Minggu Palma 9 April 2017: Memandang Utusan Ilahi

0
2,226 views
Minggu Palma (ist)

ARAK-arakan dalam liturgi Minggu Palma mengingatkan peristiwa sambutan meriah bagi Yesus yang datang di Yerusalem. Ia digambarkan dalam Mat 21:1-11 sebagai raja yang memasuki kota tempat kebangkitannya. Setelah itu dibacakan pula Kisah Sengsara menurut Matius yang mulai dengan kisah pengkhianatan Yudas pada hari Rabu (Mat 26:14-16) yang berkelanjutan pada Kamis petang (26:17-75 perjamuan malam, penangkapan dan persidangan di Sanhedrin, penyangkalan Petrus), diikuti dengan kejadian hari Jumat (27:1-61 penetapan hukuman bagi Yesus, penyaliban, dan wafatnya, penguburan) dan Sabtu (27:62-66 penjagaan kubur).

Mengapa dia yang disambut meriah di kota kediaman Yang Maha Kuasa membiarkan diri nanti ditolak oleh para pemimpin di situ? Mengapa ia tidak membela diri atau balas menyerang dengan kekuatan masa yang menyambutnya di sana?

Dari bacaan pertama dari Yes 50:4-7 dapat diketahui sikap batin orang ini. Ia hamba yang taat seutuhnya pada Yang Mahakuasa, bukan karena ia memang mau menunjukkan ketaatan dengan menjalani segala akibat pilihan ini, melainkan karena kehidupannya memang terarah untuk itu.

Sang hamba mengakui bahwa ia diutus untuk menyampaikan Sabda Ilahi kepada siapa saja yang letih lesu, yang tidak lagi mampu mencari tahu kehendak-Nya. Terlalu capai dengan macam-macam urusan. Sang hamba juga mengakui tiap hari Yang Maha Kuasa sendiri menajamkan pendengarannya sehingga baginya jelas apa kehendak-Nya. Oleh karena itu ia dapat membawakan kehadiran ilahi ke tengah-tengah umat manusia. Ia tidak melawan bila dimusuhi. Ia membawakan kehadiran yang tidak menggetarkan.

Inilah yang masih dikenali orang-orang yang menyambutnya di Yerusalem ketika mereka mendengar kedatangannya. Tetapi segera pendengaran dan penglihatan batin mereka digelapkan oleh sikap penolakan. Namun ia sendiri tetap pada jalannya: membawakan kehadiran ilahi di dalam keadaan apapun.

Kearifan – Kuasa yang lembut

Menurut Mat 21:5, kedatangan Yesus di Yerusalem itu peristiwa yang telah dinubuatkan Nabi Zakharia 9:9, “Katakanlah kepada Puteri Sion (= Yerusalem beserta penghuninya): Lihat Rajamu datang kepadamu. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai betina dan seekor keledai beban yang muda.”

Kemudian dalam ay. 7 disebutkan, setelah orang-orang mengalasi punggung keledai betina dan anaknya, Yesus pun “menaiki kedua-duanya”. Memang menaiki dua keledai itu sama anehnya bagi orang sekarang dan orang dulu. Tapi ini cara Matius mengatakan bahwa nubuat tadi kini sedang dipenuhi. Yang tak bisa dibayangkan secara biasa itu kini terjadi.

Dalam pemahaman Matius dan orang-orang yang penuh harapan pada zaman itu, Mesias yang mendatangi mereka ialah dia yang memiliki wibawa seorang raja (dalam teks Ibrani Zakharia ada penjelasan “ia adil dan jaya” – yang tidak ikut ditampilkan Matius karena sudah jelas) dan sekaligus tokoh yang “lemah lembut”, maksudnya, yang dapat memahami kerapuhan manusia. Memang seolah-olah ada dua tokoh: satu sisi kebesaran, sisi lain kelemahlembutan. Kedua-duanya mendatangi Yerusalem bersama.

Inilah gagasan yang hendak diutarakan oleh Matius secara surrealistik dengan mengatakan Yesus menaiki keledai betina dan anaknya. Matius mempertajam Markus yang menceritakan Yesus mendatangi Yerusalem menunggang seekor keledai yang belum pernah dinaiki orang (Mrk 11:1-10).

Matius mengajak mereka yang mendengar Injilnya melihat dengan mata batin kedua sisi Yesus itu: sebagai raja yang penuh wibawa tapi juga sebagai utusan Tuhan yang lemah lembut. Dengan demikian nanti dalam mengikuti kisah penghinaan, penderitaan, penyalibannya orang akan tetap dapat melihat sisi Yesus yang anggun dan berwibawa itu.

Lebih sukar mengendarai keledai daripada tunggangan lain karena keledai biasanya bukan hewan penurut dan tidak berjalan cepat. Oleh karenanya, sering keledai hanya dipakai untuk mengangkut beban; pemilik berjalan di muka mengarahkannya, tidak menaikinya. Hanya orang yang “pintar” sajalah yang bisa mengendarainya tanpa ada yang menggiringnya di muka. Apalagi keledai yang belum pernah ditunggangi orang.

Ingat kisah mengenai Balaam, seorang ahli ilmu gaib yang diminta raja Balak menenung kocar kacir umat Tuhan, tapi akhirnya Balaam yang menunggang keledai betina itu memahami apa dan siapa yang sedang dihadapinya dan tidak jadi menuruti permintaan raja angkara murka itu (Bil 22-24. khususnya 22:21-35).

Kini Yesus memasuki Yerusalem di atas keledai, sebagai orang yang tahu mengarahkan tunggangan yang sukar ini. Maka jelas yang hendak dikatakan: ia orang yang penuh kearifan. Ia dapat menyatukan kejayaan dan kelemahlembutan, dua kenampakan yang sulit dibayangkan ada bersama pada diri orang yang sama.

Orang-orang menghamparkan pakaian di jalan ketika Yesus lewat. Apa maksud tindakan ini? Pertama-tama, dia yang lewat itu pasti tidak akan menjejak tanah yang kerap dipakai untuk menggambarkan kerapuhan serta kelemahan manusiawi. Yang mendatangi Yerusalem ini raja yang mengatasi kelemahan dengan kebijaksanaan yang lembut tapi berwibawa. Sekaligus tindakan menghamparkan pakaian itu juga menggambarkan kesediaan orang-orang untuk tunduk kepada dia yang sedang mendatangi dengan kebijaksanaannya itu.

Pakaian membuat orang yang memakainya menjadi jelas. Bila dihamparkan berarti yang memakainya sedia menghamparkan diri di muka dia yang sedang lewat. Memang saat-saat ini kekuatan yang mengancam Yesus belum bertindak. Sebentar lagi kekuatan-kekuatan yang mau menyingkirkan kebijaksanaan ini akan tampil. Orang-orang yang menyambut kedatangan Yesus dan menyatakan diri tunduk kepadanya itu nanti juga akan ikut meneriakkan kematian baginya. Terlihat nanti betapa besar dan mengerikannya kekuatan yang melawan kebijaksaan itu. Sedemikian kuat hingga dapat menembus sampai ke lingkungan yang paling dekat dengan Yesus sendiri: Yudas.

Kisah sengsara

Kisah sengsara menurut Matius terdiri dari dua bagian.

Bagian pertama ialah Mat 26:14 -27:10; bagian ini berawal dan berakhir dengan episode Yudas, yakni Mat 26:14-16 (Yudas menjual Yesus kepada imam-imam kepala) dan 27:3-10 (Yudas mengembalikan 30 perak yang diterimanya dari mereka, lalu menggantung diri).

Bagian kedua Kisah Sengsara berawal dengan peran Pilatus (menahan Yesus dan melepaskan Barabas atas desakan imam-imam kepala, Mat 27:11-26) dan berakhir dengan tindakan Pilatus juga (atas permintaan imam-imam kepala ia mengirim penjaga ke kubur agar jenazahnya tidak diambil murid-muridnya pada hari ketiga, Mat 27:65-66).

Kehidupan Yesus pada hari-hari terakhir itu memang dijungkirbalikkan oleh Yudas dan Pilatus. Tetapi pembaca yang jeli akan melihat bahwa kedua tokoh ini sebenarnya juga cuma sekadar menjadi tangan kotor “para imam kepala, orang Farisi, tetua-tetua Yahudi”, yakni pihak yang membadankan kekuatan-kekuatan yang hendak membatasi gerak utusan ilahi yang datang ke Yerusalem itu.

Kisah tragis Yudas sering kurang didalami maknanya, atau paling-paling ia menjadi sasaran cercaan. Namun bila dilihat bagaimana Yesus menanggapinya, kisah ini bakal membuat kita memahami misteri tindakan ilahi. Ketika mengumumkan dalam perjamuan malam bahwa di antara yang hadir ada yang bakal menyerahkannya, Yesus tidak menuduh siapa pun. Bahkan ketika Yudas ikut bertanya apakah dia itu orangnya, jawab Yesus hanyalah “Engkau telah mengatakannya.” (Mat 26:25).

Kata-kata ini maksudnya sama dengan “Coba pikirkan apa sebenarnya yang sedang kaulakukan ini!” (Bandingan dengan ungkapan sama yang dikatakan dalam interogasi di depan imam agung Mat 26:64 dan di hadapan Pilatus 27:11.) Yudas sebenarnya orang yang terlalu naif. Ia ingin mendapatkan relasi dengan kaum berkuasa, bukan untuk mencelakakan Yesus. Dalam hati kecil kiranya ia berangan-angan, toh Yesus akan dapat menghindari penangkapan dan konsekuensi lebih jauh. Ia kan orang yang luar biasa.

Yudas mempunyai persepsi sendiri mengenai siapa Yesus itu. Inilah yang membuat Yudas celaka. Dia salah satu orang yang terdekat dengan Yesus tetapi tak mau melihat siapa dia dan makin menutup hati dan pikiran sendiri. Yesus telah tiga kali mewartakan bahwa ia akan mengalami sengsara dan mati dan bangkit. Itu jalannya. Murid-murid tidak memahami. Juga Yudas. Tetapi Yudas bukan hanya tak memahami melainkan bertindak gegabah menolak untuk memahami dia. Ia mau mendapatkan keuntungan dengan perhitungan sendiri.

Dengan demikian ia menyepelekan kebijaksanaan ilahi. Menurut Mat 26:24 Yesus berkata bahwa yang terjadi pada Anak Manusia, yakni dirinya, sesuai dengan yang dituliskan tentang dia, tapi celakalah orang yang olehnya dia diserahkan. Maksudnya Yudas. Lebih baik baginya sekiranya ia tidak dilahirkan. Artinya, tindakan orang itu sebetulnya tak bakal mengubah jalan yang sedang ditempuh Yesus. Yudas mengklaim bagi dirinya sendiri perkara yang sedang ditindakkan Yang Mahakuasa.

Tragisnya, Yudas tidak menyadari hal ini. Ia baru terbangun ketika sudah terlambat. Dan sekali lagi ia masih mengira dapat mengurungkan yang terjadi dengan mengembalikan 30 perak yang diperolehnya. Ia makin terkurung dalam dirinya sendiri. Orang bisa memungkiri Yesus seperti yang dilakukan Petrus atau meninggalkannya seperti murid-murid lain, tetapi mereka tidak mendahului tindakan ilahi. Mereka itu bisa ditolong dan kembali. Tetapi dia yang mendahului tindakan ilahi atau mau mengurungkannya tidak bakal tertolong.

Disebutkan dalam bagian kedua Kisah Sengsara, istri Pilatus semalaman gelisah bermimpi dan keesokan harinya mengirim pesan kepada suaminya agar jangan mencampuri perkara “orang yang benar” itu (27:19). Ini isyarat dari Matius bagi pembaca Injilnya agar menengok kembali ke belakang, ke nasib tragis Yudas.

Dengan menyerahkan Yesus,  sebetulnya Yudas “mencampuri perkara orang yang benar” dan mendapat celaka. Sekaligus pembaca diajak memeriksa dari dekat apakah Pilatus betul-betul mencampuri perkara ini dan sejauh mana. Sekalipun ia ikut campur, semua yang terjadi pada Yesus sebetulnya terjadi bukan karena Pilatus. Malah dalam seluruh bagian kedua kisah sengsara itu Matius memperlihatkan betapa konyolnya sang penguasa itu. Pilatus membiarkan diri dimanipulasi oleh pemuka-pemuka Yahudi.

Yesus tetap setia pada jalannya. Baginya tetap berlaku gambaran yang bertumpang-tindih antara raja yang jaya dan kelembutan yang membuatnya rapuh di hadapan kekuatan-kekuatan yang sedang berusaha menjungkirbalikkan kebijaksanaan dengan mempergunakan baik Yudas maupun Pilatus. Tapi Yesus tetap berada di dalam garis kebijaksanaan hingga akhir. Inilah kebesaran utusan ilahi yang dirayakan selama Minggu Paskah ini.

Salam hangat,

  1. Gianto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here