APA artinya menjadi ‘misionaris’ di zaman sekarang?
Barangkali inilah bunyi pertanyaan penting yang tampaknya memang sengaja tidak diucapkan oleh Moderator KBKK (Kelompok Bakti Kasih Kemanusiaan) Mgr. AM Sutrisnaatmaka MSF saat memimpin misa konselebrasi sederhana di Kapel St. Ursula Jl Pos Jakarta Pusat dalam rangka syukur secara iman atas pesta HUT ke-16 KBKK.
Jawaban atas pertanyaan tersebut ada di akhir homili Uskup Keuskupan Palangkaraya di Kalteng ini. Menurut Uskup asal Paroki Wedi di Kabupaten Klaten dan yang telah mengikuti sepak terjang karya bakti kasih KBKK selama 13 tahun terakhir ini, menjadi seorang misionaris pada zaman sekarang tiada lain tiada bukan adalah berkegiatan berbagi kasih yang akhirnya membuat orang lain merasa senang dan bahagia. Dalam bahasa Injili, itulah gaudium evangelii: menghadirkan kegembiraan Injili dimana setiap orang disapa dengan semangat kasih, kebutuhannya direspon, keinginannya didengarkan, kebutuhan akan imannya diterangi, dan kesehatannya juga tidak lupa ikut diperhatikan.
Baca juga: Misa Pelangi untuk HUT ke-16 KBKK di Kapel St. Ursula Jl Pos Jakarta (1)
Singkat kata, itulah saat ketika martabat manusia dijunjung tinggi dan hormat akan kehidupan dipraktikkan melalui karya-karya amal cinta kasih.
Gereja Katolik Semesta memiliki contoh paling mutakhir dalam konteks menjadi seorang ‘misionaris’ di zaman modern ini. Ia adalah Bunda Teresa, orang kudus dari Kolkata yang baru saja dinobatkan sebagai Santa oleh Paus Fransiskus tahun 2016 lalu. Melalui kelompoknya bernama The Missionary of Charity (MC), St. Bunda Teresa telah melakukan karya-karya amal kasih yang menjadikan mereka yang terlupakan dan terpinggirkan di kawasan kumuh di Kolkata (dulu bernama Kalkuta) ‘berubah’ menjadi manusia-manusia bermartabat karena perut mereka yang lapar dan haus telah dikenyangkan, sakit mereka dicoba untuk diobati dan disembuhkan, ketelanjangan mereka diselimuti dengan pakaian layak, dan akhirnya kematian mereka bisa terlaksana secara lebih manusiawi dan bermartabat.
Tidak ada batasan umur
Menjadi seorang ‘misionaris’ pada zaman modern tentu tidak mengenal batasan umur. Meski perayaan HUT ke-16 KBKK mengusung tema besar “Gereja Misioner Mengutus Orang Muda”, namun catatan penting juga diberikan oleh Uskup kelahiran Wedi, Klaten, Jateng ini.
Kalau dulu, konsep orang muda di KWI itu hanya identik dengan mereka kurun usia 13-35 tahun, maka Mgr. Sutrisnaatmaka MSF malah menyitir konsep baru yang didengungkan WHO di tahun 2015 bahwa yang masih dianggap ‘muda’ adalah mereka yang berumur 18-65 tahun. Dengan demikian, para penggiat KBKK yang rata-rata berumur di atas 18 tahun hingga 70 tahun masih layak disebut ‘kaum muda’. Mereka inilah yang nantinya akan disapa dalam pokok bahasa di seminar usai misa.
Lalu siapa saja yang kemudian layak disebut ‘misionaris’?
Menurut mantan dosen misiologi di Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini, semua orang yang sudah dibabtis di dalam Gereja Katolik pantas menyandang diri sebagai ‘misionaris’ yang tidak lain adalah ‘orang yang diutus’.
Diutus untuk apa dan kemana saja? Mgr. SutrisnaatmakaMSF lalu menjawabnya sendiri di mimbar kotbah: berpartisipasi dalam semua karya Gereja. Bukan melulu perkara siar agama (mengkristenkan orang), melainkan justru ikut berkarya membangun martabat manusia di masyarakat.
Dengan pengalaman melakukan karya bakti kasih selama 16 tahun terakhir ini, maka setiap anggota KBKK adalah ‘misionaris’ karena telah dan masih ingin melakukan hal-hal baik di masyarakat. Itu semua dilakukan agar pada akhirnya martabat manusia itu disapa dan dihormati, kehidupannya diperhatikan, kesehatannya dipelihara, dan kebutuhan fisik maupun lainnya dicoba dibantu melalui karya-karya amal.
Misionaris Gereja
Menjadi seorang ‘misionaris’ di dalam Gereja Katolik tidak juga harus melakukan karya-karya besar dan monumental seperti yang telah dilakukan St. Bunda Teresa dari Kolkata. Gereja, kata Mgr. AM Sutrisnaatmaka MSF, memang mengajak kita semua selalu bertobat dan hendaknya selalu mengarahkan pandangannya hanya kepada Allah.
“Caranya dengan menyingkirkan ‘allah-allah’ (catatan penting: ditulis dengan huruf kecil) dari hidup kita semua. Dan itu bisa berupa harta benda, kekuasaan, kegilaan akan teknologi hingga mengabaikan pertemanan sejati dan hubungan personal yang intens nyata,” kata mantan dosen pengampu mata kuliah misiologi ini.
Apa yang terjadi dengan ‘dinasti politik’, melanggengkan kekuasaan hanya terpusatkan pada lingkaran dalam keluarga inti itu sebenarnya mencerminkan bagaimana manusia terpenjara oleh nafsu akan kekuasaan, harta benda, dan ya itu tadi ‘berhala-berhala’ di zaman modern.
Para pastor, bruder, dan suster pun juga tidak imun terhadap ‘penyakit zaman modern’ ini.
“Kalau dulu, di taman atau pekarangan biara para imam, bruder, dan suster di tangan mereka selalu ada Rosario sebagai ‘objek pegangan’ dan juga didaraskan dalam doa, maka sekarang di tangan mereka hanya ada gadget atau HP pintar,” terang Bapak Uskup ini.
Pada bagian lainnya, kata Monsyinyur, menjadi seorang ‘misionaris’ juga tidak perlu berbuat heboh. Contohnya adalah St. Theresia Lisieux de l’Enfant de Jesus (Kanak-kanak Yesus). “Barangkali ia tidak pernah meninggalkan biara untuk pergi bermisi, melainkan hanya melambungkan doa untuk mendoakan karya-karya Gereja di balik tembok biara kontemplatifnya,” terang Mgr. AM Sutrisnaatmaka MSF di atas mimbar homili.
KBKK mengadopsi dua cara
Sama seperti Santo Fransiskus Xaverius yang telah pergi kemana-mana melalang buana untuk mewartakan Kabar Gembira bahkan sampai di Maluku, pun pula St. Theresia Lisieux de l’Enfant de Jesus juga menjadi pelindung misi katolik. Keduanya berbeda cara dalam menjalankan tugas ambil bagian dalam karya Gereja: satunya pergi kemana-mana, satunya diam di tempat dan berdoa.
KBKK, kata Mgr. AM Sutrisnaatmaka MSF, rupanya selama 16 tahun eksistensinya telah mengadopsi dua cara itu.
Ada para biarawati dan para pastor lintas tarekat religius dan diosesan yang senantiasa mendoakan karya-karya KBKK dari balik tembok biara dan di dalam pastoram. Ada juga para kaum awam penggiat KBKK yang juga mendoakan KBKK dari dalam rumah mereka masing-masing tanpa pernah berkesempatan ikut masuk ke pedalaman di seluruh Indonesia untuk membuat orang lain hepi dan bahagia karena telah menerima kebaikan.
Semuanya itu baik adanya. “Itu karena doa-doa itu merupakan jantung kehidupan Gereja,” tandasnya.