“MUNGKINKAH hidup tanpa derita? Tidak akan pernah.
Apakah derita bisa dilupakan? Mana mungkin. Membekas dan tersimpan dalam memori.
Apakah derita dapat dihindari? Tidak.
Berpijak dari iman, derita Tuhan Yesus tidak dapat dihindarkan. Ia rela menanggungnya.
Belajar dari Yesus, penderitaan sebagai murid Tuhan dapat mempunyai arti; bahkan dapat menjadi satu tindakan penyerahan hidup pada Allah yang tak pernah meninggalkan kita.
Hari rabu dalam Pekan Suci, Yesus berbicara tentang penderitaan-Nya. Ia memaknainya sebagai kepatuhan pengutusan Bapa; bukti cinta-Nya pada manusia.
Lewat penderitaan Yesus, kita juga dapat belajar memandang, memaknai derita kita seperti Yesus sendiri.
Kiranya itulah kesan bacaan hari ini: Yes 50: 4-9a; Mt. 26: 14-25.
Pedihnya jadi orang miskin
“Saya harus sukses. Saya harus keluar dari kemiskinan. Kasihan papa mama. Saya ingin membuat mereka bahagia, berkecukupan,” kata seorang umat.
“Bagaimana pergulatan perjuanganmu? Engkau memiliki lebih dari cukup yang dibutuhkan. Rumah mewah, megah. Anak-anak berpendidikan luar negeri”.
“Tak kekurangan apa pun. Engkau menerima berkat luar biasa!”.
“Romo, sakit sekali rasanya menjadi orang miskin. Terhina dan menyedihkan. Tidak ada saudara yang mau mendekat. Tidak ada orang yang mau memberi dengan gratis. Harus ada imbalan.
Ibu saya berjualan makanan kecil-kecilan. Saya membantu ibu berjualan. Rasa senang bila laris habis. Ada sedikit uang. Sedih bila tidak laku.
Tambal sulam. Tutup lobang kali lobang. Terjerat dalam kekurangan. Kami hidup seirit mungkin agar keluar dari jerat kemiskinan, penderitaan, penghinaan dan tekanan batin. Menyedihkan menjadi miskin, Romo.”
“Saya memutuskan berhenti sekolah. Saya kerja di tempat paman. Saya harus bekerja dengan sangat baik. Kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan ditebus dengan hasil kerja. Keras, terkesan tega, makian, dampratan, hinaan saya alami.
Saya menghitung barang-barang yang masuk dengan kualitas yang sudah ditentukan. Keberanian dan ngotot menolak barang-barang yang tidak sesuai, membuat saya gampang emosi.”
“Saya harus berani berhadapan dengan mereka. Belum lagi para pemalak, preman. Setelah memiliki tabungan, saya bekerja sendiri. Saya berdagang jual beli apa saja yang menguntungkan. Pergulatan, jatuh bangun jual beli baju dan apa saja yang menguntungkan. Apa pun yang mendatangkan uang saya lakukan.”
“Anak-anak diasuh baby sister. Hanya punya sedikit waktu untuk keluarga. Saya fokus pada pekerjaan, mencari uang. Saya pemenuhi apa yang mereka butuhkan.
Boro-boro merawat badan, sakit pun tidak dirasakan. Yang penting kerja keras banting tulang. Ada kepuasan bila sukses. Rezeki berlimpah namun kesehatan terganggu.”
“Saya mencintai keluarga saya, bekerja banting tulang. Saya tidak mau miskin. Saya harus keluar dari lingkaran kemiskinan. Menjadi miskin itu menyakitkan. Horor kehidupan.”
“Saya selalu tidak puas atas hasil pekerjaan. Perbaikan demi perbaikan, seberat apa pun, sesulit apa pun saya lakukan.
Saya tidak pernah menyerah. Saya tidak mau kalah. Saya sadar, penderitaan yang kualami saat ini adalah ambisi dan cinta pada keluarga; usaha extraordinari bebas dari kemiskinan. Miskin itu perih.”
“Hebat pengalamanmu. Apa yang membuat engkau bisa tangguh, bertahan, berkembang dan sukses keluar dari kemiskinan?”.
Terhina karena miskin. Sedih, pedih, malu, menderita karena tersingkir.
“Bagaimana imanmu! Bukankah Yesus menjadikan diri-Nya miskin supaya kita kaya dalam rahmat-Nya?”
Sesaat diam. Tetes air matanya lalu diseka.
“Papa mama tidak lama menikmati hasil keringatku. Tubuhku sakit, sakit sekali. Cintaku pada keluargaku adalah penderitaanku.”
Aku belajar menapaki kembali imanku. Aku percaya seperti ditulis dalam Kitab Nabi Yesaya, “Sesungguhnya, Tuhan Allah menolong aku”, ay 9a.
Kini aku belajar tumbuh dan berkembang dalam iman.
Yesus meneguhkan, “Di dalam rumahmulah Aku mau merayakan Paska bersama-sama dengan murid-murid-Ku”, ay 18b.
Datanglah Tuhan. Amin.