Misa Inkulturasi Jawa di Gereja St. Clara, Bekasi Utara: Wujudkan Toleransi Umat Beda Budaya

0
29 views
Misa Inkulturasi Jawa di Gereja St. Clara, Bekasi Utara Wujudkan Toleransi Umat Beda Budaya. (Stanislaus Jumar Sudiyana)

SUASANA di Gereja Santa Clara, Bekasi Utara, hari Sabtu tanggal 6 Juli 2024 pukul 17.00 WIB kemarin sungguh terasa begitu istimewa. Suasana adat dan nuansa budaya Jawa memenuhi ruang gereja, saat perayaan Misa Inkulturasi Jawa. Diselenggarakan dalam rangka Peringatan Malam 1 Suro. Misa digelar dengan khidmat.

Dipimpin oleh Pastur Maseo Sitepu OFMCap sebagai konselebran utama yang didampingi Pastur Monald Banjarnahor OFMCap dan Pastur Zakaria Ginting OFMCap. Ekaristi dimulai dengan perarakan penuh khidmat; diiringi gamelan serta paduan suara yang mengenakan busana adat Jawa.

Dalam homilinya, Pastor Maseo Sitepu OFMCap menuturkan, Misa Inkulturasi yang mengusung adat budaya berbeda-beda dapat memperkenalkan sekaligus menghargai keanekaragaman budaya yang dimiliki umatnya. Juga membuktikan budaya dapat menyatu dengan Gereja. “Perbedaan budaya jangan malah menjadikan perpecahan, melainkan justru harus dimaknai sebagai sarana persatuan dan menyatukan umat,” ujar Pastor Masseo OFMCap.

Misa Inkulturasi bisa menggambarkan bagaimana Gereja berusaha menghargai budaya-budaya setempat; menyatukan adat-istiadat tanpa menghilangkan susunan tata peribadatan. Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, umat dapat bersatu dalam semangat cinta akan seni dan kearifan lokal Jawa.

Dalam Misa Inkulturasi Jawa tersebut, kehadiran unsur-unsur budaya dan adat istiadat Jawa sungguh terasa sangat kental. Mulai dari dekorasi altar, busana para umat yang menggunakan busana adat Jawa seperti kebaya, batik, kemben, blangkon, kemudian musik hingga paduan suara diiringi oleh gamelan khas Jawa. Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, para jemaat bersatu dalam semangat cinta akan seni budaya dan kearifan lokal Jawa.

Tradisi Malam 1 Suro

Panitia Misa Inkulturasi Jawa Paroki Santa Clara sekaligus Ketua Paguyuban Ketan Jawi Muji (66) menjelaskan, tanggal 1 Suro merupakan tanggal awal tahun baru Kalender Jawa.

Dalam perayaannya, Tradisi Suro lekat dengan tradisi turun-temurun masyarakat Jawa yang masih berpegang pada tradisi para leluhur. Bulan Suro dianggap oleh masyarakatJawa sebagai bulan sakral. Mereka menghindari hal-hal besar yang menyangkut kehidupan mereka dalam bulan tersebut dan melakukan banyak aktivitas.

“Bagi masyarakat Surakarta dan Yogyakarta, malam Satu Suro digelar ritual Mubeng Benteng. Tradisi atau ritual ini dilakukan sebagai bentuk tirakat atau pengendalian diri dan memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” ujar Muji.

Muji menambahkan dalam tradisi Jawa, Bulan Suro dianggap sebagai momen paling tepat untuk introspeksi diri dan mawas diri untuk setahun perjalanan hidup. “Intropeksi diri bisa dilakukan dengan menjalankan beberapa kegiatan seperti tidak tidur semalaman, tirakat, berpuasa, dan tidak bicara atau tapa bisu,” tambah pria asal Boro, Kabupaten Kulon Progo, DIY, tersebut.

Pentas Budaya Nusantara

Setelah misa selesai, seluruh umat diajak untuk menyaksikan berbagai kesenian dan lagu-lagu daerah dari masing-masing Lingkungan Paroki Santa Clara, Bekasi di Basement Gedung Gereja. Juga telah disediakan banyak hadiah menarik atau doorprize dari panitia.

Masing-masing lingkungan menampilkan seni budaya seperti alunan musik Campursari dari suku Jawa, lagu khas Sumatera Utara dari suku Batak, tarian dari Suku Flores, tarian khas Bali, lagu-lagu dan tari dari Kerukunan Tionghoa hingga tari Betawi.

Ketiga pastor dan seluruh umat yang hadir membaur bersama ikut menyanyi dan berdendang mengikuti alunan musik dan tari yang ditampilkan para kontestan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here