DALAM buku yang berjudul Wedhatama karya Sri Paduka Mangkunagoro IV (1809 – 1881) – yang ditulis ulang oleh Anand Krishna – memberikan masukan tentang motivasi orang menulis. Ada orang yang menulis karena profesinya. Kelompok pertama ini akan selalu mencari sensasi. Ia harus menciptakan sesuatu yang dapat diterima atau ditolak oleh massa. Kelompok kedua adalah kelompok para sastrawan. Mereka tidak selalu mementingkan penghasilan yang dapat diraih dari tulisan-tulisan mereka.
Mereka lebih mementingkan kepuasan batin. Kadang-kadang bahasa mereka sangat pedas dan sangat pahit. Mereka tidak peduli. Kelompok ketiga adalah mereka yang menulis karena ingin berbagi rasa. Mereka ingin menyampaikan sesuatu. Menurut Sri Mangkunagoro sendiri, tulisannya ini diperuntukkan bagi para siwi – para siswa atau shishya. Shishya berarti “ia yang telah menundukkan kepala”. Menundukkan kepala berarti melepaskah keangkuhan, mengakui ketidaktahuannya dan berkeinginan untuk belajar.
Dari uraian Sri Mangkunagoro tersebut dapat dipahami bahwa menulis itu berbagi pengalaman. Orang yang menulis pun hendaknya bersikap terbuka terhadap dunia
luar dan mengakui keunggulan pihak lain. Lao Tze (lahir 604 seb. M) penulis Tao Teh Ching menulis, “Ia yang dirinya terbuka seperti lembah, ibarat ibu sejati
yang melahirkan segala sesuatu dalam alam ini. Ia tidak akan pernah gagal.”
Lao Tze berpikir bahwa segala sesuatu yang indah dalam duni ini berasal dari Jiwa Feminin. Kita boleh berbadan maskulin, namun apabila kita ingin meninggalkan suatu kenangan yang indah dalam dunia, kita harus berjiwa wanita. Para penyair dan para penulis semuanya berjiwa wanita. Seorang wanita itu bisa melahirkan karena dirinya bersikap reseptif, sehingga mengandung dan pada gilirannya ia melahirkan. Seorang penulis itu bagaikan lembah yang pikirannya terbuka bagi perkembangan dunia luar. Tidak seperti gunung yang berdiri kokoh dan “angkuh”.