Mgr. Aloysius Sudarso SCJ: Pastor, Jangan Pakai Celana Pendek Terima Tamu Umat

0
1,734 views
Segenap umat ikut mendengarkan presentasi dua orang narasumber. (Ignas Waning)

“MALAM ini saya memakai jas. Sebetulnya jas ini sudah sangat lama, tapi kelihatan masih baru karena jarang kupakai. Lagi pula saya berbicara di depan tamu kehormatan yakni Romo Prof Dr Edy Kristianto,OFM”, kata Bapak Uskup Agung Keuskupan Palembang Mgr Aloysius Sudarso SCJ (72).

Obrolan pengantar wicara ini langsung disambut dengan tepuk tangan meriah dari peserta refleksi dan dialog bersama dengan tema “Menemukan jatidiri Kristiani menjawab tantangan zaman” di aula RS Charitas Palembang, Jumat (24/11).

Uskup Agung Keuskupan Palembang yang menerima tahbisan sebagai uskup auksilier Palembang pada 25 Maret 1994 mengatakan ini. Pada  kesempatan-kesempatan tertentu, katanya, beliau sering  berpesan kepada para romo  yang berkarya di Keuskupan Agung Palembang  agar  tahu tata krama sosial.

“Jangan pernah memakai celana pendek ketika menerima umat atau tamu di pastoran, sebab umat atau tamu yang datang pun memakai pakaian yang pantas bahkan memakai pakaian batik. Sebab, berpakaian itu penting tidak sekadar penampilan tapi jauh lebih penting adalah menghormati tamu yang datang,” kata Monsinyur.

Kesombongan sumber permusuhan

Kita perlu memiliki sikap ekstasi (keluar dari diri sendiri). Ekstasi merupakan pengalaman atau ingatan yang tidak terlupakan, pengalaman memukau  atau menarik untuk bersatu dengan alam, sesama, dan terutama untuk bersatu dengan Tuhan.

Demikian kata Mgr. Aloysius Sudarso SCJ  di hadapan sekitar 260 peserta refleksi dan dialog.

Mgr. Aloysius Sudarso SCJ   yang menjadi Uskup Agung Palembang  sejak 20 Mei 1997 ini mengatakan keutamaan rendah hati itu  harus menjadi dasar dan dimiliki setiap orang. Apa pun profesi kita, kerendahan hati sangat membantu dalam menjalankan tugas. Apakah itu sebagai dokter, suster, guru atau sebagai bapak dan ibu.

Bapak Uskup Agung Keuskupan Palembang Mgr. Aloysius Sudarso SCJ.

Sebaliknya,  kesombongan sangat dicela oleh Tuhan sekaligus sumber permusuhan satu sama lain. Awam merupakan ujung tombak dari Gereja yang hadir di tengah masyarakat luas perlu memiliki keutamaan rendah hati.

Dr Hendro Setiawan mengawali paparannya terinspirasi dari gagasan Alvin Toffler, seorang penulis dan futurolog Amerika.

Alvin Toffler memetakan masyarakat atas peradaban yakni masyarakat agraris, masyarakat industri, dan masyarakat informasi.

  • Masyarakat agraris berciri homogen, kekeluargaan, cara hidup sederhana, bergantung kepada alam, sadar akan ketergantungan religius.
  • Masyarakat industri menekankan heterogen, industrialisasi, materialisme ekonomi, dan antroposentris.
  • Sedangkan masyarakat informasi ditandai dengan makin heterogen, global, virtual, online, makin kompleks, dan makin antroposentris.

Bahaya ketidakpedulian

Dari pemetaan masyarakat itu, kata  doktor filsafat STF Driyarkara Jakarta,  lalu muncul berbagai  dampaknya seperti  munculnya  berbagai  idealisme, produk-produk ilmu pengetahuan misalnya bayi tabung, pewartaan agama, konflik-konflik politik dan kebutuhan materi yang tidak ada habisnya. Persoalan pokoknya antroposentrisme (keterpusatan pada manusia) yang memunculkan egoisne  yang tidak direfleksikan.

Dr. Hendro Setiawan – alumnus STF Driyarkara Jakarta.

Akhirnya menjadi manusia serakah.

Dampak perubahan zaman yang terus berkembang, demikian kata Dr Hendro Setiawan, dikelompokkan menjadi tiga yakni masyarakat sekuler atau terselubung, masyarakat radikal, dan masyarakat religius.

  • Masyarakat sekuler ditunjukan dengan sikap kurang peduli terhadap orang yang tidak berkaitan dengan dirinya, egoisme terselubung.
  • Dalam masyarakat radikal diperlihatkan dengan kemarahan kolektif, menyalahkan, ingin mengganti segala, fundamentalisme, politik identitas yang ingin memisahkan diri dari kelompok besar, serta cenderung menyalahkan orang lain.
  • Masyarakat religius yang memperlihatkan paham panggilan iman, cerdas, rendah hati serta terlibat aktif dalam misi.

Mengutip Albert Einstein, Dr Hendro menyebutkan bahwa di dunia ini ada dua hal yang berbahaya yakni ketidakpedulian dan kesombongan. Dunia zaman sekarang membutuhkan orang pandai tapi sekaligus juga rendah hati. Sekarang banyak orang pandai tapi tidak rendah hati. Bahaya perpecahan karena kesombongan manusia yang tidak mau sama dengan orang lain.

Dr Hendro menawarkan berkaitan dengan antroposentrisme yakni:

  • Membangkitkan kesadaran akan keberadaan Allah. Hal ini membuat kita tidak sombong, harus merendahkan diri, selalu refleksi, selau tobat dan bergantung pada bergantung pada Allah.
  • Membangkitkan potensi kesadaran hati manusia.

Ada banyak relevansi keutamaan rendah hati dalam hidup sehari-hari. Rendah hati merupakan fondasi atau landasan dari kepemimpinan menuju keselamatan. Rendah hati merupakan sarana yang semula berpusat pada manusia menjadi berpusat pada Allah.

Menurut, Dr Hendro relevansi kerendahanhati dalam praksis hidup antara lain semakin baik relasi dengan Allah, bangkitnya daya refleksi, relasi dengan sesama dan alam semakin harmonis, sadar akan batas kebenaran manusia, kemampuan memaknai realitas, kemampuan hidup harmonis dengan penyelenggaraan Ilahi, memahami panggilan dan pemberdayaan potensi secara optimal.

Kedua narasumber plus tamu Romo Eddy Kristianto MSF dalam acara dialog dan refleksi di Palembang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here