PENGALAMAN konkret jemaat perdana dalam menjadi saksi Injil di tengah aneka kebudayaan dan agama, dalam hal ini, layak untuk diangkat sebagai contoh bagi kita.
Kisah Para Rasul menyajikan kepada kita bagaimana jemaat perdana berusaha agar karya keselamatan Allah, yang diwahyukan dalam pribadi dan peristiwa Yesus Kristus, dapat diterima secara universal.
Kepada kita juga disajikan bagaimana jemaat perdana menyelesaikan masalah internal dalam kasih dan dalam bimbingan Roh Kudus.
Dua bab berikut memuat kisah tentang pengalaman-pengalaman tersebut.
Pertama, Kisah 10
Kisah 10 berbicara tentang perjumpaan jemaat perdana dengan budaya Yunani-Romawi. Tokoh utama dalam kisah ini ialah Petrus dan perwira Kornelius. Sedangkan latar tempatnya ialah Kaisarea.
Kaisarea sendiri bagi orang Yahudi merupakan manifestasi dari dominasi politik serta kultural dari bangsa Romawi yang kafir. Demikian pula perwira Kornelius dapat dilihat sebagai wakil dari kuasa kolonial itu.
Situasi ini mendatangkan keragu-raguan dalam diri Petrus. Ia ragu untuk mendatangi dan mendekati Kornelius, betapa pun salehnya dia. Meski sampai tiga kali mendapat penampakan (Kis. 10:11-15), Petrus masih saja mengalami kebimbangan.
Roh Kudus sendirilah yang kemudian mendorong dia untuk menemui para utusan Kornelius: “Bangunlah, turunlah ke bawah dan berangkatlah bersama-sama mereka, jangan bimbang, sebab Aku yang menyuruh mereka kemari”. (Kis. 10:20).
Petrus pun kemudian dengan lantang dan berani berkhotbah tentang ciri universal karya penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus (Lih. Kis. 10:34-43). (Adrianus Sunarko, Teologi Kontekstual, Jakarta: Obor, 2016, 88-89.)
Dari peristiwa di atas, sebagaimana dicatat oleh Adrianus Sunarko, ada dua hal yang dapat kita pelajari.
- Pertama, dari perjumpaan Petrus dengan Kornelius kita hendak diingatkan bahwa belas kasih Allah itu mengalir untuk semua manusia yang mencari Dia dengan tulus.
- Kedua, orang yang berbeda kebudayaan diterima bersama kebudayaannya dan tidak diasingkan dan dipisahkan dari lingkungannya sendiri sebelum dapat mengambil bagian dalam umat Allah.
Kedua, Kisah 15
Kisah 15 berbicara tentang sidang di Yerusalem yang mana persoalan utamanya ialah berkaitan dengan perlu atau tidak sunat bagi orang yang hendak menjadi Kristen.
Setelah melalui perundingan yang panjang, akhirnya dicapailah satu kesepakatan bahwa untuk menjadi Kristen, orang tidak perlu menjadi Yahudi terlebih dahulu (disunat).
Kisah 15 memberi pelajaran berharga terutama dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan atau konflik yang sering kali terjadi dalam dinamika hidup berjemaat. Pelajaran yang bisa kita ambil ialah supaya setiap persoalan harus dihadapi secara bersama dan dengan selalu menghormati keragaman pendapat.
Dengan diselesaikan secara bersama-sama, hasil keputusan kemudian akan menjadi hasil keputusan bersama. Bukan hanya menjadi milik satu atau segelintir orang saja. Pelajaran lain yang tak kalah penting dari perundingan di Yerusalem tersebut memohon bimbingan Roh Kudus agar Dia sendirilah yang membimbing dan menggerakkan hati dan pikiran kita dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang ada.[1]
Begitulah sekelumit persoalan faktual yang dihadapi Gereja Perdana. Mereka dimampukan untuk memberikan kesaksian dengan penuh keberanian karena Roh Kudus sendirilah yang memberi mereka kekuatan.
Selain itu, juga karena ditopang oleh kokohnya ikatan persekutuan di antara para jemaat.
Seperti dicatat dalam Kisah Para Rasul bab 2 ayat 42: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.”
Pengalaman kita
Dari pengalaman konkret Gereja Perdana, sekarang mari kita berpaling kepada pengalaman kita sendiri sebagai Gereja Keuskupan Sintang. Pengalaman faktual yang kita hadapi dan alami barangkali berbeda dengan pengalaman jemaat perdana.
Namun, jika kita melihat kembali ragam rumusan visi ardas di atas, Gereja Keuskupan Sintang juga ingin hidup dalam semangat persekutuan, seperti jemaat perdana, dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang ada.
Dari rumusan-rumusan visi ardas di atas akan tampak jelas bahwa Gereja sebagai komunitas umat beriman (communio) merupakan model atau bentuk Gereja yang hendak dihidupi sekaligus juga dicita-citakan oleh Gereja Keuskupan Sintang. Dengan Gereja sebagai communio mau ditegaskan bahwa Gereja bukanlah sekedar perkumpulan atau kerumunan orang, melainkan sebuah communio yang hidup, yang terbentuk oleh baptisan dan iman yang sama. (Lih. Arah Dasar Keuskupan Sintang 2012-2016, no. I B.3.)
Apa kemudian yang dimaksud dengan communio (koinonia)?
Secara fundamental communio berarti persekutuan dengan Allah melalui Yesus Kristus, dalam Roh Kudus.
Persekutuan tersebut ialah persekutuan dalam Sabda Allah dan dalam sakramen-sakramen. Baptis merupakan pintu dan fondasi persekutuan dalam Gereja. (Berlanjut)