“Keluarga Sekolah Ketekunan, Keuletan dan Kesabaran dalam Mewujudkan Belaskasih Allah” (Yesaya 58:6-10)
Saudara-saudari
Segenap Umat Beriman
Para Imam, Biarawan dan Biarawati
di seluruh Wilayah Keuskupan Malang terkasih,
Pengantar
Saudara dan saudari yang terkasih, memperhatikan dan menyimak apa yang disampaikan Bapa Suci Fransiskus dalam Bulla “Misericordiae Vultus” yang menegaskan bahwa Masa Prapaskah tahun 2016 sebagai Tahun Yubileum adalah tahun yang istimewa yang hendaknya dihayati dengan lebih mendalam. Bapa Suci juga mengingatkan kepada kita semua bahwa banyak sekali halaman-halaman Kitab Suci yang pas dan cocok untuk bermeditasi Kerahiman Bapa selama pekan-pekan Prapaska.
Apa yang disampaikan Bapa Suci tidak lain agar kita lebih mudah dan benar menemukan wajah Kerahiman Allah. Misalnya seruan yang disampakan Yesaya (Yes. 58:6-10):
“Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekaan orang-orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tidak mempunyai rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi mereka pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih segera, kebenaran akan menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu. Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu, dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan menfitnah, apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang engkau inginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari”
Prapaska merupakan gerakan belaskasih.
Saudara dan saudari yang terkasih, menyimak seruan Nabi Yesaya dan merenungkan ajakan Bapa Suci di Tahun Yubileum ini kita semua diingatkan kembali bahwa Prapaska adalah gerakan kerahiman dan bukan sekedar menjalani lingkaran tahunan liturgis. Gerakan kerahiman yang dimaksudkan pertama-tama adalah kesadaran bahwa Allah sumber Kerahiman dalam diri Yesus dan mengajak kita semua untuk kembali dan menimba dari sumber Kerahiman tersebut. Kerahiman adalah sebuah kata kunci yang menunjukkan tindakan Allah terhadap kita. Ia tidak membatasi diri-Nya hanya untuk menegaskan kasih-Nya, namun membuatnya terlihat dan nyata.
Kasih, terutama, jangan hanya sebuah keniskalaan. Pada dasarnya, Ia menunjukkan sesuatu yang nyata: niat, sikap, dan perilaku yang ditampilkan dalam keseharian hidup. Kerahiman Allah adalah perhatian-Nya yang penuh kasih kepada kita masing-masing. Ia merasa bertanggung jawab; yaitu, Ia menginginkan kesejahteraan kita dan Ia ingin melihat kita bahagia, penuh sukacita, dan penuh damai. Ini adalah jalan yang juga harus diarungi kasih yang penuh kerahiman dari orang-orang Kristiani. Sebagaimana Bapa mengasihi, demikian juga anak-anak-Nya. Sama seperti Ia penuh kerahiman, demikian juga kita dipanggil untuk penuh kerahiman satu sama lain.
Sebagai wujud kerahiman Bapa dalam masa Prapaska, kita diajak untuk memaksimalkan rahmat sakramen tobat sebagai cara Allah mengasihi dan berbelaskasih kepada kita. Sakramen Rekonsiliasi merupakan kesempatan untuk menemukan kembali sebuah jalan pulang kepada Tuhan, menghayati sebuah saat doa yang intens dan menemukan makna dalam kehidupan mereka.
Marilah pada kesempatan retret agung umat, kita menempatkan Sakramen Rekonsiliasi sebagai pusat dan jalan pertobatan yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan orang-orang untuk menyentuh kemegahan kerahiman Allah dengan tangan mereka sendiri. Bagi setiap peniten, itu akan menjadi sebuah sumber kedamaian batin dan merasakan belaskasih yang sejati.
Bapa Suci mengingatkan kita semua hanya melalui pertobatan dan rekonsiliasi kita akan mampu menaruh belaskasih kepada sesama dan lingkungan kita. Mengapa? Orang yang bertobat tidak lain adalah pribadi yang mengimani bahwa Allah Bapa adalah Allah yang rahim Allah yang mencintai manusia. Kesadaran bahwa dirinya dicintai itulah yang mampu menggerakkan kita semua untuk menaruh belaskasih kepada sesama.
Hanya mereka yang telah disembuhkan oleh kerahiman Allah mengerti apa artinya berbelaskasih kepada sesama. Biasanya orang-orang seperti ini mudah tergerak untuk segera berbuat belas kasih ketika menjumpai sesama yang menderita. Karena merasa dicintai Allah, maka manusia akan mudah untuk mencintai sesama. Dalam keluargalah cinta Allah paling gampang ditemukan dan dirasakan. Sehingga setiap keluarga mempunyai tanggungjawab untuk mewujudkan didalamnya.
Melalui keluarga, belaskasih bertumbuh dan diwujudkan
Saudara dan saudari yang terkasih dalam Kristus, pengalaman iman yang mendalam dan matang serta menjadi pribadi yang berbelaskasih bagi seseorang tidak seketika dan tidak tiba-tiba. Kita sama-sama mendengarkan Sabda Allah yang sama pun dalam perwujudan sehari-hari selalu ada perbedaan bahkan kadang-kadang berlawanan.
Mewujudkan hidup kristiani yang berbelaskasih dalam relasi dengan sesama dan lingkungan dimulai sejak usia dini dan terjadi dalam keluarga kita masing-masing. Saya memperhatikan dan mengalami bahwa anak-anak yang dididik dalam belaskasih dan kepedulian di dalam keluarga, mereka akan menjadi pribadi dewasa yang juga peduli dan berbelaskasih pada sesama dan lingkungannya.
Sebagai keluarga kristiani panggilan sakramental perkawinan tidak lain adalah sebuah kesetiaan untuk mewujudkan kesempurnaan Kristiani yang terungkap dalam sikap belaskasih, pengampunan. Kesetiaan sebagai sekolah kerahiman dalam keluarga dan sekaligus pendidikan nilai pada anak-anak menuntut kita semua untuk menjadi pribadi dan keluarga yang tekun. Tekun dalam arti yang mendasar tidak lain adalah sikap hidup dimana keluarga dengan segala keadaannya berani menghadapi perjalanan dan situasi yang ada tanpa meninggalkan iman atau kesetiaan pada Kristus.
Ketekunan ini menuntut kita semua untuk berani ulet dan sabar. Tekun, Ulet dan Sabar sebagai keluarga kristiani dalam zaman sekarang sungguh merupakan panggilan yang harus selalu kita upayakan. Mengapa? Sebagai keluarga yang dipanggil untuk mencapai kesempurnaan hidup kristiani, kita tidak bisa lepas dari godaan dan tantangan yang terjadi. Budaya korupsi, budaya mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, budaya untuk menguasai dan memiliki untuk dirinya sendiri dan budaya mencari kenyamanan dan kenikmatan adalah tontonan sehari-hari bahkan mungkin saat ini menjadi bagian dari kita dan kita terlibat.
Namun sebagai murid-murid Yesus kita tidak bisa mengingkari belaskasih dengan perbuatan-perbuatan tersebut. Gereja mengingatkan kepada kita semua bahwa keunggulan iman menjadi sejati ketika dalam situasi itu kita tetap setia. Seperti emas menjadi indah dan memancar ketika dimasukkan dalam api. Iman kita juga akan memancar ketika dalam aneka godaan belaskasih kita tetap mampu mengatasinya dan menang.
Ketekunan, keuletan dan kesabaran sebagai keluarga dalam mewujudkan belaskasih Allah sebagai wujud iman yang benar bisa kita mulai dengan latihan-latihan rohani dan jasmani misalnya.
Memanfaatkan saat-saat yang indah dalam masa puasa dengan rekonsiliasi dan sakramen tobat. Rekonsiliasi dan pertobatan membuat kita rendah hati dan kerendahan hati mendidik kita untuk mampu berbelaskasih.
Mengupayakan saat-saat indah dalam masa puasa dengan adorasi kepada sakramen mahakudus. Perjumpaan dengan kerahiman Allah dalam sakramen Mahakudus akan mendidik kita menyerap nilai-nilai kerahiman Allah dan akan lebih mudah untuk diwujudkan dalam hidup.
Mempraktikkan puasa yang benar dengan mengembangkan budaya silih. Apa yang kita silihkan dan kita sisihkan sungguh dibagikan kepada mereka yang berkekurangan. Keberanian berbagi akan mendidik kita tidak mudah untuk masuk dalam kebiasaan korupsi dan memanipulasi.
Mewujudkan belaskasih yang nyata dengan perbuatan-perbuatan yang nyata dengan lebih memperhatikan yang kurang beruntung dengan perbuatan kongkret misalnya memberi makan, membiayai mereka yang tidak bisa bersekolah, menolong yang sakit dan mengupayakan pekerjaan yang tidak bisa bekerja dan merawat yang berkebutuhan khusus; jompo dan tak berdaya. Misalnya di paroki-paroki digalakkan dana beasiswa, orang jompo dan sakit.
Masih banyak hal-hal yang masih bisa kita kembangkan dan wujudkan. Namun yang paling mendesak pada masa puasa di tahun Yubileum ini adalah melaksanakan anjuran nabi Yesaya. Puasa kita bukan sekedar gaya hidup melainkan perbuatan-perbuatan yang nyata.
Selamat memasuki masa puasa. Mari kita persembahkan buah-buah puasa kita sebagai cara kita untuk mewujudkan belaskasih Allah dalam kehidupan bersama dengan sesama kita. Tuhan memberkati.
Malang, 2 Februari 2016
Pesta Yesus dipersembahkan di kenisah
Mgr. Herman Joseph Pandoyoputro O. Carm
Uskup Keuskupan Malang