BAPERAN – BAcaan PERmenungam hariAN.
Senin, 13 September 2021.
Tema: Pantas dan layakkah?
- 1 Tim. 2: 1-8.
- Luk. 7: 1-10.
MEREBAH. Ini adalah ekspresi sikap sadar dirinya tidak pantas di hadapan Allah Yang Maha Kudus. Ia menyadari diri sangat membutuhkan kasih Allah untuk dapat hidup layak di hadapan-Nya.
Saat kita merayakan derita kudus Tuhan di hari Jumat Suci, juga selama masa Prapaska, dalam keheningan, imam sebagai wakil umat yang kudus, merebahkan diri sejenak di depan altar.
Ketidaklayakan dan ketidakpantasan menerima anugerah suci Sang Penebus ini menandai awal liturgi perayaan iman Ibadat Jumat Agung. Yakni, di hadapan salib suci Sang Penebus.
Demikian juga, hal sama -merebahkan diri di depan altar- juga selalu terjadi saat tahbisan imam. Ada momen di mana para diakon calon imam ini selama kurang lebih 10 menit dalam posisi tubuh merebah, ketika doa Litani Maha Kudus dinyanyikan.
Terjadi persis sebelum acara pokok tahbisan imam yakni penumpangan tangan di atas kepala masing-masing diakon oleh Uskup Penahbis.
Mereka menyadari dan memohon agar kuasa kasih Roh Kudus sendirilah yang memampukan, mengobarkan dalam hati mereka atas pengutusan dalam bingkai hirarki Gereja ini.
Berangkat dari ketidaklayakan.
Santo Paulus menyadarkan, “Aku ingin supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci, tanpa marah, dan tanpa perselisihan.” ay 8.
Tersiratlah, dengan hati suci dan hidup yang dilayakkan oleh Tuhan sendiri yang menguduskan kita, maka litani doa itu tidak lain merupakan doa permohonan dari putera-puteri Bapa terkasih.
Pernah saya bertanya dengan beberapa imam apa yang mereka rasakan, ketika mereka merebahkan diri di depan altar.
Beberapa gerak hati mereka saya ingat dan saya catat sebagai ungkapan syukur sekaligus kesadaran ketidakpantasan diri, tetapi dipercaya dan diutus.
Sentuhan suci
Saat itu, saya semakin menyadari dan mengarahkan diri pada Satu Pribadi yang betul-betul telah menumpahkan kasih yang khusus dalam diri saya.
Saya telah mengalami perhatian khusus. Sebuah kasih sangat ekspresif dan juga sangat personal terjadi di dalam sejarah hidup saya. Saya percaya. Ia mencintai dan memberkati keputusanku.
Bersama dengan bergulirnya rasa kuat tak terbendung, sepanjang waktu pembinaan dan juga kesempatan dan himpitan-himpitan yang pernah saya alami, maka semua itu akhirnya berpuncak pada sebuah keyakinan dan syukur. Atas rahmat kasih Allah yang terjadi sepanjang mengalami pergulatan hidup.
Kendati juga, saya mengaku pernah keliru.
Saat itu pula, saya semakin menyadari betapa cinta itu sungguh merupakan anugerah. Itu merupakan “gratia” yang artinya rahmat cuma-cuma. Dan kita punya kosa kata “gratis”, karena memang diberikan secara cuma-cuma.
Betapa pemberian dan perhatian Allah itu telah membangkitkan dan mengarahkan perjalananan hidupku ke arah yang lebih baik.
Sentuhan keilahian ini membangkitkan hasrat untuk mengembangkan hidup kemanusiaanku dan kehendak melayani-Nya dalam diri umat-Nya.
Getaran batin ini begitu kuat.
Tetapi, saat itu juga saya semakin tersadari. Berkat Dia dan Sakramen Imamat ini, saya semakin diyakinkan bahwa memang ada sesuatu yang lebih berharga, lebih bernilai dari semua pengalaman-pengalaman yang ada. Bahkan terhadap pribadi-pribadi yang dikenal selama ini.
Martabat baruku itu lalu menyadarkan, semua milik Tuhan semata. Pada akhirnya, semua akan menjadi hening dan transparan bagiku.
Tersadari kembali dan itu menguatkan, hidup batin dan imamat memanglah pola dan cara hidup yang lebih pas; bagaimana aku bisa menghayati tujuan hidupku untuk apa aku diciptakan.
Namun terselip juga sebuah pertanyaan, bukan keraguan.
Apakah aku disanggupkan untuk hidup seperti yang diharapkan oleh umat beriman dalam Gereja-Nya? Pesan perikop Injil Lukas 15 menjadi sebuah kesadaran dan ingatan kudus.
Adakah jurang atau cermin yang membedakan antara iman dan institusi? I hope not.
Terhadap peristiwa-peristiwa hidup masa lalu dan kebersamaan dengan yang lain, apakah itu merupakan sebuah gerak dinamis penyempurna akan hidup dan pengutusanku sebagai orang tertahbis – menjadi imam. I hope so.
Saat itu, saya merasa dan juga menjadi yakin, ada gerak peneguhan. Saya percaya, Tuhan akan bertindak. Ia akan menunjukkan kemuliaan-Nya.
Sekali lagi, saya percaya.
Saya memberanikan melangkah bersama umat yang mendoakan. Kemurahan Tuhan dijanjikan. Aku melangkah lagi dengan pasti, karena Tuhan tak pernah ingkar janji.
Benar dan tepatlah apa yang dikatakan seorang perwira dalam Injil hari ini.
“Tuan, janganlah bersusah-susah, sebab aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku; sebab itu aku juga menganggap diriku tidak layak untuk datang kepada-Mu. Tetapi katakan saja sepatah kata, maka hambaku (aku) akan sembuh.” ay 6b-7.
Kesadaran diri sebagai pendosa adalah awal sentuhan Sang Ilahi, mengarahkan diri pada kasih Ilahi.
Tuhan, rahmat-Mu di luar nalarku. Biarlah aku berani belajar berserah. Amin.