Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan O.Carm: Gereja Mewartakan Injil sebagai Budaya Anti Radikalisme

0
4,532 views
Bapak Uskup Keuskupan Malang Mgr. Dr. Henricus Pidyarto Gunawan O.Carm

Catatan Redaksi:

Pada hari Sabtu tanggal 3 September 2016 ini, Keuskupan Malang di Jawa Timur mendapat Uskup baru yakni Mgr. Dr. Henricus Pidyarto Gunawan O.Carm. Beberapa hari menjelang acara tahbisan episkopalnya sebagai Uskup Dioses Malang, beliau berkenan menjawab email Harini dari Dokpen KWI untuk sebuah wawancara. Wawancara melalui jalur email terjadi di sela-sela keheningan retret Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan di Pertapaan Trappist St. Maria Rawaseneng di tengah minimnya alokasi waktu beliau untuk juga berdialog dengan beberapa pihak lain.

Berikut ini transkrip wawancara Harini B dari Dokpen KWI melalui email dengan profesor Kitab Suci yang selama 30 tahun lebih telah menjadi dosen mata kuliah Kitab Suci Perjanjian Baru seperti Surat-surat St. Paulus, Injil Sinoptik di STFT Widya Sasana Malang ini.

Baca juga:  3 September 2016: Tahbisan Uskup Baru Keuskupan Malang Mgr. Dr. Henricus Pidyarto Gunawan O.Carm


Tanya (T): Dalam sebuah tulisan yang terbit di Harian Kompas edisi tanggal 30 Juni 2016 di halaman 22,  Monsinyur menyatakan ingin mengembangkan Keuskupan Malang dengan berpijak pada Alkitab. Apa persisnya ide tersebut?

Jawab (J): Sebagai Uskup, saya mendapat tugas membangun Gereja Lokal di Keuskupan Malang. Untuk itu, saya harus memiliki visi dan misi yang jelas.

Saya ingin melanjutkan visi dan misi yang telah dirumuskan oleh para Uskup Keuskupan Malang yang menjadi pendahulu saya yakni Mgr. FX Hadisumarta, O.Carm dan kemudian Mgr. Herman Joseph Sahadat Pandayoputro, O.Carm.

Pada intinya, visi misi mereka adalah membangun Gereja sebagai suatu persekutuan (communio) kaum beriman, suatu persaudaraan yang sehati sejiwa. Karena itu, saya harus memiliki pengertian atau teologi yang benar tentang hakikat Gereja, suatu teologi yang sesuai dengan ajaran resmi Gereja, misalnya sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II.

Sebagaimana kita ketahui, teologi Konsili Vatikan II itu berjiwakan Alkitab. Oleh karena itu, sebagai mantan dosen Kitab Suci, saya ingin memahami serta mengembangkan teologi yang sehat tentang Gereja di bawah terang Alkitab.

Contoh lain, sebagai mantan dosen Kitab Suci di STFT Widya Sasana Malang, saya ingin menggiatkan kerasulan Kitab Suci di Keuskupan saya. Saya ingin juga mengimbau agar homili para imam semakin berciri alkitabiah. Tentu masih bisa disebut contoh-contoh lainnya. Namun, apa yang sudah saya sebut tadi kiranya cukup menjelaskan apa maksud pernyataan saya kepada wartawati Kompas beberapa waktu lalu.

T: Monsinyur telah memilih motto tahbisan “Dengan Setia Mewartakan Injil Kristus.Bagaimana pandangan Monsinyur terhadap fenomena radikalisme yang semakin menguat di tanahair kita tercinta ini? Bagaimana Injil bisa tetap diwartakan di tengah maraknya radikalisme?

J: Benarlah bahwa motto penggembalaan saya adalah “Dengan setia mewartakan Injil Kristus” (Fideliter Praedicare Evangelium Christi).

Motto itu saya ringkas dari salah satu pertanyaan yang nantinya akan diajukan oleh Uskup Penahbis kepada saya saat Misa Penahbisan: “Bersediakah Saudara selalu dengan setia mewartakan Injil Kristus?”

Menurut hemat saya, pertanyaan-pertanyaan lain yang diajukan kepada calon uskup sudah tersirat dalam pertanyaan tersebut.

Di tengah masyarakat yang kini ditandai dengan munculnya radikalisme, saya pikir  Gereja Katolik harus mewartakan Injil sebagai budaya anti radikalisme. Gereja Katolik harus menunjukkan bahwa sikap toleran, sikap saling menghormati, sikap anti kekerasan itu merupakan nilai-nilai yang harus dikembangkan dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut tentu sangat sesuai dengan semangat Injil.

T: Dalam rangka meningkatkan dialog antar agama, program macam apa yang akan dilakukan oleh Monsinyur, apalagi kalau mengingat wilayah Keuskupan Malang ini berada di kota santri yang dikenal sebagai kawasan Tapal Kuda yang menjadi tlatah NU?

J: Dialog antar agama di wilayah Keuskupan Malang sudah berjalan dengan baik. Menurut hemat saya, dialog itu bisa ditingkatkan dengan berbagai macam cara, tidak hanya dengan dialog dan diskusi pada tingkat pimpinan, tetapi juga pada tingkat akar rumput.

Kunjungan yang dilakukan oleh sejumlah imam dan mahasiswa katolik ke pesantren; kerjasama di bidang sosial, misalnya bersama-sama melakukan bakti sosial kepada orang-orang yang sedang terkena musibah tanpa memakai bendera agama tertentu; terlibat aktif melakukan dialog atau diskusi mengenai tema tertentu, dan lain sebagainya.

Semua itu tentu akan memupuk dialog antar agama di Keuskupan Malang. Ada beberapa orang di Keuskupan Malang yang berpotensi besar untuk meningkatkan dialog antar agama. Itu merupakan suatu hal yang menggembirakan saya.

Uskup Keuskupan Malang Mgr. Dr. Henricus Pidyarto Gunawan O.Carm menerima tahbisan episkopalnya di Stadion Gajayana Malang pada hari Sabtu tanggal 3 September 2016.

Sekolah katolik

T: Menurut Monsinyur yang sudah malang melintang di dunia pendidikan selama 30 tahun ini, bagaimana pendidikan katolik tetap bisa mempertahankan ciri khas kekatolikannya di tengah himpitan semangat hedonis, konsumeris,  ‘digitalis’, dan kekerasan saat ini? Bagaimana peran pendidikan dalam keluarga dapat dikaitkan dan didukung oleh pendidikan di sekolah?

J: Ciri kekatolikan itu sangat perlu untuk terus  dipertahankan oleh yayasan dan sekolah-sekolah katolik. Sebab kalau tidak demikian, apa gunanya masih ada label “katolik”? Karena itu, pendidikan karakter atau kepribadian perlu dipertahankan, bahkan harus ditingkatkan.

** Teks lengkap artikel wawancara ini bisa diakses di situs resmi Dokpen KWI (www.dokpenkwi.org) dengan membuka tautannya di sini.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here