KHUMAIDI, warga desa Kauman Sragen, duduk lesu. Pandangannya hampa.
Sabtu lalu, sekira pukul 03.30 dinihari, ia diberi tahu tetangga bahwa mobil satu-satunya, merek Colt 1200 SS, AD-8552-MA, terbakar habis di tempat dia parkir semalam.
Demikian berita di harian TribunNews.
Ternyata bukan terbakar. Mobilnya senagaja dibakar. Pelaku pembakaran adalah tetangganya. Inisialnya AN.
Mobil Khumaidi dianggap parkir di lahan yang tak pada tempatnya. Beberapa kali ditegur, Khumaidi bergeming. Puncaknya, AN naik pitam.
Kaca jendela mobil Colt tua yang menjadi biang masalah dipecah AN, disiram spiritus dan disulut. Dalam sekejab tinggal puing-puing hangus berbau sangit.
AN digelandang ke kantor Polisi. Pasal 187 ayat 1e KUHP dengan ancaman kurungan penjara maksimal 12 tahun menantinya.
Sebetulnya, masalahnya tak serumit itu. Dengan kepala dingin dan jalan damai tak perlu ada korban harta dan penjara yang diderita keduanya.
Tapi Khumaidi dan AN memilih sikap dan hubungan “saling menyalahkan”.
AN menuduh Khumaidi parkir sembarangan. Khumaidi menganggap AN menang-menangan dalam hubungan bertetangga.
Tak pelak lagi, konflik serius meledak di pagi hari.
Drama sejenis yang dipertontonkan kedua tetangga itu sudah menjadi gejala umum. Tak hanya di Indonesia, tetapi juga mendunia.
Masalah kecil diperbesar. Yang besar tak diredam. Kekerasan menjadi pilihan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah, meski pada ujungnya bahkan semakin membesar.
Ada dua perilaku kontradiktif yang cenderung keluar dari diri manusia. Bisa muncul bersamaan, atau dalam waktu yang berbeda.
Pertama, perilaku “menyalahkan orang lain”.
Tak peduli besar atau kecil, orang cenderung mau menyalahkan pihak lain. Yang salah kamu, bukan saya.
Kalimat “Kamu salah” dalam berbagai bentuk, seolah berada di ujung lidah. Begitu tercolek, ia keluar bagi mitraliur yang ditembakkan ke pihak lawan.
Simak kondisi lalu-lintas di jalan raya. Srempetan yang tak membuat lecet setitik pun berbuah pertikaian dengan kekerasan. Membesar hingga menyeret keduanya terperosok ke dalam masalah yang lebih dalam.
Kedua, perilaku “membenarkan diri”.
Sembari menyalahkan pihak lain, rasa “benar sendiri” muncul bersamaan, bagaikan dua sisi mata uang yang berhimpitan. Sayang, ini keping berwarna hitam.
Aneh, kepada orang lain membesar-besarkan kesalahan. Tapi kepada diri sendiri mempertebal pembenaran.
Tiba-tiba teringat tontonan video tentang seorang sopir taksi yang srempetan dengan seorang warga negara asing kulit putih dengan nomer polisi CD.
Entah siapa yang salah, sang sopir melakukan “orasi” tertuju kepada lawannya dengan Bahasa Inggris gado-gado. Si bule diam saja sambil menelpon tak jelas ke mana.
“This is Indonesia, you know. No USA. You mesti ganti.”
Meski terlihat lucu dan banyak orang tertawa, menjadi kurang pas kalau “orang asing” ikut menertawakan “kekonyolan” sang sopir.
“Menyalahkan orang lain” ternyata mempunyai dimensi kebangsaan.
Budaya “menyalahkan orang lain” memang harus dikikis habis. Kalau terjadi masalah dengan pihak lain, pemikiran harus tertuju pada bagaimana menyelesaikan persoalan dan merancang perbaikan, bersama-sama.
Mencari-cari kesalahan orang lain jelas bukan jalan keluar yang pas. (Ending The Blame Culture, Michael Pearn, Chris Mulrooney and Tim Payne, 1998).
Budaya saling menyalahkan dipastikan menutup peluang untuk inovasi. Eksperimen sulit terjadi karena dihantui rasa bersalah yang siap menerkam siapa saja yang melakukan. Play safe adalah prinsip yang membentuk apatisme dan membunuh kreatifitas.
Tak hanya itu, blame culture membunuh produktivitas.
Padahal orang yang melakukan right mistakes harus didorong untuk tidak takut dan terus memperbaiki diri agar menjadi lebih baik. Sebaliknya, pelaku wrong mistakes tak layak mendapatkan kesempatan untuk mengulangi kesalahan serupa di masa mendatang.
“Menyalahkan orang lain” bisa menjadi cara termudah untuk seolah membuat rasa nyaman bagi diri. Jangan salah. Itu kamuflase. Biasanya rasa nyaman yang terbangun dari proses seperti ini tak awet. Tak hanya gampang terkuak, atasan yang mempunyai kebiasaan “menyalahkan bawahan” dan “membenarkan diri” bagaikan menutup pintu rapat-rapat bagi perubahan dan kemajuan tim yang dipimpinnya.
“When you blame others, you give up your power to change”.
(Robert Newton Anthony – Professor of Management Control di Harvard Business School)