BARANGKALI inilah yang namanya makna terdalam dari apa yang sering disebut “ketaatan religius” dan bukti kebenaran atas terjadinya “penyelenggaraan ilahi”.
Di penghujung akhir tahun 1948 dan berlokasi di Biara Mariënheuvel di Heemstede, Nederland, Vikaris Apostolik Borneo Belanda Mgr. Tarcisius HJ van Valenberg OFMCap menyampaikan ide besar sekaligus “berani” tentang kebutuhan misi pengutusan menjadi misionaris di Ketapang, Kalbar.
Hal ini dia ungkapkan kepada kepada dua petinggi Kongregasi OSA Negeri Belanda saat itu. Mereka adalah Pemimpin Umum Kongregasi OSA Negeri Belanda Moeder Sr. Agneta OSA dan Direktur Kongregasi Pastor Stolwijk.
Namun, barulah di kemudian hari menjadi jelas bagi semua bahwa baik Moerder Sr. Agneta OSA maupun Direktur Pastor Stolwijk itu sebenarnya juga tidak tahu apa-apa tentang hal-ikhwal “Tanah Misi” tersebut.
Jangankan tentang Ketapang, informasi lengkap mengenai “sosok” West Borneo (Kalimantan Barat) sebagai wilayah administratif sekelas provinsi pun, kedua petinggi Kongregasi OSA itu sungguh tidak tahu banyak hal.
Tentu, dalam percakapan dengan Mgr. Tarcisius HJ van Valenberg OFMCap, soal kondisi medan pastoral di West Borneo dan Ketapang sempat dibahas.
Namun detil-detil mengenai bagaimana kondisi demografi penduduk di West Borneo dan Ketapang, lalu para suster misionaris OSA itu nantinya akan melakukan apa di Ketapang dan seterusnya itu, tidak sempat dibicarakan dengan sempurna oleh tiga orang yang berkepentingan tersebut: Mgr. Tarcisius van Valenberg OFMCap, Moeder Sr. Agneta OSA, Direktur Pastor Stolwijk.
Tibalah waktunya, ketika muncul keputusan bahwa Kongregasi OSA akan segera mengirim lima orang suster muda ke “Tanah Misi” di Indonesia.
Namun, ketika muncul kebutuhan akan informasi mengenai apa dan bagaimana West Borneo dan Ketapang di Kalbar, harapan itu menemui jalan buntu.
Informasi tidak tersedia banyak di Biara Mariënheuvel di Heemstede.
Baru “ketahuan” di tahun 2005
Tentang hal ini, barulah kita tahu di tahun 2005, ketika tiga dari lima suster perintis misi awal Kongregasi OSA ke Ketapang mulai bicara tentang “testimonial” mereka di pertengahan tahun 1949.
Terutama, kata Sr. Mathea Bakker OSA, saat dia dan semua kolega calon misionaris ini harus mengurus semua dokumen perjalanan dari Batavia (Jakarta) menuju Pontianak dan Ketapang. Kesulitan administrasi menimpa kelima “noni-noni” Belanda berbusana suster OSA itu, begitu mereka sampai di Ibukota RI dan bertemu dengan pejabat bule Belanda di Jawatan Urusan Kesehatan milik Pemerintah Belanda di Jakarta.
Ketika ditanyai petugas Pemerintah Belanda di Kantor Urusan Kesehatan untuk mengurus “surat tugas kerja”, mereka mengaku sempat kebingungan ketika harus menjawab mau ngapain dan bagaimana nanti bekerja di mana saat sudah tiba di Ketapang nantinya.
Hal ini juga dibenarkan oleh Sr. Prudentia OSA.
Selain kenyataan bahwa sebagai “pelaku peristiwa” dia sungguh tidak tahu-menahu soal West Borneo dan Ketapang, harapannya bahwa kedua pembesar Kongregasi OSA pasti lebih tahu soal hal yang sama tenyata tidak pernah kesampaian juga.
“Saya hanya merasa diri tertarik ingin membantu saja. Soal apa dan bagaimana nanti di Ketapang itu …. sungguh waktu itu, saya dan teman-teman yang akan berangkat juga tidak tahu apa-apa. Tapi itu malah menarik hati saya …dan saya berkeinginan mau menolong,” ungkap Sr. Prudentia OSA dengan penuh keyakinan di tahun 2005 saat mengingat kembali peristiwa tahun 1949.
Ia mengatakan hal itu tanpa gejolak emosi berlebihan. Malahan, di rona wajahnya sebagaimana tersaji di balik lensa video yang merekam “testimonialnya” di tahun 2005, ia lebih banyak melempar senyum manis.
Kisah manis penuh perjuangan
Tentulah, semua gejolak emosi dan “perang batin” yang terjadi di tahun 1949 sudah tidak ada lagi di tahun 2005, ketika Sr. Prudentia OSA sudah “pulang kampung” ke Nederland, setelah sebelumnya menjadi misionaris bertahun-tahun berkarya di Ketapang.
Di situ menjadi jelas bagi kita semua, bahwa menjadi “misionaris” OSA di Tanah Misi Ketapang di Kalbar adalah karya penyelenggaraan ilahi. Tiada kesan akan adanya rasa sesal sedikit pun sempat menyeruak pada tiga suster misionaris OSA perintis misi Kongregasi di Ketapang, Kalbar: Sr. Euphrasia Laan OSA, Sr. Mathea Bakker OSA, dan Sr. Prudentia OSA.
“Saya sendiri juga merasa heran bahwa tanpa pengetahuan sama sekali tentang West Borneo dan Ketapang itu, tapi daftar suster peminat untuk pergi bermisi sedemikian besarnya: ada 200-an orang,” tambah Sr. Euphrasia Laan OSA yang juga dibenarkan oleh Sr. Mathea Bakker OSA.
Akhirnya, Kongregasi menetapkan lima orang suster muda OSA untuk dikirim ke Tanah Misi Indonesia di Ketapang, Kalbar. Mereka adalah Sr. Euprhasia Laan OSA, Sr. Desideria OSA, Sr. Maria Paulo OSA, Sr. Prudentia OSA, dan Sr. Mathea Bakker.
“Semua masih muda-muda. Saya sendiri baru menginjak usia 26 tahun dan baru beberapa bulan sebelumnya mengucapkan kaul dan baru dapat diploma,” terang Sr. Mathea Bakker OSA.
“Tanpa banyak berita dari radio, surat kabar atau apa pun juga, baik Moeder Sr. Agneta OSA dan Direktur Kongregasi Pastor Stolwijk yang juga tidak memiliki banyak informasi terakhir tentang kondisi Indonesia, maka kami pun berangkat hanya hanya bekal yakni berkat Tuhan,” katanya dengan senyum mengembang. (Berlanjut)