Mewarisi Gelora Hati Romo Mangun (1)

0
204 views
Romo Mangunwijaya Pr.

SAYA menulis refleksi ini dalam rasa syukur atas hidup dan perjuangan Rama Yusuf Bilyarta Mangunwijaya Pr yang dipanggil Tuhan 25 tahun yang lalu, tepatnya pada 10 Februari 1999. Pada tahun 2023, saya menerbitkan sebuah buku berjudul Gelora Hati Mangunwijaya terbitan PT. Kanisius.

Buku ini lahir dari ketertarikan saya membaca ungkapan: “Jangan mematok diri sendiri baku beku, mengklaim monopoli heroisme. Gelora hati harus disetir oleh otak yang pandai berkalkulasi, namun otak harus dijiwai hati.”

Kata bijak Romo Mangun ini mengingatkan saya terhadap berbagai macam hal yang pernah saya dengar tentang hidup dan perjuangan Romo Mangun. Dalam dirinya, yang lahir pada 6 Mei 1929 dan meninggal 10 Februari 1999, tersimpan kenangan orang tentang seorang tentara, imam, sastrawan, arsitek, pekerja sosial dan terutama seorang yang hatinya bergelora untuk melakukan kebaikan.

Kenangan terakhir inilah yang coba saya rumuskan di dalam buku saya. Pertanyaan dasarnya adalah tentang, “Darimana gairah membawa berkah ini hadir?” Kalau orang zaman sekarang menyebutnya, “Power-nya ga habis-habis? Kapan nge-charge-nya?”

Buku “Gelora Hari Romo Mangunwijaya, Pilihan Hidup Seorang Katolik” karya Martinus Joko Lelono Pr.

25 tahun meninggalnya Romo Mangun

Hari-hari ini, ketika kita mengenangkan 25 tahun kepergiannya, kita bersama-sama merayakan dan mengenangkan ketulusan dan perjuangan tanpa lelah dari pribadi yang sederhana ini. Warisan intelektual dan kontribusi besarnya terhadap hidup bersama di Indonesia terus menerus dirasakan oleh masyarakat negeri ini.

Dari pribadi ini, kita bisa belajar tentang: memiliki semangat juang yang bertahan lama; hidup yang berbuah dalam berbagai macam bentuk; dan kasih yang terwariskan dalam berbagai macam ungkapan.

Saya menengarai semangat itu tidak lain dan tidak bukan berakar dari keinginannya untuk mengikuti jejak Yesus Kristus yang tidak ingin membuat gelora hatinya beku. Baik kasih Yesus maupun kasih Mangun melampaui apa yang dianggap sebagai normalitas pada masa itu.

Saya menulis:

  • Kasih Yesus membuatnya meninggalkan keluarga untuk pergi menjadi pewarta. Kasih Mangun meninggalkan mimpi masa kecil (untuk menikah dengan puteri cantik dan berwisata di sabtu malam).
  • Kasih Yesus membuatnya mendekati mereka-mereka yang dianggap sampah oleh masyarakat (pemungut cukai, pelacur, dan mereka yang sakit yang dianggap kerasukan setan). Kasih Mangun membuatnya meninggalkan meninggalkan pasturan, tinggal di bantaran sungai bersama orang-orang yang dianggap sampah masyarakat.
  • Kasih Yesus mengembalikan martabat wanita yang ketahuan berbuat zina. Kasih Mangun membangkitkan martabat orang-orang Kedugombo yang martabatnya diinjak-injak tatkala tanah mereka dibeli dengan begitu murah oleh para pejabat negara waktu itu (hal 18-19).

Kasih dan perjuangan Rama Mangun terbukti dalam perjalanan waktu. Ia belajar dari Yesus gurunya tentang bagaimana membongkar hal-hal yang tampaknya normal, tetapi sebenarnya menyimpan penindasan terhadap martabat manusia lain.

Sejumlah mahasiswa menuju kawasan Gigrak, Kabupaten Gunung Kidul. (Dok. Sesawi.Net)

Romo Mangun tentang Yesus

Dalam refleksinya, Rama Mangun menulis:

  • Yesus menjungkirbalikkan norma-norma yang biasanya merajai setiap agama, yang selalu ingin dekat dan disenangi oleh penguasa dan kaya.
  • Yesus mendekat kepada manusia, khususnya manusia yang tidak punya kedudukan maupun arti, untuk mengangkat mereka dari status hina ke dalam tingkat kemanusiaan yang terhormat dan bermartabat.

Pemujaan kepada Tuhan yang Mahabesar diungkapkan lewat pengangkatan manusia hina ke taraf kemanusiaan yang layak. Seperti dirancang Tuhan pada awal penciptaan, tetapi dirusak oleh kelahiran hukum rimba buatan manusia (Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, Penerbit Kanisius, 1999, 16).

Dari sini, kita bisa menemukan alasan mengapa ia tidak pernah kehabisan ide dan semangat dalam menampakkan kasih Yesus kepada sesamanya. Dalam hal-hal itulah, Rama Mangun sedang meneladan kisah Yesus, Guru dan Tuhannya.

Think globally, act locally

Dalam hukum yang kita kenal dengan Hukum Cinta Kasih, Yesus mengatakan, ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu adalah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat 22: 37-40).

Cinta kasih yang diajarkan oleh Yesus ini adalah cinta kasih yang universal dan seperti kita tahu bersama, Gereja Katolik adalah Gereja yang mencakup seluruh dunia. Namun, ungkapan cinta kasih itu selalu lokal mengingat kita tidak bisa mencintai semua orang, kita hanya bisa mencintai orang-orang yang ada di sekitar kita; kita tidak bisa mencintai semua pekerjaan, tetapi kita bisa mengasihi pekerjaan yang semestinya kita lakukan.

Ilustrasi: Gubug Romo Mangun di bibir Pantai Grigak Gunung Kidul kurun waktu 1986-1990. (Dok. Sesawi.Net)

Dalam hal inilah lokalitas di dalam mengasihi menemukan tempatnya.

Dalam konteks Rama Mangun, orang bisa belajar bahwa ia hidup di dalam semangat, “kini dan di sini.” Ia menghidupi apa yang dikatakan dalam Kitab Pengkhotbah, “Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga.” (9:10).

Salah satu contoh dari semangat ini adalah bagaimana beliau memohon kepada Bapa Uskup Kardinal Justinus Darmojuwono untuk tinggal bersama para papa di pinggiran Kali Code. Ia memulai semuanya dari awal hingga akhirnya terbangunlah tempat hunian yang layak di pinggiran Kali Code.

Setelah enam tahun di sana (1980–1986), Rama Mangun menyediakan diri untuk mengupayakan tersedianya air bersih bagi masyarakat di Grigak, Wonosari yang sebagian semuanya tidak Katolik.

Ketika mendengar tentang ketidakadilan yang terjadi di Kedung Ombo, Rama Mangun memindahkan perhatiannya. Tergerak oleh keprihatinan di Kedung Ombo, Rama Mangun hadir untuk mengupayakan pendidikan bagi anak-anak dari mereka yang menolak meninggalkan tanah mereka di Kedung Ombo karena ganti rugi yang begitu menindas mereka. Mereka tidak memiliki akses lagi ke pendidikan karena tanah di sekitar mereka sudah terendam air.

Dalam hal ini, Rama Mangun harus berhadapan dengan aparat dan pemerintahan, tetapi ia tidak gentar karena yakin sedang membela kebenaran, membela Tuhan di dalam saudara-saudarinya yang paling hina.

Di masa-masa akhir hidupnya, Rama Mangun mengembangkan pendidikan alternatif yang sekarang disebut sebagai SD Eksperimental Mangunan yang menyediakan pendidikan yang memerdekakan bagi para peserta didiknya.

Semangat mengerjakan apa yang harus dikerjakan merupakan spiritualitas yang menghantarnya sampai kepada pengabdian yang gilang gemilang bagi bangsa. Dalam dirinya, terjadilah apa yang disebutnya sendiri sebagai, “Memuliakan Allah, mengangkat manusia.”

Beliau menjadi pribadi yang purna dalam arti “menyatu antara kata dan perbuatan.”

Romo Mangun dan pendidikan anak miskin. (Ist)

Sebuah refleksi

Dalam Gereja Katolik, tokoh teladan yang dianggap sebagai suci sehingga layak disebut Santo atau pun Santa selalu adalah orang yang sudah meninggal. Alasannya, hidup mereka terbukti setia sampai akhir.

Sampai dengan hari ini, kisah hidup Rama Mangun masih dibicarakan sebagai kisah hidup orang yang baik dan pantas diteladani. Mungkin saja ia akan digelari santo, tetapi paling tidak di hati banyak orang yang mengalami kasihnya, ia adalah orang yang suci (santo).

Dalam konteks bangsa Indonesia, ada sebuah gerakan yang hendak mengupayakan Rama Mangun sebagai Pahlawan Nasional.

Layaknya pahlawan-pahlawan yang lain, kisah dan perjuangan Rama Mangun akan dijadikan standard moral dalam perjuangan mencintai Bangsa. Kita harap upaya ini berhasil karena memang kasih dan perjuangan Rama Mangun bagi bangsa Indonesia layak untuk dijadikan teladan.

***

Melalui buku yang saya tulis, saya mencoba untuk menyampaikan apa yang ada di balik kisah gilang gemilang Rama Mangunwijaya.

Di balik semua perjuangan tersebut, rupanya ia adalah orang yang meneladan Yesus gurunya bukan hanya dalam kata. Tetapi juga dalam pergulatan batin dan tindakan nyata.  Dalam bagian epilog dari buku ini, saya menulis:

Buku yang dipikirkan sebagai sebuah refleksi tentang pilihan-pilihan Romo Mangun ini diharap menjadi jalan untuk mengingatkan kita semua tentang berbagai ‘kelembaman,’ ‘kemapanan’ dan ‘gairah yang hilang’ di saat orang hidup dalam kemapanan.

Dalam konteks hidup menggereja, peran kenabian Gereja yang dibawa dengan gilang gemilang oleh Romo Mangun ini mengundang orang-orang yang hidup dalam generasi ini untuk membuat kisahnya masing-masing membawa terang Kristus di tengah-tengah hidup bersama.

Layaknya sebuah refleksi, kisah-kisah di dalam tulisan ini memang diharap bisa memanggil kegelisahan hati pembacanya dan mengundang orang untuk berefleksi tentang pilihan hidup seorang Katolik.

Media pembelajaran yang ada di Sekolah Mangunan warisan karya pendidikan Romo Mangunan. Sekolah Mangunan kini dikelola oleh Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (YDED) Keuskupan Agung Semarang. (Paulus Nugroho Wisnu/Sesawi.Net)

Kita bersyukur atas hidup dan perjuangan Rama Mangun yang bisa dipandang, dikenangkan dan dijadikan teladan sampai dengan hari ini. Namun, Gereja Katolik masih terus menantikan bentuk pengabdian mendalam dalam diri semua umatnya dari masa ke masa.

Bukan waktunya lagi untuk sekedar mengenangkan kehidupan Rama Mangun, IJ Kasimo, Adisutjipto, atau tokoh-tokoh Katolik yang berperan bagi hidup berbangsa di Indonesia. Sudah waktunya untuk menantang diri guna melampaui batas-batas hingga hidup kita semakin berbuah.

Semoga lahirlah tokoh-tokoh nasional yang lahir dari pergulatan batin seorang Katolik. Mungkin itu adalah Anda; mungkin itu adalah saya; mungkin itu adalah kita. Selamat mendengarkan gelora hati Anda masing-masing.

Kembali terngiang pesan Sang Rama, “Jangan mematok diri sendiri baku beku, mengklaim monopoli heroisme. Gelora hati harus disetir oleh otak yang pandai berkalkulasi, namun otak harus dijiwai hati.” (Berlanjut)

Romo Martinus Joko Lelono Pr

Imam diosesan Keuskupan Agung Semarang; pengajar Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma

Baca juga: Bersama Romo Dr. CB Mulyatno Pr, Titch TV Mengulik Konsep dan Filosofi Sekolah Mangunan (2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here