REKAN seperjalanan saya yang bukan orang Jawa awalnya kurang ngeh mengenai asal-usul kata ‘bajingan’ ini. Jadi, ketika muncul kata ‘bajingan’ dari mulut Uskup Purwokerto Mgr. Julianus Sunarka SJ, maka dahinya segera mengernyit sepertinya ‘protes’ atas kata favorit ini.
Saya dan seorang Sr. Anne Maria OP –seorang biarawati Dominikan– yang tahu persis asal-usul kata favorit ini justru bereaksi sebaliknya: rasa ingin tahu yang besar mengenai filosofi kata favorit ini.
Nah, akhirnya Mgr. Julianus Sunarka SJ –mantan ekonom Keuskupan Agung Semarang era Kardinal Julius Darmaaatmadja SJ menjadi Uskup—berfilosofi tentang kata ‘bajingan’ ini.
Bajing (an)
Bajingan –kata Mgr. Sunarka—tentu saja diambil dari kata dasar ‘bajing’ dalam bahasa Jawa yang artinya tupai dalam bahasa Indonesia.
Hanya itu saja? Tentu saja tidak. Karena, lanjut mantan ekonom Provinsi SJ Indonesia, ada ciri khas sangat mencolok yang menarik kita amati dari seekor bajing atau tupai itu.
Menurut Mgr. Julianus Sunarka SJ, ciri khas seekor tupai tiada lain adalah energinya yang kuat, spontanitasnya besar, dan kelincahannya membawa diri yang luar biasa elastik. Artinya, seorang tupai adalah tipikal binatang yang memiliki daya juang hidup yang tinggi, punya kepekaan yang dahsyat, kemampuan beradaptasi yang besar dan kelihaiannya membebaskan diri dari bahaya.
Tupai alias bajing –kata Mgr. Sunarka SJ— punya semua kemampuan lebih itu. Termasuk kemampuan para bajing yang bisa berlari cepat meniti sebuah tali atau dahan kecil nan tipis untuk menyelamatkan diri manakala ada penembak liar lagi mengincarnya.
Memang sih, daging bajing enak juga meski sedikit ada gondo (aroma) amis dan penguk sedikit.
Seperti bajing (an)
Menjadi bajingan, kata Mgr. Julianus Sunarka SJ, dengan sendirinya diajak bisa berperilaku seperti tupai dengan segala kemampuannya yang istimewa itu. Kalau diharapkan agar setiap orang katolik bisa menjadi ‘bajingan’, maka harapan itu mengarah pada berbagai karakter, sikap, perangai sebagai berikut:
- Lincah: Orang katolik harus pandai-pandai membawa diri secara lincah. Itu berarti mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Jangan hanya mengurung diri dan bergaul dengan lingkungannya yang homogen –semuanya orang katolik—melainkan harus berani keluar menyongsong realitas sosial yang ada dan yang berbeda dengan kita;
- Sigrak alias siap sedia: Orang katolik diharapkan bisa menjadi pribadi-pribadi yang tanggap dengan situasi sosialnya dimana pun dia berada. Mereka harus menjadi responsif, punya inisiatif dan jangan berdiam diri dalam sangkar emasnya masing-masing. Sigrak juga berarti punya daya semangat untuk bekerja keras dan kemauan untuk membantu yang lain;
- ‘Sadar’ sepenuhnya: Setelah makan kenyang, tupai sering lalu lebih banyak berdiam diri. Namun sang bajing ini tetap saja ‘waspada’ merespon situasi sekitarnya. Nah, sebagai orang katolik, maka semangat ‘bajing’ ini juga harus menjadi sikap kita dalam hidup bermasyarakat. Itu berarti harus pasang telinga lebar-lebar, melihat situasi kanan-kiri agar tidak kejeblos jatuh dari ketinggian dan kemudian mati. Melainkan, waspada melihat kiri-kanan, agar bisa tetap bertahan dalam aneka tantangan hidup yang kita jumpai.
Sopir gerobag sapi
Temen seperjalanan saya ini akhirnya hanya bisa manthuk-manthuk (menganggukan kepala) tanda setuju sekaligus kagum atas terawangan filosofi bajingan yang dibeberkan dengan sangat gamblang oleh Uskup Purwokerto Mgr. Julianus Sunarka SJ ini.
Meninggalkan Wisma Keuskupan Purwokerto menjelang tengah malam, saya lalu terngiang-ngiang dengan ide dahsyat mengenai filosofi bajingan yang baru saja digagas oleh Uskup Purwokerto.
Kepada rekan seperjalanan, saya lalu berujar begini: “Dalam bahasa Jawa, kata ‘bajingan’ juga bisa mengacu pada tukang kemudi gerobak sapi yang zaman saya kecil dahulu suka hilir mudik di jalanan”.
Sayang bin sayang, para ‘bajingan’ yang baik hati ini sekarang sudah sangat jarang kita temui di jalanan.
Padahal, ketika pulang sekolah dulu, saya diam-diam suka naik gerobag sapi dari arah belakang dan kemudian duduk ‘ndesel’ di samping tumpukan jerami kering yang ada di ‘kabin’ gerobag kayu yang ditarik dua sapi tangguh ini.
Dan sang ‘bajingan’ ini pun dengan amat ramahnya akan selalu menyapa saya: “Wis turua kono cerak damen men anget! (Sudah tidur saja di situ dekat jerami biar hangat!)”
Ketika mata saya hendak terpejam, tapi kelopak mataku tak mampu menutup karena segera terdengar bunyi jedar-jeder di udara.
Itulah bunyi pecut (cambuk) Pak Bajingan yang ayunannya membelah udara. Pecut itu menjadi cambuk semangat kedua sapi itu untuk makin kencang menarik gerobag sapi.
Justru pada aspek itulah, saya lalu tidak suka pada bajingan.
Namun, ‘bajingan’ versi Mgr. Julianus Sunarka SJ bisa membuat saya tetap bertahan dalam ngantuk berat membawa gerobag mesin dari Purwokerto menuju Yogyakarta. (Selesai)
Photo credit: Tupai hutan warna merah asli Singkawang, Kalbar (Mathias Hariyadi)
Artikel terkait: Mgr. Julianus Sunarka SJ: Jadilah Orang Katolik Bajingan! (1)
Banyak contoh Bajingan sesungguhnya ( bukan bajing 2 an )seperti pencuri Robin Hood adalah orang baik , Che Guevara ; ditembak mati sebagai teroris (menurut kapitalis Amerika); Che selalu ada dihati rakyat Amerika Latin sebagai pahlawan. Dalam cerita 2 silat top hampir pasti sang jagoan berasal dari golongan hitam ; kehidupan mereka justru lebih mesra; sang pemimpin selalu siap maju paling depan,mundur paling belakang dan siap mati membela kaumnya, mereka justru sangat jauh lebih adil. Lihatlah kaum golongan putih seperti kita ; selalu sibuk menggendutkan perut ,memperkaya diri , menjimpan harta untuk 9 turunan , merusak dunia.
Bukankah Yesus dari Nazareth pun telah dijadikan bajingan yang paling hina dan harus bergantungan di kayu salib ?