PAGI itu (Minggu, 30/4/2023) di dalam Gereja Kristus Raja Baciro Yogyakarta, karena terhalang pilar-pilar gereja, sambil beberapa kali memiringkan badan, saya mencoba mengarahkan pandangan ke altar. Untuk sekadar memandang imam yang sedang memimpin misa.
Keinginan untuk melihat sosok imam itu semakin bertambah sesaat menjelang homili, ketika sang imam dengan jenaka melontarkan pantun-pantun humornya.
Belakangan, setelah misa baru saya tahu bahwa imam tersebut adalah Romo Sigit Heriyanto Pr.
Saat memberikan homili dalam perayaan ekaristi, Romo Sigit Heriyanto,Pr menyampaikan kesaksian yang menarik dan inspiratif dalam kaitan dengan Hari Minggu Paskah IV atau Minggu Panggilan.
Sopir truk Fuso
Romo Sigit, demikian biasa beliau disapa, mengisahkan bahwa dirinya dahulu tidak pernah berpikir untuk menjadi romo. Yang ada di benaknya justru cita-cita menjadi seorang sopir truk Fuso.
Sejak kecil tinggal di pedalaman Provinsi Lampung, dirinya jarang bertemu dengan romo, rohaniawan, atau pun katekis Katolik.
Di kampung, dirinya rajin mengikuti pengajian bersama teman-teman sebayanya. Ya, Romo Sigit baru dibaptis menjadi Katolik ketika dirinya sudah dewasa.
Awal mula panggilan imamat
Ia bercerita bahwa saat melanjutkan sekolah di Ganjuran, Bantul dan setelah dibaptis, dirinya bertemu dengan seorang ibu guru yang baru pindah tugas dari Timor Leste.
Suatu waktu, si ibu guru berkata kepadanya, “Ayo… kamu masuk seminari ya.”
Suatu ajakan yang saat itu dengan polos diiyakan olehnya.
Singkat kata, dengan berbagai pergumulan akhirnya dirinya masuk seminari dan bahkan sampai ditahbiskan menjadi seorang imam praja.
Romo Sigit merasakan betul bagaimana kuasa dan misteri panggilan imamatnya, Romo Sigit mengaku bahwa dirinya dahulu tidak aktif di gereja. Menjadi petugas liturgi pun (lektor, putra altar, dan lain-lain) belum pernah dijalaninya.
Dengan pengalaman dan kesaksian hidupnya itu, Romo Sigit mendorong umat yang hadir untuk mendukung misi panggilan. Kepada para orangtua, diharapkan bisa merelakan dan ikut mendorong putra-putrinya jika ada benih panggilan.
Pelajaran penting
Demikian pula, kepada para kaum muda tentu bisa belajar dari pengalaman hidup Romo Sigit. Ketika suara hati kita merasa ada ajakan Tuhan untuk menjadi gembala umat, maka kita tidak perlu merasa minder dan berkecil hati akan kondisi diri kita.
Tuhan sendirilah yang akan menguatkan dan memampukan. Ketika kita berani dan mau menjawab panggilan-Nya untuk menjadi pelayan dan gembala.
Setelah mendengarkan kesaksian Romo Sigit Heriyanto Pr, kiranya tepat jika saya membahasakan dengan jargon gaul anak muda:
“Kalau dalam hatimu merasa ada panggilan hidup membiara, gass….pede aja kali.”