Kel. 22:21-27; 1Tes. 1:5c-10; Mat. 22:34-40
KEDUA perintah emas, mengasihi Allah dan sesama diambil Yesus dari rumus awal Ibadat Pagi dan Ibadat Sore yang wajib didoakan orang Yahudi dua kali sehari. Jawaban sederhana untuk sebuah pertanyaan yang berat dan rumit bagi para guru agama bangsa Yahudi yang sibuk memilah-milah 600 lebih aturan dan hukum yang diambil dari 5 Kitab Taurat Musa.
Sebagai murid-murid Kristus kita diharapkan menghayati kedua perintah utama: mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Tetapi bukan kah kedua hal ini sudah kita lakukan?
Tentu saja. Kita kan orang baik-baik. Jadi pasti kita sudah menunjukkan kasih kepada Allah dalam ibadat dan berbagai kegiatan gerejani dan rohani kita. Juga kepada orang lain kita juga baik-baik saja. Tentu hal ini sangat baik. Tetapi mari kita renungkan sekali lagi pesan Yesus secara lebih mendalam: mengasihi Tuhan dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
Perintah ini maksudnya agar kita mengasih Tuhan dengan seluruh diri kita. Dan karena perintah mengasihi sesama itu sama dengan yang pertama, maka mengasihi sesama juga hendaknya dengan seluruh pribadi kita; pikiran, perasaan dan kehendak. Kalau pertanyaannya begitu, maka kita terpaksa meralat jawaban kita: ya sudah melakukan, tapi kadang-kadang, tidak selalu.
Mengapa kita masih sering belum mampu melaksanakan kaidah emas itu dalam hidup kita? Kemungkinan karena kita masih melihat bahwa menjadi baik itu suatu kewajiban agar kita selamat.
Itu cara berpikir Farisi, yang ditolak Yesus. Karena kewajibannya banyak, maka mereka perlu memilah-milah mana yang pokok, wajib, halal dsb. Yesus tidak menunjuk suatu hukum khusus tertentu. Yesus menunjuk kepada prinsip umum: mengasihi Allah dan sesama.
Prinsipnya adalah kasih.
Melaksanakan hukum adalah tanggapan kita atas kasih Allah. Kita membalas mengasihi, bukan supaya selamat. Kita membalas mengasihi sebagai tanda bahwa kita menerima kasih Allah dan kita sudah selamat. Semangat kasih seperti itu yang diharapkan Yesus dimiliki para muridNya.
Iklan operasi plastik. Kulit baru: menghilangkan keriput-keriput halus dan parut-parut. Mata baru: menghilangkan kantung mata dan lemak. Hidung dan pipi baru: Memperbaiki dan menciptakan tampilan yang lebih cantik dan seimbang. Bibir baru: Menghapus kerut dan memperbaiki bentuk bibir. Tubuh baru: menghilangkan lemak melalui sedot lemak.
Orang membayar banyak untuk punya penampilan baru. Sayangnya, sedikit sekali orang percaya yang pernah mempertimbangkan perubahan hidup. Rasul Paulus mendesak bahwa setiap orang percaya, harus mempunyai perubahan abadi. Bukan melalui pemotongan, suntikan atau sinar laser, tetapi melalui Roh Kudus.
Kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef. 4:22-24). Diri kita yang lama disalibkan bersama Kristus. Tubuh dosa kita sudah dihancurkan dan kita tidak lagi melayani dosa. Dengan Kuasa Roh Kudus kita sudah diperbaharui luar-dalam.
Apakah kita sudah punya penampilan baru dari Roh Kudus: lebih sedikit kerutan dahi, lebih banyak sukacita; mata yang kurang merendahkan orang, tetapi lebih terarah keatas, kepada Tuhan. Bibir baru yang kurang kasar dan sinis, tetapi lebih banyak memuji. Hidung dan pipi baru yang tidak mendongak sombong tetapi yang lebih rendah hati; suatu tubuh baru yang lebih menghadirkan Kristus?
Mengasihi Allah dan sesama dengan seluruh diri kita adalah ajakan untuk mengalihkan pokok perhatian kita: dari berpusat pada diri sendiri, menjadi berpusat pada Allah dan sesama. Berpusat pada diri sendiri membuat kita merasa butuh, ingin dan berharap. Sering kali hal ini tidak tercapai, maka kita sedih, kecewa, takut, cemas, merasa gagal, tidak dicintai dll.dsb. lalu kita memilih hidup sekedarnya, menjalankan kewajiban ala kadarnya; cukup dengan menjadi manusia baik-baik saja.
Jadi, berpusat pada Allah dan sesama, bukan beban hidup, tetapi suatu cara hidup yang ditawarkan Allah agar kita hidup bahagia, tidak dibelenggu oleh kecemasan, ketakutan dan ketidak bahagiaan karena yang kita inginkan, harapkan dan butuhkan tidak tercapai. Jika berpusat pada Allah dan sesama membuat hidup kita jadi bahagia, maka dengan sendirinya hidup kita akan menularkan kebahagiaan kepada sesama, orang-orang yang ada di sekitar kita.
Begitulah hidup dijalani secara penuh; dengan seluruh potensi kita; kemampuan dan kehendak kita untuk menjadi lebih baik. Amin.