SELAMA berabad-abad, seorang imam masuk anggota klerus dan menjadi pribadi “suci”. Sangat sedih bahwa ketika di tempat-tempat tertentu, figur itu masih dipegang teguh umat. Terutama ketika mereka akhirnya dikecewakan, lantaran ada penyalahgunaan kekuasaan.
Hal tersebut dikatakan oleh Uskup Keuskupan Tanjung Selor di Kalimantan Utara, Mgr. Paulinus Yan Olla MSF, saat memberi rekoleksi kepada para pastor, frater dan bruder se-Keuskupan Palangka Raya di Aula Magna Keuskupan.
Rekoleksi dengan tema “Spiritualitas Imamat dalam Pelayanan Pastoral” ini diadakan sebagai pembukaan acara Perpas (Pertemuan Para Pastor) Keuskupan Palangka Raya, 10-14 Februari 2020.
“Di negara-negara tertentu, ada sikap anti terhadap segala hal berbau rohani dan penolakan terhadap simbol-simbol religius,” ujar mantan Rektor Skolastikat MSF Malang ini seraya berharap agar para imam berusaha menampilkan identitas imamat yang bersahabat agar umat semakin dekat dengan Yesus.
Klerikalisme
Mantan Sekretaris Jendral MSF ini lebih lanjut mengajak para peserta merenungkan tantangan klerikalisme.
Klerikalisme adalah kepedulian untuk mempromosikan kepentingan khusus klerus dan melindungi privilese dan kuasa yang secara tradisional diberikan kepada para klerus.
Manifestasi sikap ini adalah suatu model otoritarian dalam kepemimpinan ministerial, suatu pandangan tentang dunia sangat hirarkis, suatu identifikasi virtual antara kekudusan dan rahmat Gereja dengan status klerus.
“Klerikalisme berusaha mengeksklusikan orang yang tak tertahbis dari kepemimpinan dan menyerap imamat umat beriman,” tandas imam kelahiran Eban di Timor di bulan Juni 1963.
Karena itu, doktor Teologi Spiritual lulusan Pontificio Istituto di Spiritualità Teresianum Roma ini mengingatkan para imam akan imamat Yesus Kristus yang mewartakan kelimpahan rahmat Allah.
Yesus memaklumkan kelimpahan ini di mana saja Ia hadir. Adanya pengampunan, penyembuhan, akses pemberian makanan.
Kesaksian imami Yesus memperlihatkan suatu pewartaan rahmat yang berlimpah. Dalam imamat Yesus, rahmat itu ada di mana-mana, berlimpah melampaui saluran-saluran resmi, selalu tersedia dalam kelimpahan.
Para imam hendaknya memberi kesaksian tentang kekayaan ini.
Buatlah sebuah komunitas yang belajar mengampuni, mencari keadilan, memberi makan satu sama lain atau membela mereka yang bernasib malang.
“Imamat tidak berada di ruang kosong, yang hampa konteks sosial, politik, kebudayaan dan segala konteks hidup manusia. Pelayanan imamat berpijak pada manusia dan segala persoalannya,” tandas uskup yang ditahbiskan tanggal 5 Mei 2018 ini.