kuasa Allah.
 
Bagaimana dengan aku?

Apakah aku lebih percaya dan lebih mengalami kehadiran Allah atau kehadiran “setan”

1 COMMENT

  1. Setelah diberkati penghuni rumah merasa “penunggu” sudah diusir – artinya dia beriman pada Allah yang mengusir melalui tangan Romo – bukankah demikian?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here