SAYA mengenal sepasang suami isteri yang sungguh menikmati indahnya hidup perkawinan. Terlintas di benak saya gambaran akan senyum ria yang selalu terpancar dan kegairahan hidup yang mewarnai keluarga mereka.
Mereka masih muda dan menikah sekitar 10 tahun yang lalu. Mereka dikaruniai dua anak yang masih kecil dan satu masih dalam gendongan. Dari sisi ekonomi, mereka sangatlah sederhana, namun mereka tidak pernah cemas tentang hidup selagi mereka tetap bersama.
Mulai dari hal kecil dan sederhana
Pengenalan saya akan keluarga ini tidak terlepas dari iman dalam yang mereka hayati lewat kehadiran di Gereja pada hari Minggu. Mereka selalu datang bersama. Pemandangan yang sangat menarik dan indah saat mereka datang ke Gereja sang suamilah yang biasanya menggendong si bungsu.
Pikiran saya langsung melayang ke negeriku di mana kita jarang melihat suami menggendong anak-anak mereka. Mungkin, mereka enggan karena takut dicap suami takut dan tunduk pada isteri. Tetapi si suami ini punya prinsip yang luhur bahwa cinta terhadap anak harus ditunjukkan sejak dini lewat hal kecil dan sederhana (menggendong).
Rupanya lebih dari situ. pasangan ini telah membuat suatu kebijakan hidup perkawinan sejak awal menikah sekian tahun yang lalu bahwa KEBERSAMAAN dan KERJA SAMA sangatlah penting. Riak-riak hidup berkeluarga: salah pengertian dan hempasan badai perkawinan (kecemburuan, curiga, selingkuh) bisa diatasi.
Adu argumen boleh, kekerasan jangan
Apakah perjalanan bahtera mereka selalu lancar? Apakah hidup perkawinan mereka selalu adem? Dengan jujur mereka menandaskan persoalan, pertengkaran dan adu argumen yang kadang dibarengi “teriakan” kadang terjadi tetapi mereka sudah sepakat separah apapun pertengkaran jangan ada kekerasan. Tangan dan kaki tidak boleh ikut “berbicara”.
Mereka meyakini sapaan rohani bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati. Mereka mengimani Allah yang telah mempersatukan mereka dalam Sakramen Perkawinan karena itu ikatan suci itu harus dipelihara. Bahkan mereka melengkapi ungkapan itu,
“Kalau iman tanpa perbuatan adalah mati, harapan tanpa keyakinan akan sia-sia, maka kasih tanpa pengampunan adalah kosong.”
Maka pertengkaran yang mewarnai hidup perkawinan, bagi mereka, bukanlah sesuatu yang mencemaskan karena sapaan rohani itu selalu terpatri dalam diri mereka masing-masing.
Kemesraan yang tulus
Kemesraan yang mereka hidupi benar kemesraan yang tulus dan murni. Mereka tidak mau menunjukkan kahangatan yang semu, sebagaimana sering dipamerkan oleh banyak keluarga lain di mana mereka tampaknya mesra dan hangat di depan umum, namun sebenarnya tidaklah demikian kenyataannya. Mereka menutupi kehambaran hidup keluarga dengan penampilan yang dipoles.
Keluarga muda itu menandaskan kegembiraan yang paling mereka rasakan saat ini ialah cinta itu masih utuh. Walaupun dari segi ekonomi mereka kekurangan namun dari segi cinta mereka kaya. Kendatipun dari materi mereka tidak berpunya, harapan untuk hidup lebih baik tidak pernah pudar. Dan biarpun persoalan tetap banyak, kesediaan untuk memaafkan satu sama lain tetap bergema dalam hati mereka. Karena itu, hari esok bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi mereka, dan lusa bukan juga sesuatu yang mencemaskan.
Mutiara bagi semua
Masa depan bukanlah sesuatu yang kabur. Mereka optimis bahwa perjalanan seiring bersama yang sering mereka lakukan adalah “senjata” ampuh menghadapi setiap liku hidup dan jalan terjal.
Akhirnya mereka menyampaikan “mutiara” keluarga dan barangkali bisa miliki dan dirawat oleh siapa saja, baik yang sudah lama menikah, keluarga muda dan bahkan yang akan menikah nantinya.
“Aku tidak berarti tanpa kamu dan aku tidak sempurna tanpa kehadiranmu. Engkau sangat berharga dalam hidupku dan kamu sungguh membawaku ke dunia yang indah dan mempesona lewat perkawinan. Engkau memang sungguh membuat perbedaan dalam hidupku.
Allah tambahkan iman kami, sempurnakanlah cinta dan gerakkanlah hati kamu untuk selalu mengampuni satu sama lain. Engkau yang mempersatukan kami dan Engkau jugalah yang menjaga supaya sumber “mata air” itu jangan mengering, “gelas” itu jangan sampai pecah, “cahaya” itu jangan sampai padam, dan “rantai” itu jangan sampai putus.
Catatan:
Mata air= cinta dan kasih,
Gelas= bahtera keluarga,
Cahaya= semangat
Rantai= ikatan suci perkawinan.
Semoga keluargamu tetap berbahagia bukan terutama karena materi tetapi karena kamu, engkau berdua (suami-istri) saling memiliki dalam cinta.
Romo Yosafat Ivo OFM Cap, tengah belajar di Universitas Guam dan tinggal di Sinajana, Guam.
Kisah yang biasa menjadi luar biasa dengan pemaknaan dan komitmen perkawinan. Saya sangat terharu dengan motto “Tuhan yang mempertemukan, Tuhan juga yang memeliharanya”
GBU
makasih Tuhan Renungan yang sangat meneduhkan…maaf saya baru baca pagi ini..bolehkah lebih banyak renungan yang bisa dibagikan?