Renungan Harian
Kamis, 12 Agustus 2021
Bacaan : Yos. 3: 7-10a. 11. 13-17
Injil: Mat. 18: 21-19: 1
“ROMO, saya tidak tahan lagi hidup dengan suami saya. Saya mau minta izin untuk pisah. saya tidak akan cerai romo. Karena saya tahu bahwa perkawinan Katolik tidak boleh cerai,” seorang ibu berbicara melalui sambungan telepon.
“Maaf Bu, apa yang sebenarnya terjadi sehingga membuat ibu tidak tahan?” tanya saya.
“Romo, pada awal pernikahan, saya pikir sikap suami saya yang cuek dan pendiam akan berubah seiring berjalannya waktu. Namun, sampai sudah lebih dari 20 tahun kami menjalani hidup perkawinan, sifat suami tidak berubah bahkan semakin menjadi.
Dia seolah tidak peduli dengan urusan rumah. Sebenarnya kalau diminta dia mengerjakan dengan baik, tetapi kalau saya tidak meminta, ya dia akan cuek.
Mau rumah seperti kapal pecah, mau halaman tidak diurus, mau genting bocor, dia tidak peduli.
Kalau nanti saya tegur, dengan enteng dia menjawab: “Lho, kan biasanya kamu yang mengerjakan. Nanti kalau saya kerjakan, kamu tersinggung.”
Romo, bayangkan apa saya tidak jengkel.
Belum lagi kalau ada masalah, dia diam. Seolah-olah semua ditelan sendiri. Saya itu ingin semua dibicarakan, sehingga semua jelas. Berkali-kali saya ngomong agar mau bicara kalau ada masalah.
Jawabnya: “Memang kalau saya cerita, lalu masalah jadi selesai?”
Romo, saya tidak ngerti lagi harus bicara apa dengan dia. Kadang saya berpikir tidak usah ngomong sama dia daripada sakit hati, tetapi kalau tidak ngomong, dia juga akan diam.
Romo, sekarang ini saya sudah pada titik saya benci dengan suami saya.
Sudahlah lebih baik saya menyingkir dari kehidupan dia, mungkin dia menjadi lebih bahagia dan saya menjadi lebih damai.
Dia tidak butuh isteri untuk hidupnya, dia butuh pembantu. Dan saya bukan pembantunya dia,” ibu itu bercerita.
“Ibu, sabar ya, satu hal penting adalah belajar mengampuni suami, dan belajar untuk berbicara lagi dengan suami,” kata saya.
“Romo, saya sudah tidak tahan lagi. Saya bisa mengampuni suami, asal tidak tinggal dengan suami lagi. Saya bisa tidak membenci dia dan hormat dengan dia, kalau pisah dengan dia,” jawab ibu itu.
“Ibu, maaf, apakah sudah tidak ada cinta lagi dalam diri ibu untuk suami? Dan semua sudah berganti dengan benci?” tanya saya.
“Romo, saya masih mencintai dia dan sayang sama dia. Tetapi saya tidak tahan hidup dengan dia,” jawabnya.
“Ibu, dengan cinta itu, maka ada harapan besar untuk tidak pisah. Karena dengan cinta itu, maka pengampunan akan jauh lebih banyak tersedia dalam diri ibu.
Mohon, agar cinta itu yang dipikirkan, dirasakan dan dinikmati lagi,” kata saya.
Cinta dan pengampunan bagai dua sisi dari sekeping mata uang. Pengampunan tidak mungkin tanpa cinta demikianpun cinta tidak mungkin tanpa pengampunan.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius, perumpamaan tentang raja yang mengampuni sumbernya karena tergerak oleh belas kasihan.
Sebaliknya orang yang tidak mau mengampuni karena tidak ada belas kasih dalam dirinya. “Tergeraklah hati raja oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga hamba itu dibebaskannya dan utangnya pun dihapuskannya.”
Bagaimana dengan aku?
Adakah aku mudah untuk mengampuni?