LAGU dan syair yang dilantunkan oleh Ebiet G. Ade yang berjudul, Aku Ingin Pulang sungguh mengharukan hati.
Kerinduan akan kembali ke rumah, merupakan pengalaman pribadi yang kompleks. Rindu akan kamar yang dulu kita gunakan untuk meletakkan badan jika penat, rindu berjumpa dengan orang tua dan kakak-adik, rindu akan kamar mandi yang airnya sejuk, rindu akan halaman rumah tempat bermain dengan teman-teman sebaya.
Menyadari akan makna rumah yang penuh nostalgia di masa kecil itu, saya menjadi ingat akan ungkapan klasik yang berbunyi, “Rumah adalah sanctuary bagi tiap pribadi.” (Kompas, 16 Juli 2011).
Rumah damaikan hati
Rumah yang penuh kenangan itu bukan saja sebagai bentuk bangunan (a house), tetapi rumah juga membuat hati damai, krasan dan menyembuhkan (at home). Sebagai contoh, tatkala saya bertugas di Paroki Kutoarjo, jika dalam diriku ada rasa tidak nyaman, pada hari Rabu pagi – waktu untuk ambulasi – saya kembali ke Gunung Kidul.
Selama sehari penuh, saya tiduran di tempat kamarku waktu kecil dan mandi dengan air yang sama ketika masih kecil. Di rumah itu saya bersantai-santai yang oleh Cicero (106–43 SM) dikatakan bahwa manusia itu sebagai homo relaxus.
Kerileksan itulah yang memulihkan energi saya siap untuk berkreasi kembali. Ketika Rabu sore, kembali ke tempat dinas, sudah sehat lagi. Rasa kangen terobati.
Barangkali pengalaman pulang ke rumah itu yang menurut istilah psikologi sebagai suatu oceanic experience, suatu pengalaman samodra yang nyaman dalam kandungan ibu atau dalam comfort zone. Wallahualam!
Terlihat dari kamar
Rasa at home dalam rumah itu juga bisa kita lihat dalam diri kamar seseorang. Pastor Gregorius Hertanto Dwi Wibowo MSC, doktor lulusan Universitas Innsbruck, Jerman, sekarang ini bertugas sebagai dosen dogmatik dan staf Pembina di Skolastik.
Dalam sharing-nya, ia bisa mengamati sikap hidup seseorang dari kamarnya. Ada seseorang yang amat aktif di luar (pekerja militant, pemberi seminar dan disenangai banyak orang), tetapi dirinya tidak at home di kamarnya, padahal kerapihan dalam kamar pribadi itu menunjukkan pula kerapihan dalam hidupnya.
Orang telah melanglang buana “memberikan ilmunya” kepada banyak orang, kini perlu pulang ke kamarnya untuk “mengendapkan” pengalaman-pengalaman hidupnya. Di kamar pribadinya inilah, dia bisa berbicara dengan dirinya sendiri. Sekali lagi, “Rumah adalah sanctuary bagi tiap pribadi”.
Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi menulis, “Kita semua memerlukan sebuah tempat pribadi dalam kehidupan kita di mana kita dapat beristirahat sejenak dari kehidupan: hal itu membantu kita untuk memusatkan diri kita dan menjadi lebih kreatif.
Di Arab di mana seluruh kehidupan merupakan perjuangan, sanctuary merupakan kebutuhan.” Dari sana kita bisa merenungkan, betapa pentingnya kita untuk “pulang” dan memberi tempat dan waktu yang khusus dan khusyuk untuk pribadi kita.
Di kampung halamanku pula, ada ritual yang tidak pernah tergantikan dari generasi ke generasi yakni pulang ke rumah (mudik). Setiap tahun, menjelang Idul Fitri, ratusan bus dari Jakarta ber-mudik untuk pulang ke rumah.
Kepulangan mereka tidak tanpa perjuangan. Mereka harus membeli tiket (bus, KA dan pesawat) dengan harga yang melambung tinggi dan sesampainya di bandar udara, stasiun dan stamplat para pemudik harus berdesak-desakan mencari tempat duduk.
Tetapi semuanya itu dipandang sebagai ibadah yang akhirnya bisa berjumpa dengan kerabat di kampung halaman. Di kampung halaman itulah, mereka saling mengampuni dan memaafkan, sehingga manusia menjadi fitrah (suci).
jadi ingin pulang..menemukan rumah. tidak hanya kamar yang membuat rumah sy istimewa, namun tiap sudutnya. tiap barang yang ada mengukir sejarah, lemari hias dengan kaca pecah, pintu bercat merah..saat penat,ingin segera pulang menemukan rumah untuk melepasnya.