Mgr. Vinsensius Setiawan Triatmojo: Sanjo, Bukan Sebuah Prestasi

0
335 views
Kunjungan silahturahmi Lebaran Uskup Terpilih Keuskupan Tanjungkarang Mgr. Vinsensius Setiawan Triatmojo di rumah Ketua MUI Lampung M. Mukri. (Sr. Fransiska Agustine FSGM)

Ngelencer. Sanjo. Silaturahmi.

Saling berkunjung di hari raya keagamaan adalah dunia saya sejak kecil. Itu tradisi orang tua dan leluhur. Maka, saya melihatnya sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Sudah selayaknya. Sudah seharusnya.

Itu dikatakan Uskup Terpilih Keuskupan Tanjungkarang, Mgr. Vinsensius Setiawan Triatmojo usai bersilaturahmi di Hari Raya Idul Fitri, Sabtu, 22 April 2023.

Pagi rombongan para romo, suster, dan umat bersama Mgr. Avien, panggilan akrabnya, berkumpul di Wisma Albertus.

Suasana kunjungan silahturahmi Lebaran di Tanjungkarang, Lampung. (Sr. Fransiska Agustine FSGM)

Di Hari Kemenangan bagi Umat Muslim ini, mereka bersilaturahmi ke tempat:

  • Gubenur Arinal Dujanidi.
  • Wakil Gubenur Hj. Chusnunia Chalim SH, M.Si, M.Kn., Ph.D,
  • Walikota Bandarlampung Hj. Eva Dwiana.
  • Ketua MUI Provinsi Lampung Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag.
  • Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Lampung Prof. Sudarman
  • Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Lampung Puji Rajarjo S.Ag.SS., M.Hum.       
Arah jarum jam: Mgr. Avien bersama Prof. Sudarman; bersama Hj. Eva Dwiana; bersama Prof Sudarman dan isteri. (Sr. Fransiska Agustine FSGM)
Atas: Mgr Avien bersama Prf. Dr. H. Moh. Mukri dan Puji Raharjo S.Ag. (bawah)

Bukan prestasi

Sesuatu yang sudah semestinya itu sesuatu yang normal. Wajar. Biasa. “Karena itu saya juga tidak melihatnya sebagai sesuatu yang baru atau malah prestasi baru-baru ini. Karena sifat, watak, karakter bersahabat, toleran, saling menghormati, saling menghargai dan mengasihi itu adalah karakter bahkan adab bangsa kita, warisan leluhur kita.”

“Kalau kita melihatnya sebagai prestasi, yang harus susah payah kita lakukan dan kerjakan, berarti kita mengakui bahwa pada dasarnya kita tidak toleran, padahal pasti bukan demikian. Dari sifat dasarnya justru leluhur kita itu sudah sangat toleran, itu adat budaya turun-temurun.”

Hapal semua rumah

Waktu saya kecil, di kampung tempat tinggal saya, kami sudah dilatih untuk tahu tentang perbedaan-perbedaan agama.

Kami melihatnya sebagai kekayaan di kampung kami untuk saling mengerti. Maka, kalau diminta orang tua untuk berkunjung pada waktu Idul Fitri, misalnya, kalau bisa seluruh rumah kami kunjungi.

Nanti setelah tiba di rumah, pasti bapak akan bertanya, siapa saja yang sudah dikunjungi. Jadi sejak kecil saya sudah hapal semua nama orangtua atau yang punya rumah. Dan itu bisa urut satu persatu rumah-rumah yang dikunjungi.

Saya sampai hapal semua rumah. Begitu juga rumah-rumah di kampung lain, saya hapal semua nama umat baik yang beragama Muslim, Budhis, atau yang Katolik. Saya tahu letak rumah-rumah mereka itu.

Ada tiga kampung yang harus saya kunjungi setiap kali hari raya.  

Suasana Lebaran di komunitas susteran. (Sr. Fransiska Agustine FSGM)

Hari kemenangan

Setiap hari raya besar keagamaan, di agama mana pun, ada makna yang sama, yakni menjadi momen kesadaran spiritual terbaik manusia terkait relasinya dengan Sang Khalik.

Kesadaran bahwa manusia butuh Allah dan merayakan penuh sukacita kemerdekaannya sejati sebagai umat Allah.

Ini hari kemenangan batiniah atau spiritual di mana kelemahan dan keterbatasan serta kerapuhan manusiawi berjumpa dan mendapat kekuatan baru dari Sang Pemberi, Pemelihara Kehidupan.

Tujuan utamanya, untuk kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan lahir batin tadi. Karena itu setiap hari raya keagamaan adalah pewartaan akan damai, yang terus didambakan manusia. Adalah normal, wajar, layak dan pantas dirayakan bersama-sama.    

Problem spiritualitas

Memang akhir akhir ini muncul feomena intoleransi, entah dari mana datangnya. Spontan hal itu saya pandang sebagai problem spiritualitas, karena mengancam kesatuan masyarakat dan bangsa, dan akan menggerus dan mengikis keutamaan, kebajikan serta nilai-nilai luhur bangsa kita sejak dahulu.

Jika tidak, demikian tentu tidak akan lahir falsafah Bhineka Tunggal Ika.

Untuk itu secara pribadi saya berharap agar bersama-sama kita terus mengumandangkan bahwa kita ini bangsa besar yang beradab.

Dan intoleransi bukan ciri khas nilai-nilai budaya kita. Mari kita gaungkan terus warta: berbeda-beda tetapi tetap satu, dengan melihat keanekaragaman sebagai kekayaan yang membanggakan dari satu nama yang sama, yakni Bangsa Indonesia; yang dengan cara pandang seperti itu rukun dan bersatu padu itu sudah semestinya.

Atau dengan istilah sebaliknya: tidak rukun dan tidak bersatu padu, itu bukan jiwa kita.

Panggilan bersama

Kita sama dalam kemanusiaan, jadi walau pun ada ratusan suku dan banyak keyakinan yang berbeda; rasanya pesan kemanusiaan yang lahir, bahkan dari pribadi-pribadi yang sama: ingin hidup damai, tenang lahir dan batin.

Jika dilengkapi dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan lahir dan batin itu, sampai pada apa yang namanya kesejahteraan umum.

“Nah, mengabdi pada kebaikan bersama atau kesejahteraan umum itu adalah panggilan dan tugas kita bersama,”  ujar Mgr. Avien sambil tersenyum.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here