Menyemaikan Benih-benih Cinta Nan Lestari (1)

0
1,334 views

 

 

[media-credit name=”Google” align=”aligncenter” width=”300″][/media-credit] 

 

BICARA mengenai cinta memang selalu menarik, apalagi jika kita mengalaminya.

 

Saya memahami cinta sebagai yang membebaskan, memberikan yang terbaik bagi orang yang dicintai, berani berkorban bagi orang lain. Memang itu semua sebatas pemahaman, namun dalam pelaksanaannya sangat sulit.

Masih ada kecenderungan diri untuk diakui oleh orang yang dicintainya.
Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Dr. H. St. Sullivan, “Kita mencinta apabila kepuasan, ketentraman dan perkembangan orang lain menjadi sama pentingnya bagi kita seperti kepuasan, ketentraman dan perkembangan kita sendiri”.

Dalam prakteknya, cinta berarti kita bersedia melepaskan kesenangan kita, mengabdikan waktu kita dan bahkan mengorbankan ketentraman kita demi peningkatan kepuasan, ketentraman dan perkembangan orang lain. Salah seorang teman mengatakan mencintai sama saja dengan meningkatkan ‘kualitas hidup’ orang lain.

Menurut John Powell SJ dalam bukunya ‘Rahasia Cinta Lestari’ (1990), ada beberapa dalil mengenai anatomi cinta.

Dalil berikut berasal dari John Powell, dan sebagian penjelasan dan beberapa contoh dalil ini berasal dari pengalaman saya pribadi.

Dalil I: Cinta bukanlah Sekedar Perasaan
Perasaan itu mirip dengan permainan yoyo, naik turun tergantung dari hal-hal yang berubah-ubah. Jadi jika orang menyamakan cinta dengan perasaan, cintanya berubah-ubah. Novelis Perancis, Anatole France menulis, “Pada mulanya cinta selalu menyenangkan. Maka kita terus-menerus mulai kembali, lalu berulang-ulang jatuh cinta lagi”.

Celakalah bila cinta disamakan dengan perasaan, sebab perasaan berubah-ubah tak menentu. Namun celaka pula bila kehendak mencinta kita tidak didukung oleh perasaan yang hangat, penuh kasih sayang. Pelukan yang hangat penuh kasih sayang merupakan salah satu ungkapan perasaan untuk mencinta. Namun bila hal itu ‘hanya’ dari perasaan tanpa kehendak untuk memberi ketentraman dan mengembangkan hidup orang yang ‘akan dicintai’, niscaya perasaan meluap itu akan meredup dan hilang dengan sendirinya.

Disinilah letak perlunya refleksi mengenai perasaan-perasaan yang muncul. Bila kita jeli melihat lebih dalam lagi, pertanyaan yang muncul adalah apa yang ada di balik perasaan yang meluap itu?  Bukankah kita sering mengalami perasaan tentram, semua serba indah, tapi suatu saat kita mengalami kejengkelan, kemarahan, kekecewaan dan lain sebagainya ? Itulah perasaan yang berubah-ubah.

 

[media-credit id=3 align=”alignright” width=”300″][/media-credit] 

Dalil II: Cinta Itu Lahir dari Keputusan yang Matang
Kita tidak mungkin mempunyai hubungan yang mendalam dan erat dengan banyak orang. Waktu kita tidak cukup dan kemampuan emosional kita untuk mengadakan ikatan personal yang mendalam dan penuh kasih sayang dengan banyak orang tidak memadai. Erich Fromm menulis, “cinta itu suatu tindakan aktif, bukan perasaan yang pasif. Kita ‘berdiri dalam cinta’ tidak ‘jatuh ke dalamnya’. Sifat aktif cinta itu dapat dilukiskan dengan menekankan bahwa cinta itu terutama memberi dan bukan menerima”.

Oleh karena itu, kita tidak boleh menawarkan hubungan cinta yang hampir tidak terjangkau untuk diberi isi. Terdorong oleh perasaan yang meluap, seseorang bisa mengatakan kata-kata yang indah mengenai cinta, dan tidak lama kemudian sirna seiring dengan sirnanya perasaan yang meluap itu. Kita memandang dunia sekeliling kita dan melihat siapa yang akan kita beri cinta.

Maka, tidak mungkin kita bisa memberi cinta kepada banyak orang. Energi kita tidak mencukupi. Tetap saja kita akan memilih siapa yang cocok dan pantas kita beri cinta.

Tentu saja kita tidak dengan mudah mengatakan ‘Aku cinta padamu’ seiring dengan perasaan kita yang meluap, namun hal ini butuh waktu. Pernyataan cinta yang terlalu dini dan terlalu pasti akan mengecewakan dan membuat luka.

Demikianlah yang terjadi pada diri dua orang pemuda dan pemudi. Setelah kedua pemuda dan pemudi itu bergaul sekitar satu tahun dan sering bertemu karena keduanya bergerak dalam bidang yang sama, si pemudi bertanya kepada pemuda itu, mengapa pemuda itu begitu perhatian padanya. Pemuda itu menjawab “karena aku menyayangi kamu”.

Meskipun pernyataan demikian sudah diperkirakan oleh pemudi itu, namun mau tidak mau pernyataan ini sungguh sangat mengejutkan sampai membuat pemudi itu tidak bisa mengatakan sesuatu. Ternyata apa yang bergejolak di dalam diri pemuda itu, terjadi pula dalam diri pemudi ini. ‘Witing tresna jalaran saka kulina’ (awal rasa cinta karena biasa bertemu), demikian ungkapan Jawa mengenai hubungan kedua orang itu meskipun pada awalnya tidak disadarinya. Alamiah.

Kedua orang ini telah memilih satu sama lain, siapa yang akan dicintainya. Setelah mengenal satu sama lain, mereka baru mengatakan mencintai satu sama lain.

Dionisius Prihamangku Setiohadi, tinggal di Jakarta dan tengah merintis usaha di bidang pendidikan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here