Menyemaikan Benih Benih Cinta Nan Lestari (3)

2
1,944 views

[media-credit name=”google.com” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]DALAM tulisan ini saya ingin melanjutkan dengan dua dalil cinta terakhir dari buku John Powell, SJ ‘Rahasia Cinta Lestari.’  Setelah itu, saya akan membagikan beberapa butir kisah dari refleksi pribadi saya.

Dalil VI: Cinta Menguatkan Yang Dicintai untuk Mencintai Dirinya Sendiri
Cinta itu memberi orang yang dicintai kekuatan untuk mencintai diri sendiri. Kita bisa menilai kesuksesan kita dalam mencinta, bukan dari jumlah orang yang mengagumi kita, melainkan dari berapa banyak orang yang merasa bahagia karena kita cintai.

Sebagaimana cermin, orang memperoleh gambaran diri lebih kaya ketika ia melihatnya dari cermin berupa masukan dari orang lain. Orang akan lebih mengetahui keindahan dirinya dan menyadari dirinya berharga kalau bercermin dari orang yang mencintai dan memperhatikannya. Dengan demikian, salah satu indikasi keberhasilan dari cinta adalah bahwa orang yang kita cintai semakin merasa dirinya berharga dan ia semakin mencintai dirinya sendiri.

Tentunya cinta akan diri sendiri berbeda dengan mementingkan diri sendiri. Orang yang semakin mencintai dirinya sendiri, akan semakin menyadari kelemahan dan kelebihan diri serta mau berusaha mengubahnya dan mengembangkannya. Orang akan semakin jujur pada diri sendiri dan semakin rendah hati. Orang yang mencintai dirinya akan semakin gembira dalam hidupnya dan semakin mampu untuk menghargai dan mencintai orang lain dengan sungguh-sungguh.

Dalil VII: Cinta Berarti Mengakui, Bukan Memiliki Orang  Yang Dicintai
Yang terpenting dalam cinta adalah bahwa cinta itu membebaskan, bukan posesif atau membelenggu orang yang dicintai. Memang, ada kalanya cinta membuat kita merasa takut dan was-was seandainya kita gagal menuruti keinginan orang yang mencintai kita. Sepanjang waktu kita harus memberikan kebebasan kepada orang yang kita cintai agar dia semakin menjadi dirinya sendiri. Cinta itu mengakui orang lain sebagai pribadi. Cinta tidak memiliki atau memperalat orang lain sebagai kepunyaannya. Seperti yang dirumuskan oleh ahli ilmu jiwa asal Jerman Frederick Perls, ”Kau dilahirkan di dunia ini bukan untuk memenuhi harapan-harapanku. Dan akupun tidak untuk memenuhi harapanmu. Kalau kita cocok satu sama lain, baik sekali. Kalau tidak, apa boleh buat.”

Dalam film serial lawas berjudul ‘Little House in the Prairie,’ yang disutradarai dan dibintangi oleh Michael Landon, di salah satu episodenya bercerita mengenai hubungan cinta kasih antara dua insan.

Michael (diperankan oleh Landon) mempunyai anak gadis yang bernama Mary, yang sedang berpacaran dengan seorang pemuda bernama Erick. Erick sangat mencintai Mary. Namun karena kecelakaan, Mary menjadi buta. Erick tetap menunjukkan cintanya pada Mary.

Pada suatu ketika, Mary bertemu dengan seorang pemuda lain, John, yang juga buta dan mereka saling jatuh cinta. Mereka kemudian memutuskan untuk menikah. Erick tidak habis pikir mengapa menjadi demikian. Namun akhirnya dia memberi kebebasan kepada Mary untuk menentukan pilihannya. Dia hadir dalam perkawinan Mary – John .

Setelah pernikahan itu, Erick menangis sedih. Michael mengusap kepala Erick dan berkata, “Jangan sedih…. Aku tahu, kamu adalah orang yang penuh cinta dan sangat tegar, karena kamu memberi kebebasan pada dia yang kamu cintai.”

Erick menjawab, “Tidak! Aku sadar, ternyata cintaku belum sepenuhnya aku berikan pada dia. Ternyata aku yang dibutakan oleh cinta”.

Secara manusiawi, memberi kebebasan kepada orang yang kita cintai itu tidak mudah. Kita masih sering diliputi rasa kecewa, menyesal, merasa tidak berarti dan lain-lain meskipun yang kita ucapkan sering berlawanan dengan perasaan kita.

Alkisah, seorang pemuda yang bekerja di luar Pulau Jawa mengambil cuti dan pulang ke Jakarta, khusus untuk  menemui kekasihnya. Selama ini, si pemuda dan kekasihnya hanya berkomunikasi lewat surat dan telpon. Mereka sudah berpacaran selama 2 tahun. Si pemuda merasa hubungan jarak jauh mereka saling memberikan kegembiraan dan gairah hidup. Ketika pemuda ini sampai di Jakarta dengan kerinduan yang meluap-luap, ia menjumpai kekasihnya bersikap dingin.

Pemuda ini dengan sabar dan lembut bertanya kepada kekasihnya mengenai sikapnya yang dingin. Jawaban kekasihnya sangat mengejutkan
“Mas, setelah saya renungkan, saya merasa tidak ‘sreg’ denganmu. Saya tidak tahu mengapa,” kata sang kekasih.

Si pemuda bertanya lagi, “Apakah ada pemuda lain yang singgah di hatimu?”

“Tidak”, jawab si kekasih singkat.

Pemuda itu tidak bertanya lebih jauh dan menyelidik karena ia begitu percaya kepada kekasihnya meskipun kadang terselip sedikit rasa ragu.
Meskipun hatinya kacau balau, kecewa, menyesal, sakit namun si pemuda tetap tenang dan tidak emosional.

”Yah… apa boleh buat. Justru karena saya sangat mencintai kamu, maka kamu bebas menentukan dirimu. Saya tidak pernah memaksa orang untuk mencintai saya, tapi secara jujur saya mengatakan bahwa saya sangat mencintaimu,” kata si pemuda.

Mereka kemudian makan malam bersama untuk terakhir kalinya sebagai tanda perpisahan. Tampaknya sebuah perpisahan yang damai. Apakah benar-benar damai? Tentu saja tidak, karena dalam diri si pemuda itu masih ada rasa kecewa, menyesal dan dia selalu menekan perasaannya. Dia sedih bila mengingat kisah kasihnya selama ini dengan si kekasih.

Memberi kebebasan kepada orang yang dicintai berarti membiarkan dia mempunyai perasaannya sendiri, memikirkan gagasannya sendiri dan mengambil keputusannya sendiri. Apakah cinta kita sungguh-sungguh mengakui dan membebaskan dia atau memiliki dan memperalat dia?

Manakah yang lebih penting. Membuat  orang yang dicinta merasa senang dengan keadaannya sendiri ataukah menyenangkan diri sendiri? Manakah yang lebih penting. Membantu orang yang dicintai mencapai tujuan yang ditentukannya sendiri ataukah yang kuinginkan untuknya?

Mencintai Adalah Sebuah Proses
Tidak mudah menjalin cinta dengan perspektif demikian jauh dan selamanya. Memang tidak bisa dipungkiri bila seorang yang ‘jatuh cinta’ bisa menjalin dan mengembangkan cinta yang semula berasal dari perasaan meluap.

Namun, jelas bahwa perasaan mempunyai peranan yang fundamental dalam diri orang untuk memberikan diri. Masalahnya, perasaan meluap ini tidak langgeng dan masih dililit dengan perasaan cemburu, marah dan dendam.

Yang ada hanyalah keinginan untuk ‘memiliki’. Bila kita lihat dari perspektif hati kita, maka hal ini lebih merupakan kesenangan diri kita sendiri dan bukan untuk orang lain yang sebenarnya ‘akan kita cintai’. Cinta itu tidak mempunyai dimensi cemburu, malah sebaliknya bangga dan mengembangkan seseorang yang dicintai. Karena merasa dicintai, seseorang akan dengan berbunga-bunga melakukan aktivitasnya, bernyanyi dalam pekerjaannya, jujur mengakui kelemahannya dan berusaha mengembangkannya. Dalam dirinya, orang yang kita cintai akan semakin mencintai dirinya (berbeda dengan mementingkan diri sendiri).

Cinta itu proses untuk pemberian diri seutuhnya kepada orang yang dicintai. Kita merasa cemburu, jengkel, marah, merasa tidak dihargai dan lain-lain merupakan langkah menuju cinta dalam arti sebenarnya bila hal ini disadari.

Cinta bekerja asal kita mau bekerja untuk cinta kita. Masih adanya perasaan cemburu, marah, tidak dihargai dan seterusnya merupakan bentuk cinta erotis/romantis. Kita masih diliputi oleh perasaan kita sendiri atau dengan kata lain, kita masih berpusat pada diri kita sendiri. Kita hanya bertolak dari kesenangan dan kepentingan kita sendiri.

Kesadaran akan ‘perubahan perasaan yang sering muncul’ ini, diperlukan suatu tindakan aktif yaitu adanya dialog antar kedua belah pihak. Dialog bukan untuk mencari menang atau kalah, melainkan mencari apa yang sebenarnya terjadi dalam diri dan perasaan kita (yang berbeda dengan komunikasi yang melulu berdasarkan rasionalitas).

Hal ini memang perlu dilatihkan dalam segala persoalan hidup. Orientasinya adalah demi orang yang kita cintai, atau demi keluarga kita, demi istri atau suami dan anak-anak kita, bagaimana kita bisa memberikan ketentraman, kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan serta perkembangan hidup bagi dia yang kita cintai.

Bila kita sampai pada taraf ini, maka yang ada adalah cinta persahabatan atau cinta dalam arti sesungguhnya. Masalahnya, siapa yang bisa sampai pada taraf ini?Adakah orang yang berani berkorban bagi orang yang dicintai tanpa pamrih sedikitpun bahkan memberi kebebasan bagi orang yang dicintai? Ketika tawaran cinta itu ditolak, apakah dia tetap mencintai?

Memang benar bahwa cinta itu bersifat kekal. Kita semua belajar untuk mencapai ‘cinta’ ini. Mungkin ini teori cinta. Namun kita selalu berusaha untuk mencari dan mencapai cinta ini.

[media-credit name=”google.com” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]Pada suatu hari, sepasang suami istri yang sudah tua berbagi kisah kepada saya.  Anak-anaknya sudah berkeluarga semua. Ketika masih muda, mereka mewujudkan ‘cintanya’ dengan dihiasi oleh nafsu seksual. Ini wajar karena memang demikianlah hakekat perkawinan yang salah satu tujuannya bersifat ‘prokreasi’. Segala persoalan hidup dipecahkan bersama namun dalam perspektif kebersatuan hidup atau kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae).

Ketika mereka sudah mulai tua, mereka menyadari arti sebuah cinta yang sebenarnya. Bagaimana masing-masing mulai memperhatikan dan berusaha memberi demi orang yang dicintainya. Kongkritnya adalah bahwa ketika si istri masak, sang suami ikut membantu entah mengupas bawang dan lain-lain sambil mengobrol. Mereka saling mengisi hidup dengan melakukan aktivitas rumah tangga secara bersama. Dalam suasana santai, mereka duduk berdua dan mengobrol. Mereka tidur tetap di satu ranjang.

Kata mereka, mereka seperti sahabat. Yah… sahabat yang dalam arti sebenarnya bersifat selamanya. Dan itulah yang saya katakan sebagai ‘cinta persahabatan’, dimana tidak ada unsur egoisme. Masalahnya adalah bagi kita yang masih muda dan masih dipenuhi perasaan yang meluap yang dalam arti tertentu sedang mencari ‘cinta’, baik mencari cinta pada diri sendiri maupun cinta pada orang lain.

Sehubungan dengan itu, sering tidak terbedakan antara “Cinta” dan “Nafsu”. Orang sering bilang bedanya amatlah tipis. Secara sederhana, perspektif “Cinta” adalah ke arah yang konstruktif sedangkan “Nafsu” ke arah yang destruktif.

Orang sering mengatakan cinta tanah air, pada dasarnya lebih untuk menguasai negara ini demi kepentingan pribadi (berpusat pada diri). Oleh karena itu, yang ada dalam dirinya bukan cinta, melainkan nafsu karena dampaknya menghancurkan orang banyak.

Namun, juga tidak dipungkiri bahwa pelayanan kepada orang lain pun selalu ada dimensi cinta, misalkan, seorang perawat atau dokter mengobati atau merawat pasien agar sehat kembali. Dengan perhatian, kelembutan atau sapaan yang membuat pasien merasa nyaman dan dengan demikian semakin menguatkan si pasien untuk sembuh. Artinya, pasien itu menjadi dirinya sendiri dan termotivasi agar lekas sembuh.

Tentu saja, dokter pun bisa mempunyai dimensi lain untuk kepentingan diri misalnya dengan harapan kredit point atau merasa diri paling berjasa.

Demikian juga, sepasang muda-mudi yang sedang pacaran. Karena tidak berani menolak atau tidak ingin ditinggalkan pacarnya, maka dia tetap menyediakan diri untuk melakukan hubungan seks agar pacarnya puas. Sering hal ini dikatakan sebagai bentuk atau ungkapan cinta. Padahal bukan, yang berkecamuk adalah nafsu. Pacarnya, yang mengatakan mencintainya, justru akan menghancurkannya (misalnya muncul ketakutan-ketakutan akan kemungkinan hamil di luar nikah, muncul rasa bersalah terus menerus, ketakutan akan tanggapan lingkungannya dan seterusnya).

Demikian pula, karena cinta lah, hendaknya bantuan datang untuk meringankan beban manakala terjadi bencana alam. Bila bantuan itu didorong oleh nafsu, maka bantuan itu  semata-mata hanya untuk mencari proyek dan tidak peduli dengan dimensi kemanusiaan secara murni.

Yesus dalam karyaNya melakukan jalinan persahabatan dengan banyak orang. Dia menawarkan cinta kepada banyak orang dan menawarkan jalinan persahabatan, namun tidak semuanya mau menerima tawaran itu. Orang yang menolak tawaran cintaNya pun tetap dicintaiNya.
‘Kamu adalah sahabatKu’, kataNya.

Kepada sahabatnya, Dia mau mengorbankan diri habis-habisan dengan kematian di kayu salib. Pengakuan sebagai ‘sahabat’ tentunya dilandasi oleh cinta. Cinta agar para sahabatNya bisa berkembang dan merasa tentram dalam hidupnya. Dia begitu dicintai oleh banyak orang karena di dalam diriNya ada cinta.

Namun Dia juga dibenci oleh banyak orang karena mereka tidak memahami arti cinta yang sebenarnya. Mereka cenderung berpikir dan berpusat pada diri mereka sendiri, demi politiknya, demi eksistensi dirinya, demi kedudukannya dan demi–demi yang lain.

Memang hal ini merupakan kebebasan mereka sebagai manusia untuk menentukan keputusan sendiri, menerima atau menolak tawaran cinta yang diberikanNya. Sekali lagi, cinta itu membebaskan dan sekaligus mengakui eksistensi kemanusiaan orang yang dicintai. Tidak ada dalam kamus cinta, ‘kamu harus mencintai aku karena aku mencintaimu’.

Dionisius Prihamangku Setyohadi, tinggal di Jakarta dan tengah merintis usaha di bidang pendidikan.

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here