KITA coba melihat kembali tayangan film semi historis bertitel Soegija produksi tahun 2012 silam.
Alkisah muncul sebuah adegan singkat di film berdurasi dua jam itu. Di situ ada tayangan singkat dimana terlihat Uskup Vikariat Apostolik Semarang –nama resminya waktu itu—Mgr. Albertus Soegijapranata SJ tengah menulis surat.
Demikian pengantar menarik yang disampaikan Ketua KWI Mgr. Ignatius Suharyo dalam jumpa pers menyampaikan rangkuman hasil-hasil Sidang Tahunan KWI 2017 di Kantor KWI hari Kamis siang (16/11/17) kemarin.
Baca juga:
- Mgr. Ignatius Suharyo: Sidang Tahunan KWI 2017, Merawat Kontribusi Gereja Katolik dalam Sejarah Perjuangan Bangsa (1)
- Mgr. Ignatius Suharyo: Hari Pertama Kongres Pemuda Indonesia II 1928 Berlangsung di Kompleks Katedral Jakarta (2)
Bagi banyak orang, barangkali tayangan sekilas itu tidak memberi ‘tinggalan’ pesan atau kesan apa pun tentang betapa pentingnya ‘momen menulis surat’ yang diguratkan oleh Mgr. Soegijapranata SJ di tahun-tahun awal usai Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.
Makna historis
Padahal, tayangan sekilas itu punya makna sejarah luar biasa, demikian penegasan Ketua KWI Mgr. Ignatius Suharyo kepada jajaran media yang menghadiri acara jumpa pers di Kantor KWI dalam rangka sosialisasi rangkuman hasil-hasil Sidang Tahunan KWI.
Yang dilakukan oleh Mgr. Albertus Soegijapranata dalam tayangan film itu adalah ‘aksinya’ menulis surat kepada Tahta Suci Vatikan.
Isinya adalah ‘imbauan’ suara Gereja Katolik Lokal di Indonesia yang menginginkan agar Vatikan segera mengeluarkan dukungan politik berupa kesediaannya mengakui Republik Indonesia sebagai nation dan state yang baru dan berdaulat penuh sejak Kemerdekaan RI 17 Agustus 2017.
Yang kemudian dicatat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia menjadi jelas bagi semua pihak. Atas surat yang dirilis oleh Uskup Vikariat Semarang Mgr. Albertus Soegijapranata SJ –Uskup pribumi pertama Indonesia—maka Vatikan juga bereaksi cepat: berkenan mengakui kemerdekaan Indonesia.
“Sejarah nasional Indonesia mencatat bahwa Vatikan adalah satu dari beberapa negara asing yang pertama kali mengakui kemerdekaan RI,” kata Mgr. Ignatius Suharyo.
Harap tahu saja bahwa eksistensi sebuah nation dan state baru usai mendeklarasikan kemerdekaannya adalah adanya pengakuan dari komunitas internasional atas proklamasi kemerdekaan itu. Tanpa adanya pengakuan dari negara-negara lain, maka Proklamasi Kemerdekaan menjadi tak bermakna.
Pahlawan nasional
Mgr. Albertus Soegipranata adalah seorang pahlawan nasional dan kini semakin dikenang umat katolik berkat sesanti-nya yang populer “100% katolik, 100% Indonesia”.
Ia menerima tahbisan imamatnya di Negeri Belanda tanggal 15 August 1931 dari Uskup Roermond Mgr. Laurentius Schrijnen. Ia diangkat oleh Tahta Suci Vatikan menjadi Uskup Vikariat Apostolik Semarang pada tanggal 1 Agustus 1940 dan menerima tahbisan episkopalnya pada tanggal 6 Oktober 1940 dari Uskup Batavia Mgr. Willekens SJ.
Menurut Mgr. Ignatius Suharyo dalam kesempatan jumpa pers di KWI itu, dengan demikian menjadi jelas bahwa Gereja Katolik Indonesia –dalam hal ini Vikariat Apostolik Semarang dan Uskupnya Mgr. Albertus Soegijapranata SJ— pernah berperan sangat penting bagi eksistensi Republik Indonesia.
Berkat surat tersebut, Tahta Suci Vatikan sebagai negara berdaulat akhirnya ikut ‘turun tangan’ dan bersedia mengirim nota diplomatik ikut ‘merestui’ berdirinya negara dan bangsa Indonesia yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.
Sejarah nasional perjuangan bangsa Indonesia hendaknya mencatat dan terus mengingat bahwa Gereja Katolik Indonesia dan Vatikan ada di balik peristiwa diplomatik sangat penting yang telah menentukan perjalanan eksistensi negara dan bangsa Indonesia yang baru seumur jagung tersebut.
Inilah sebuah fakta sejarah yang perlu terus selalu dikenang dan dikisahkan oleh segenap anak bangsa Indonesia –juga oleh umat katolik– sebagai upaya bersama merawat tanggungjawab Gereja Katolik Indonesia akan masa depan bangsa dan negara Indonesia. (Berlanjut).