“MAHASISWA gelisah” ibarat mencari tombol ‘on-off’ lampu ketika berada di ruang gelap. Ada dua tipe reaksi spontan. Tipe pertama, tetap diam ‘off’ dan menunggu dalam gelisah. Tipe kedua, bergerak mencari tombol ‘on’ lampu agar ruangan menjadi terang.
Dua reaksi ini bisa menjadi salah satu tolok ukur kecil gambaran pribadi dan seberapa besar inisiatif seorang mahasiswa yang gelisah. Ada model mahasiswa yang gelisah, tetapi tidak berbuat apa-apa selain hanya bisa menunggu dan memilih ‘off’ dari kegiatan apa pun, sehingga hidupnya berkubang dalam gelap. Namun, ada juga model mahasiswa yang aktif mencari tombol ‘on’ dan menyalakannya supaya hidupnya menjadi terang.
Itulah gambaran yang terjadi dalam dunia Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) STIKOM Yos Sudarso. Namun yang menarik, gelisah yang dibungkus dalam peziarahan menjadi pengalaman gelisah bernuansa lain. Gel-i-sah berubah makna menjadi Gelora Ikatan Sahabat.
Sebanyak 49 mahasiswa/i (46 katolik dan 3 kristen), 1 dosen (katolik), plus 1 frater pendamping KMK STIKOM Yos Sudarso berziarah jalan kaki dari Wisma St. Tarsisius Margasiswa menuju Pertapaan Oase Sungai Kerit Melung, Baturaden (total peserta 51 orang). Tema peziarahan yang diangkat adalah “Mlampah Gelisah”.
Mlampah Gelisah dimaknai sebagai pengalaman berjalan bersama dalam gelora ikatan persahabatan sebagai murid-murid Kristus. Kegiatan diawali sejak Sabtu, 15 Oktober 2016. Persis pukul 20.00 WIB, kami berdinamika membangun keakraban dengan mendengar kesaksian dari Ci Yulin (umat Paroki St. Yosef Purwokerto Timur) yang aktif dalam PD Ekklesia.
Ada dua pokok kisah yang disampaikan dan menginspirasi para mahasiswa/i yakni bagaimana menyikapi pengalaman persahabatan yang berujung pada pengkhianatan dan juga tips pacaran “kudus”.
Usai kesaksian, malam Minggu syahdu kami dipuncaki dengan perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Rm. Antonius Padua Ary Setyawan, Pr (Puket III STIKOM Yos Sudarso). Dalam kotbahnya, Rm. Ary menekankan pentingnya menemukan nilai-nilai hidup dan tujuan ataupun intensi pribadi yang akan dibawa dalam ziarah jalan kaki kali ini.
Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa bukan adu kekuatan atau berlomba-lomba sampai ke tempat tujuan ziarah yang utama, namun semangat asketisme dan makna kebersamaan yang bisa diperjuangkan dalam ziarah jalan kaki, terutama dalam rangka Bulan Rosario kali ini.
Akhirnya usai Perayaan Ekaristi, kami semua menikmati nasi goreng hangat, hasil usul spontan iuran bersama (bantingan) sepuluh ribuan. Sungguh malam Minggu yang ‘gelisa’h berujung penuh kejutan dan mimpi indah menginap di ruang-ruang kelas STIKOM dalam gelora ikatan sahabat.
Sebelum ayam berkokok, pukul 04.00 tepatnya, kami semua berkemas dari STIKOM menuju Margasiswa sebagai starting point peziarahan kami. Pembagian kelompok dan snack arem-arem, air minum, ditambah tahu goreng pun dibalut dengan rasa terkejut dan sukacita peserta karena semula mereka membayangkan tidak ada sarapan, tapi akhirnya mendapatkan juga. Lalu, pukul 05.00 tepat kami memulai langkah peziarahan per kelompok dari Margasiswa menuju Melung.
Banyak kisah perjalanan
Selama perjalanan ada banyak ungkapan kisah yang terjadi.
“Saya sedih Frater, karena akhirnya harus pasrah tidak kuat jalan”.
“Saya bangga ikut ziarah KMK karena ternyata ziarah jalan kaki lebih menantang“.
“Saya gelisah Frater, karena konflik batin. Saya pingin cepat sampai karena saya kuat, tetapi teman-teman saya jalannya pelan-pelan sekali. Tapi ya sudah karena kebersamaan, saya harus berani tidak egois”.
Bahkan ada momen yang mengejutkan dari satu kelompok: “Kami tadi ditolong ‘orang Samaria’ yang baik hati Frater. Jadi, ada mas-mas naik mobil terbuka. Terus melihat kami berjalan tertatih-tatih, akhirnya dia nawari buat naik mobil. Ya sudah, tanpa berdebat, kami langsung naik mobil!”.
Itulah potret pengalaman-pengalaman unik selama peziarahan.
Tercatat ada 17 mahasiswa yang akhirnya “tumbang” karena tidak kuat berjalan dan minta dijemput dengan motor tim penyelamat dari panitia. Senang karena berhasil, sedih karena gagal, bangga karena tertantang, ataupun kompromi karena situasi menjadi momen yang dikenang.
Jarak kurang lebih 17 km dari Margasiswa menuju pertapaan oase Sungai Kerit-Melung berbuah kepercayaan diri dan semangat saling memiliki sebagai satu keluarga yang sama-sama berziarah menuntaskan kuliah sebagai mahasiswa, lebih-lebih sebagai murid-murid Kristus.
Sesampai di Melung sejenak kami beristirahat, mandi, dan makan siang. Menurut catatan waktu, kloter pertama sampai pada pukul 09.00 dan kloter paling terakhir pukul 11.30 WIB. Selanjutnya, pukul 13.00 WIB, dinamika ziarah kami tuntaskan dengan berdoa rosario bersama, yang rencana awal di depan Gua Maria, terpaksa harus berpindah ke Kapel Kerahiman Ilahi karena hujan begitu deras.
Usai rosario, hujan tak kunjung henti juga, spontan lalu kami bersama-sama melakukan meditasi ‘handuk basah’ untuk relaksasi dan pengendapan pengalaman yang sudah kami alami bersama.
Akhirnya, pukul 15.30 WIB masih diguyur rintik-rintik hujan, kami berpamitan dan kembali ke Margasiswa dan STIKOM Yos dengan tiga mobil: L-300 Keuskupan, Luxio Hening Griya, dan APV biru Margasiswa sambil membawa sukacita Gelisah (Gelora Ikatan Sahabat) yang kami syukuri.
Sang Dewi…Sang Dewi…Mangestonana…
“Illum oportet crescere me autem minui”
Fr. Rendy — Penggiat KMK – TOP Kemahasiswaan