SEPENGGAL peristiwa heroik di Benteng Pamplona di kawasan Pegunungan Basque, perbatasan Spanyol-Perancis adalah awal kisah yang menarik. Membicarakan Inigo dan gambarannya mengenai Allah, mau tak mau harus menyebut tiga nama kota berikut ini yakni Pamplona, Monserrat, dan Manresa.
Semula Ignatius Loyola menyandang nama resmi sejak kecil yakni Inigo. Ia lahir di Loyola (Spanyol) sebagai anak laki-laki bungsu dari 13 orang saudara. Kedua orangtuanya berasal dari keluarga ningrat Spanyol. Ketiga Inigo masih kecil, ia sudah menjadi yatim karena ibunya meninggal dunia. Saat itu, Inigo masih anak bawang karena umurnya baru tujuh tahun. Sejak kepergian ibunya, Inigo kecil lalu diasuh oleh salah satu keluarga kakaknya dan di keluarga itu ia dirawat penuh cinta oleh iparnya yang bernama Magdalena de Araoz.
Memburu kenikmatan
Lazimnya manusia –dan terutama kaum pria saat itu—30 tahun pertama dalam hidup Inigo sungguh sebuah pengalaman hidup serba hedonis alias suka memburu kenikmatan. Inigo muda ambisius membangun banyak impian besar. Didorong oleh sebuah keinginan untuk memperoleh kehormatan yang besar sebagai seorang ksatria, maka Inigo muda juga tak segan-segannya menghabiskan waktu untuk berlatih memainkan berbagai senjata.
Ternyata, ambisi meraih ketenaran itu dipicu oleh dorongan sekaligus dambaan pribadi guna bisa merebut hati seorang putri bangsawan kelas atas. Namun, impian-impian besar itu akhirnya buyar dan ambisinya berantakan, manakala Benteng Pamplona yang menjadi perimeter pertahanan pasukan Spanyol akhirnya jatuh ke tangan musuh: tentara Perancis pada Mei 1521. Untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak: sebuah pelor meriam menyerempet kakinya hingga meremukkan kaki kanannya dan kaki kirinya terluka parah.
Hari-hari panjang di atas bed
15 hari Inigo mengerang kesakitan di Pamplona. Kemudian, ia minta ditandu dibawa pulang ke kota asalnya di Loyola untuk penanganan lebih lanjut. Inigo mulai kacau dengan semua impian indahnya, ketika mendapati dirinya tak bisa berbuat banyak selain hanya bisa tidur menunggu nasib baik di tangan para dokter bedah yang mengoperasi kedua kakinya.
Hari-hari pasca operasi berlalu sudah. Namun, kondisi kakinya bukannya bertambah baik. Sebaliknya, kondisi kesehatannya juga semakin memburuk. Para dokter yang merawatnya mencemaskan kalau-kalau hidupnya takkan berlangsung lama karena besar kemungkinan Inigo akan mati. Sebagai orang katolik, Inigo mendapat bisikan agar segera mempersiapkan kematiannya dengan mau menerima Sakramen Tobat.
Pada vigili (malam menjelang) Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, Inigo memasrahkan dirinya di tangan romo setempat yang memberinya Sakramen Perminyakan. Sepertinya ajal sudah di depan mata…Para dokter sudah berani mengatakan, kalau sampai tengah malam itu, Inigo tidak berhasil melewati jam-jam kritis itu, sudah pastilah tentara muda ini akan tewas.
Menjadi cacat
Ternyata, yang terjadi malah sebaliknya. Mulai malam itu, Inigo merasakan dan para dokter mengamati ada kemajuan drastis pada kondisi kesehatannya. Proses menuju sembuh tiba-tiba datang tanpa basa-basi. Hal itu terjadi –demikian kata Inigo di kemudian hari—karena ”campur tangan” Tuhan. Menurut Inigo yang mengaku punya devosi besar terhadap Santo Petrus, ”Pada malam itu juga, Tuhan menghendaki dirinya bisa merasakan kondisi kakiknya membaik.”
Okelah kondisi kakinya memang makin membaik. Namun, Inigo terpaksa harus menelan ludah, ketika tulang-tulangnya yang sudah kembali menyambung itu terjadi tidak ”sempurna” alias tidak bisa kembali seperti semula sebelum kena pelor meriam tentara Perancis. Ada sebuah tulang yang menopang di atas yang lain dan itu terjadi persis di bawah lututnya. Akibatnya ada benjolan muncul dan kakinya yang satu menjadi lebih pendek dari yang lain.
Kondisi ini membuatnya muram sekaligus marah. Pincang adalah sesuatu yang tak boleh terjadi dalam diri Inigo muda. Itu sama saja berarti semua impian besar dan indah menjadi buyar. Tujuannya hidup di ambang sirna. Kepada para dokter bedah yang merawatnya, Inigo minta agar diadakan operasi lagi. Ia minta tulangnya dipotong, meski dengan risiko besar dibanding operasi tahap pertama. (Bersambung)
Romo Ignatius L. Madya Utama SJ, seorang pastor Yesuit dan dosen teologi di STF Driyarkara Jakarta dan Pusat Pastoral Yogyakarta.
Photo credit: Kamar kecil di Loyola (Spanyol) dimana Inigo lahir dan dibesarkan (Ignatius L. Madya Utama SJ, tahun 2000)