PERIKOP Injil Luk 13:1-9 yang dibacakan pada hari Injil Minggu Prapaskah III/C ini memuat dua bagian.
Yang pertama mengisahkan dua kejadian yang dapat menjadi bahan pelajaran untuk “bertobat” (ayat 1-3 dan 4-5) sedangkan bagian kedua (ayat 6-9) berbentuk perumpamaan yang melengkapi ajakan tadi.
Dalam kerohanian Alkitab, bertobat berarti semakin mengalihkan kehidupan dan perhatian kepada Tuhan sambil menyadari pelbagai kekeliruan yang telah terjadi.
- Orang yang merasa terhukum bisa diajak agar tidak lagi memandang diri selalu ada dalam keadaan itu.
- Orang yang merasa beres di hadapan Tuhan masih perlu belajar agar tidak dibuai keyakinan semuanya sungguh begitu.
- Orang yang merasa sudah menjalankan agama dengan baik juga diajak agar berhati-hati agar tidak memperalat agama demi gengsi atau kepentingan sendiri.
Tafsiran politik atau penjelasan agama?
Kejadian macam apa dilaporkan kepada Yesus dalam ayat 1-3? Tak ada berita lain, kecuali yang terdapat di sini. Dapat diperkirakan, orang-orang Galilea itu tersangkut dalam gerakan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Roma. Mereka ditangkap Pilatus, ketika berziarah ke Yerusalem.
Orang-orang itu dibunuh seperti korban sembelihan yang mau mereka bawa ke Bait Allah. Gubernur Romawi itu memang terkenal kejam menumpas beberapa upaya pemberontakan.
Mengapa perkara itu diceritakan kepada Yesus? Ada yang menjelaskan, orang hendak mengetahui pandangan politik guru tersohor ini.
Maklum Yesus sendiri berasal Galilea.
Bila mengecam pembunuhan para peziarah itu, Yesus akan berhadapan dengan kekuasaan Romawi.
Tetapi bila membenarkan, ia akan dicap tidak membela bangsa sendiri. Jadi agak sama dengan pertanyaan apa orang Yahudi boleh membayar pajak kepada Kaisar.
Memang reaksi Yesus boleh dimengerti sebagai upaya menghindari jeratan di atas, ia ndak pro atau kontra peristiwa penangkapan dan pembunuhan orang-orang Galilea itu.
Tetapi penjelasan ini kurang dapat menerangkan mengapa Yesus juga membicarakan nasib delapan belas orang Yerusalem yang mati tertimpa menara di Siloam yang diutarakan dalam ayat 4.
Karena penjelasan di atas tidak memuaskan, beberapa ahli tafsir lebih memusatkan perhatian pada reaksi Yesus.
Mereka menjelaskan bahwa Yesus bermaksud menolak gagasan bahwa pengalaman buruk, malapetaka, atau kematian yang tak wajar adalah hukuman akibat dosa atau kesalahan.
Ia menandaskan, baik orang-orang Galilea maupun orang-orang Yerusalem yang tertimpa menara itu tidak lebih berdosa dari orang-orang lain.
Dengan kata lain, Yesus menyarankan agar orang mulai memperbaiki diri sendiri dahulu dan bertobat.
Penjelasan ini menarik, dan tentu semua orang setuju betapa perlunya orang bertobat.
Namun kita bukan hanya berminat pada seruan bertobat, kita mau tahu Injil hari ini mengajarkan bertobat dari apa dan untuk apa. Untuk itu marilah kita mencoba memahami dengan kunci yang diberikan Lukas sendiri.
Orang Galilea dan orang Yerusalem
Petikan hari ini menampilkan dua nama tempat, yang pertama Galilea, yakni daerah di utara, dan yang kedua kota Yerusalem.
Di Israel ada tiga wilayah: paling utara disebut Galilea, paling selatan dikenal dengan nama Yudea (di wilayah ini terletak Yerusalem), antara kedua wilayah tadi terdapat Samaria.
Orang Yudea, terutama yang dari Yerusalem, tidak begitu menyukai orang Samaria maupun orang Galilea.
Lukas memakai nama-nama geografis ini untuk menenun Injilnya. Lihat perumpamaan orang Samaria yang baik hati terhadap orang Yerusalem yang naas dalam Luk 10:25-37.
Bagaimana sikap orang Galilea terhadap orang Yerusalem? Lihat saja apa yang dikerjakan Yesus di Yerusalem – ia orang Galilea.
Memang ada persaingan bebuyutan antara orang Galilea dengan orang dari Yerusalem dan sekitarnya.
Dapat dikatakan daerah utara umumnya lebih makmur karena lahan pertanian di sana subur dan penduduknya menikmati perekonomian yang lebih maju.
Di sana juga beberapa waktu sebelum zaman Yesus mulai berkembang pesat bisnis perikanan danau.
Secara politik, Galilea juga lebih sering bergolak daripada Yerusalem. Mereka lebih berani menghadapi kekuasaan asing, baik itu Yunani maupun Romawi.
Tetapi masalah utama di Galilea sendiri ialah adanya ketimpangan sosial kendati secara umum wilayah itu cukup berkembang.
Orang yang memiliki kemungkinan untuk maju sering kurang peduli terhadap kaum yang berkekurangan. Sebetulnya, perkara ini bukan barang baru.
Nabi Amos dan Hosea yang mengamati perilaku orang utara sering menelanjangi ketimpangan sosial di sana. Maka seruan agar menarik pelajaran dari kejadian orang Galilea itu juga seruan agar orang menumbuhkan kepedulian terhadap orang-orang miskin.
Orang Yerusalem merasa lebih memiliki prestise religius. Maklum pusat ibadat berada di kota itu. Para pemimpin agama juga tinggal di sana. Oleh karena itu orang Yerusalem acapkali agak memandang rendah orang Galilea.
Gema sikap ini terdengar dalam Yoh 1:46. Di situ Natanael berkomentar mengenai Yesus, yang orang Galilea itu, dengan mengatakan, “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret”.
Juga dalam Yoh 7:52 Nikodemus yang membela Yesus di hadapan kaum Farisi di Yerusalem malah ikut didamprat “Apakah engkau juga orang Galilea?
Selidikilah Kitab Suci dan engkau akan tahu bahwa tak ada nabi yang datang dari Galilea.”
Dalam Luk 13:4 ada sindiran bahwa orang Yerusalem bukan pula orang suci. Menarik diperhatikan, dalam ayat itu nama kota itu ditulis sebagai “Ierousaleem”.
Dalam ulasan Injil Minggu Adven I disinggung bahwa bentuk ini dipakai Lukas guna menyebut kota Yerusalem sejauh dihuni orang-orang yang menolak kehadiran Yesus.
Tapi bila ditampilkan dalam perspektif mereka yang menerima kedatangannya, maka nama kota itu ditulis sebagai “Hierosolyma”.
(Untuk memudahkan, “Ierousaleem” diplesetkan saja sebagai “Yeru-zalim” – kota kezaliman, sedangkan “Hierosolyma” lebih dekat dengan “Yeru-syaloom” – kota kedamaian.)
Dalam Injil hari ini, Yerusalem memang ditampilkan sebagai kota yang tak bersih dari kesalahan, maka perlu bertobat.
Tentunya, bertobat bukan dalam arti menyesali kesalahan ini atau itu tok, melainkan berusaha menjadi orang-orang yang menerima Yesus, dari “Ierousaleem” bertobat menjadi “Hierosolyma”.
Ringkasnya, masalah di Galilea ialah perbedaan antara orang kaya dan orang miskin, adanya ketakadilan sosial yang makin memojokkan orang miskin.
Masalah orang Yerusalem ialah sikap saleh tapi sombong, merasa aman, “self-righteous”, mau mengatur Tuhan.
Nah, dengan ini dapat disimak kembali seruan Yesus untuk bertobat yang ditujukan baik bagi orang yang memikirkan keadaan orang Galilea (ayat 3) maupun bagi yang berpikir mengenai kejadian di Yerusalem yang kota zalim itu (ayat 5).
Dua wilayah itu melambangkan dua tipe kedosaan yang perlu dijauhi: kelekatan pada kekayaan sehingga melupakan sesama (“dosa orang Galilea”), dan sikap merasa diri sudah jadi orang lurus sehingga berlaku munafik dan bahkan memusuhi Yesus orang suruhan Tuhan sendiri (“dosa orang Yerusalem”).
Perhatian kepada dua macam kedosaan itu digarisbawahi dalam Injil Lukas.
Ingat perumpamaan orang kaya yang bodoh yang hanya memikirkan diri sendiri Luk 12:13-21 (tipe “keberdosaan Galilea”) dan perumpamaan orang Farisi yang merasa diri lebih baik daripada pemungut cukai dan kaum pendosa lain Luk 18:9-14 (“tipe keberdosaan Yerusalem”).
Kemurahan Tuhan dan perhatian pengurus kebun
Memang tobat lebih gampang digambarkan dengan menampilkan hal-hal yang mengerikan yang bakal terjadi bila orang tidak melakukannya.
Namun pembicaraan seperti itu tidak banyak faedahnya bila tidak disertai kepercayaan akan kemurahan Tuhan serta usaha untuk membuat orang sungguh merasakan kemurahan-Nya.
Tak mengherankan, Injil Lukas hari ini menyatukan seruan bertobat yang nadanya keras itu dengan perumpamaan yang menjelaskan bagaimana kerahiman Tuhan bisa menjadi kenyataan.
Pohon ara yang tidak berbuah selama tiga tahun itu masih mendapat kesempatan setahun lagi, boleh jadi tahun depan akan berbuah dan menjadi pohon yang baik.
Perumpamaan itu juga memperlihatkan betapa besarnya peran pengurus kebun. Ia memintakan kelonggaran.
Bukan itu saja. Ia bersedia mengusahakan agar pohon ara mandul itu bisa menjadi baik, ia menggemburkan tanah sekeliling, ia memberi pupuk.
Hati sang empunya kebun melunak melihat kecintaan pemelihara kebun terhadap pohon yang naas itu.
Pengurus kebun itu bukan administrator yang bekerja atas dasar kalkulasi untung rugi melulu, yang lega bila neraca klop angka-angkanya…yang tersenyum bangga bila bangku gereja penuh.
Pengurus kebun itu orang yang mencari mereka-mereka yang sulit, yang sudah tanpa harapan lagi. Pengurus kebun ialah orang masih berani mendekati mereka-mereka yang menjengkelkan Tuhan sendiri.
Tak meleset bila dikatakan, kita para pelayan umat diminta agar tidak membiarkan Tuhan putus asa. Lebih dari itu, dengan berani perumpamaan itu mengajarkan kita hendaknya jangan ikut-ikutan pergi sekalipun Tuhan sendiri sudah mau meninggalkan orang-orang itu.
Kita masih tinggal di sana, kita bukan pemilik, kita ini pemelihara dan masih bisa berusaha agar mereka tidak ditebang.
Salam hangat,
A. Gianto