KISAH sedih itu terjadi di “Kota Abadi” Roma, Ibukota Italia. Di kota ini pulalah berada pusat pemerintahan Gereja Katolik: Tahta Suci di Vatikan.
Minggu tanggal 9 Juni 2019 lalu adalah Hari Raya Pentakosta. Inilah hari penting dalam kalendarium liturgi Gereja Katolik. Pada Hari Raya Pentakosta itulah, Gereja Katolik Semesta memperingati hadirnya Roh Kudus .
Roh Kudus turun ke dunia dalam rupa lidah-lidah api di langit dan kemudian “menyuntikkan” semangat hidup baru dalam diri para Rasul, murid Tuhan.
Semangat hidup baru
Semangat hidup baru itulah yang kemudian mampu menjadikan para Rasul lalu mengalami “transformasi” iman. Dari yang semula takut-takut, para Rasul dan pengikut Yesus lainnya menjadi pemberani. Juga mulai punya nyali menjadi “misionaris”.
Berkat karya Roh Kudus yang selalu kita peringati dalam Hari Raya Pentakosta itu, Gereja Perdana mulai eksis dan kemudian menyebar kemana-mana.
Berkat Pentakosta itu pula, Santo Petrus berani menanggung risiko mati disalib dengan cara dibalik: kepalanya di bawah dan kakinya di atas.
Juga, Santo Stephanus berani mengambil risiko: kepalanya dipenggal karena kesaksian imannya. Ia menjadi martir pertama.
Spirit baru beriman
Pentakosta ibarat “Roh” peletup semangat baru dalam hidup beriman setiap orang Katolik. Juga menjadi spirit penggembung niat dan komitmennya menjadi “orang beriman” yang baik dalam masyarakat.
Itulah sebabnya, Gereja Katolik mengintroduksi Sakramen Krisma atau Sakramen Penguatan.
Tiada lain agar spirit Roh Kudus itu membakar setiap orang beriman agar menjadi pribadi-pribadi yang dewasa imannya dan bermanfaat bagi Gereja dan masyarakat.
“Pentakosta adalah Hari Raya Besar dalam Gereja Katolik,” tutur Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo dalam misa syukur atas pelantikannya sebagai Kardinal di Kampus Unika Atma Jaya Jakarta, Sabtu (30/11/19) lalu.
Tapi apa yang terjadi di Roma di mana Vatikan menjadi satu bagian kecilnya? Tepatnya di Hari Raya Pentakosta di Kota Abadi tersebut?
“Waktu itu, saya tengah berada di Roma. Itu dalam kesempatan kunjungan ad limina untuk bisa sowan kepada Bapa Suci Paus Fransiskus bersama-sama dengan semua Bapak Uskup Indonesia,” terang Kardinal Suharyo.
Di sela-sela jadwal padat kunjungan ad limina bertemu Sri Paus itulah, lanjut Bapak Kardinal Suharyo, beliau hadir dalam sebuah gereja di Kota Roma.
Tidak memimpin Perayaan Ekaristi, namun hadir sebagai umat biasa.
5-10 menit pertama, gedung gereja di Kota Roma itu masih sepi peminat.
Kardinal Suharyo “berharap” semoga menit-menit berikutnya, banyak orang Katolik datang untuk mengikuti Perayaan Ekaristi merayakan Hari Raya Pentakosta.
“Tapi tunggu punya tunggu, setelah menit-menit berikutnya yang datang ke Misa Pentakosta –sekali lagi di Kota Roma—tidak lebih dari 20 orang saja. Satu di antaranya saya, dari Indonesia,” terang Kardinal Suharyo.
Ketika tiba giliran kolete, demikian kisah sedih di Kota Roma itu berlanjut, banyak orang memberi donasi kolekte. Namun kalau dilihat “jumlahnya”, barangkali donasi kolekte dari “musafir” Indonesia itu yang paling besar.
“Bukan uang saya, melainkan karena saya mendapat sangu dari Ekonom Keuskupan Agung Jakarta,” papar Kardinal Suharyo memetik derai tawa umat yang memenuhi ruangan misa besutan bareng-bareng PGU (Paguyuban Gembala Utama), PaLingSah (Paguyuban Lingkar Sahabat), BKSY (Berkat Santo Yusup), dan CP-61.
Gereja kosong melompong
Esensi “kisah sedih” yang dilontarkan Kardinal Suharyo itu membawa kita pada kenyataan ini.
Sebuah fakta yang sudah muncul dalam beberapa dekade terakhir dan itulah yang selalu ditangisi oleh semua imam, bruder, dan suster misionaris dari Eropa ke Indonesia.
Gereja-gereja di Eropa kini kosong melompong.
Tengok saja Gereja Maria Maggiorre tidak jauh dari Stasiun Sentral Termini Roma. Bangunan gereja yang indah ini hari-harinya sepi.
Kalau pun tiba-tiba bisa menjadi “ramai”, maka yang menjadikan hiruk-pikuk itu tiada lain para turis.
Nyaris semua gereja di Kota Roma juga telah menjadi “sepi”. Seperti telah kehilangan ke-grandeur-nya. Bangunannya mentereng dengan arsitektur megah, namun isinya benar-benar “kosong melompong” alias di situ hanya ada bangku-bangku, altar yang megah dan indah. Tidak ada umat Katolik yang duduk mengisi bangku-bangku. Amat jarang pula imam berdiri di balik altar dan ratusan umat Katolik hadir mengikuti Perayaan Ekaristi.
Di sana tidak ada umat Katolik datang merayakan ungkapan imannya kepada Yesus Kristus. Dalam bentuk fisik menghadiri Perayaan Ekaristi. Bukan datang untuk berfoto-foto seperti saya.
Katedral Duomo di Milan juga sama saja. Begitu pula Sacre Coeur di Montartre di Paris. Juga Katedral Notre Dame de Paris. Yang terakhir ini malah menjadi “ramai” sekali, ketika bangunan gereja besutan abad ke-13 tengah dilanda kebakaran hebat di bagian atapnya.
Hal sama juga terjadi di katedral nan megah di Cologne atau Koln. Dan praktis semua gereja di kawasan Eropa kini telah menjadi sepi oleh kehadiran umat Katolik yang ingin mengungkapkan imannya.
Kisah beda di Indonesia
Apa sih yang sebenarnya ingin disampaikan Kardinal Suharyo dengan nukilan “kisah sedih” di Hari Raya Pentakosta di Roma tanggal 6 Juni 2019 lalu itu?
Beliau menjawabnya sendiri, meski petunjuk arah “moral story” baru ketahuan di ujung-ujung akhir homilinya yang sangat renyah, bernas, namun berbobot kualitas pesannya.
“Hal seperti itu —kisah sedih di Hari Raya Pentakosta di Roma—tentunya takkan terjadi di Indonesia. Ambil contoh saja di Jakarta. Kalau itu terjadi di Gereja Katedral Jakarta, misa Hari Raya Pentakosta pasti akan penuh sesak oleh umat Katolik. Bahkan sampai tujuh kali misa pun, Gereja katedral Jakarta akan tetap penuh sesak,” demikian simpul sederhana Kardinal Suharyo.
Tentang hal ini, rupanya Tahta Suci Vatikan memperhatikan juga. Gereja-gereja Katolik di Indonesia selalu penuh sesak. Tentu bukan soal kuantitas saja, tetapi hidup menggereja Umat Katolik juga semakin berkembang.
Singkat kata, semua orang dari segala lapisan Umat Katolik ingin melibatkan diri dalam konteks Gereja di tengah-tengah masyarakat sesuai spirit Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes art. 1:
”Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.”
Kalau pernak-pernik paparan di atas itu ingin ditarik ke dalam konteks yang lebih luas sesuai intensi misa tanggal 30 November 2019 lalu, maka kita bertanya: “penuh-sesaknya” gereja-gereja Katolik di seluruh Indonesia setiap kali Perayaan Ekaristi itu sebenarnya menandakan apa?
Gereja Katolik Indonesia di semua Keuskupan seantero Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat dan berkualitas. Bukan saja kenyataan penuh sesak yang sangat bertolak belakang dengan gereja-gereja di Eropa yang kosong melompong.
Tapi lihatlah, demikian papar Kardinal Suharyo, setiap kali ada perayaan liturgis keterlibatan umat Katolik dalam berbagai event itu luar biasa. Semua lapisan sosial ingin dan suka melibatkan diri.
Orangtua dan kaum dewasa terlibat di seksi liturgi, pewartaan, karya karitatif parokial. Remaja Katolik bergiat di OMK. Anak-anak merasa nyaman terlibat dalam hidup gerejani sebagai putera-puteri altar.
Kaum perempuan aktif di WKRI, Legio Mariae, dan kelompok-kelompok kategorial lainnya.
Di Keuskupan Agung Jakarta ada ratusan kelompok kategorial dengan aneka bidang pelayanannya. Ada yang berciri sosial, liturgikal, karitatif, human capacity development program, peneguhan kelompok baya single mother, dan masih banyak lagi.
Saking banyaknya kelompok-kelompok kategorial itu dan juga potensial sumbang sih-nya untuk Gereja dan masyarakat, Keuskupan Agung Jakarta sampai-sampai mendapuk “petugas khusus” untuk menjadi Vikep Kategorial.
Dari awalnya diampu oleh Romo Prof Dr Mardiaatmadja SJ, lalu beralih ke Romo Dr. Andang Listya Binawan SJ, dan kini Romo Eddy Mulyono SJ.
Rupanya jaringan alumni Seminari Mertoyudan juga termotivasi ingin berbuat sesuatu untuk Gereja dan masyarakat.
Mereka membentuk barisan pekerja dan forum kerjasama. Maka, lahirlah Paguyuban Gembala Utama (PGU), berikutnya PaLingSah (Paguyuban Lingkar Sahabat), BKSY (Berkat Santo Yusup), dan CP-61 yang tiada lain kelompok alumni Seminari Mertoyudan tahun 1961 –angkatan Kardinal Suharyo.
Mari kita “membaca” rangkaian “kisah sedih” di Kota Roma, antusiasme Gereja Katolik Indonesia, dan akhirnya hadirnya sejumlah kelompok kerja terdiri dari para alumni seminari ini.
Ini tidak lain adalah dalam rangka semakin menggelorakan semangat belarasa.
Karena memang itulah tema besar Perayaan Ekaristi Syukur atas Pelantikan Kardinal Suharyo. Yakni, “Semakin Beriman, Semakin Bersaudara, dan Semakin Berbelarasa.” (Berlanjut)
Memang benar bahwa fenomena penurunan jumlah penganut Katolik di negara maju (khususnya Barat) sudah bukan rahasia lagi. Namun saya tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan kardinal karena beberapa hal:
1. Tahun lalu saya ikut misa biasa Minggu malam di katedral Berlin dan jumlah pengunjungnya lumayan (kurang lebih 200 orang). Itu mungkin sudah cukup baik karena sebuah data menunjukkan bahwa umat Katolik di Berlin populasinya kurang dari 10% dan sejarah 500 tahun terakhir memang menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Jerman adalah penganut Protestan Lutheran.
2. Satu sumber menyebutkan bahwa jumlah bangunan gereja di Roma adalah lebih dari 900 dan sebagian besar merupakan gereja Katolik. Sepinya umat di 1 atau 2 gereja tentu tidak representatif untuk menarik kesimpulan atas seluruh populasi. Mungkin saja umat terkonsentrasi di beberapa gereja saja (karena perbedaan tingkat kepadatan penduduk atau preferensi pribadi).
3. Kolekte yang sedikit saat di misa di gereja juga tidak dapat dinyatakan sebagai ‘keprihatinan’. Saya tahu banyak umat yang hanya memberikan sedikit saat misa tetapi memberikan banyak di luar misa (entah transfer atau cara lain) karena tidak ingin dilihat orang lain. Contohnya beberapa waktu lalu ada donatur yang tidak diketahui namanya menyumbang USD 20 juta untuk renovasi Christ Cathedral di Orange Diocese AS.
4. Saya baca kalau banyak kaum muda di Barat meninggalkan gereja karena kecewa dengan hierarki atau muak dengan kemunafikan klerus dan umat Katolik lain yang hanya bisa berkata-kata ‘hikmat’ tetapi tidak menunjukkan perbuatan nyata dalam kehidupannya sehari-hari. Namun saya juga lihat banyak kesaksian kaum tua yang memutuskan untuk menjadi Katolik (dari ateis/agnostik atau dari agama lain) atau kembali ke gereja setelah ‘sadar’.
5. Bangunan gereja di Indonesia (terutama di kota besar) penuh sesak karena jumlah bangunannya sedikit (susah dapat IMB) sehingga tidak proporsional dengan jumlah umat. Selain itu banyak umat yang sibuk sendiri saat misa entah ngobrol dengan orang lain atau dengan ponselnya sehingga terlihat seolah-olah motivasi ikut misa adalah karena sekadar kewajiban atau bersosialisasi. Mungkin kardinal perlu sekali-kali menyamar jadi umat biasa dan duduk di bangku umat saat misa (terutama di bagian belakang atau samping gereja) agar bisa tahu keadaan yang sebenarnya.
terima kasih responsnya yang bagus dan lengkap.