KONSILI Vatikan II sudah mengajari kita bahwa ragam tradisi dan budaya manusia sungguh dapat menjadi medan pewartaan Gereja dalam menyebarluaskan dan mengurai pewartaan tentang Kristus.
Atas dasar alasan tersebut, sudah sepantasnya Gereja harus semakin giat menyelami dan menggali kekayaan yang terkandung di dalam budaya lokal.
Berkaitan dengan upaya menyelami dan menggali terebut, di sini baik kiranya jika saya tambahkan model pendekatan seperti apa yang bisa kita gunakan.
Berangkat dari pandangan Paus Yohanes Paulus II di atas bahwa sikap misioner selalu mulai dengan cita rasa menghargai secara mendalam “apa yang ada pada manusia”, model antropologi saya pandang dapat membantu kita dalam memahami dan menyelami kebudayaan suku Dayak.
Antroposentris
Apa yang penting dalam model ini, sebagaimana dikemukan oleh Stephen B. Bevans, ialah pemahaman bahwa Kristianitas itu berbicara tentang pribadi manusia dan pemenuhannya.
Model ini memusatkan diri pada nilai dan kebaikan dari anthropos (pribadi manusia). Dalam model ini, kodrat manusia -dan konteks manusia itu sendiri- dipandang baik, kudus dan bernilai.
Dalam pemahaman ini, model antropologi akan menekankan bahwa di dalam budaya manusia-lah kita dapat menemukan pewahyuan Allah. Mereka yang menenggelamkan diri dalam model ini berusaha mencari pewahyuan dan penyataan diri Allah yang tersembunyi dalam nilai-nilai, pola-pola relasional dan keprihatinan-keprihatinan dari sebuah konteks.
Ref: Stephen B. Bevans, Models of Contextual Theology. Revised and Expanded Edition, New York: Orbis Book, 1992, 54-56.
Model antropologi merupakan satu dari enam model yang ditawarkan oleh Stephen Bevans dalam upaya menjalankan sebuah teologi yang kontekstual.
Ref: Lima model yang lain ialah: model terjemahan, model praksis, model sintetik, model transcendental, dan model counter-cultural.
Setiap model memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Model mana yang hendak digunakan sungguh bergantung pada konteks.
Oleh karena itu, menurut Bevans, penting untuk diingat bahwa masing-masing model dari kodratnya berciri inklusif. Ketika seseorang lebih memilih model transendental, misalnya, tidaklah perlu untuk mengecualikan atau mengucilkan model lainnya.
Dengan menggunakan model antropologi sebagaimana digagas oleh Bevans, saya tidak sedang mempatenkan model ini sebagai satu-satunya model bagi upaya pemahaman terhadap kebudayaan Dayak.
Preferensi pada model antropologi tak lain, karena model ini saya pandang sungguh dapat membantu dalam upaya memahami kebudayaan lokal. Sebab, ia memandang kodrat manusia dan juga konteks manusia itu sendiri baik, kudus dan bernilai.
Dari poin terakhir ini mau ditunjukkan kalau model pendekatan antropologi itu berpusat pada teologi penciptaan (creation-centered theology).
Berpusat pada teologi penciptaan mau memaksudkan bahwa pendekatan antropologi didasarkan pada keyakinan bahwa segala sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah Bapa itu baik adanya.
Sub-sub suku Dayak di Keuskupan Sintang
Sub-suku Dayak yang hidup di Keuskupan Sintang itu memang sangat banyak. Mereka tidak hanya berbeda dalam tradisi, kebiasaan dan adat-istiadat, tapi juga berbeda dalam watak dan cara pandang.
Dalam konteks inilah, model antropologi kiranya dapat menjadi sarana pendekatan yang sesuai tidak hanya untuk menggali kekayaan budaya manusia Dayak. Tapi juga dalam usaha, khususnya bagi para pelayan pastoral, menyatukan dan mengakrabkan diri dengan orang Dayak yang mereka jumpai dan layani.
Dengan menggunakan model pendekatan antropologi sebagai alat bantu memahami budaya lokal, maka kemudian diharapkan kita bisa menemukan model katekese yang kontekstual.
Katekese yang kontekstual, sebagaimana dijabarkan dalam Ardas Keuskupan 2012-2016, ialah katekese yang menggunakan sarana, metode dan isi atau bahan yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan subjek katekese, disesuaikan dengan konteks aktual, yang beradaptasi dengan keadaan dan kebutuhan yang ada.
Katekese yang kontekstual, baik dalam metode, sarana, juga dalam isinya, akan menjadikan katekese itu sendiri efektif dan tepat sasaran.
Tujuannya tiada lain agar terjadinya transmisi iman yang diwariskan turun temurun oleh Gereja, serta terjadinya transformasi hidup dalam diri jemaat beriman.
Sekadar gagasan sebagai penutup
Demikianlah beberapa buah permenungan ringan yang dapat saya tuangkan berkaitan dengan rumusan visi Arah Dasar Keuskupan Sintang.
Kita semua tentu sependapat bahwa perumusan visi ardas bukanlah hanya sebatas untuk menciptakan rangkaian kata-kata indah atau pun puitis, yang membuat kita bisa terkesima saat membacanya.
Apa yang tertuang di sana merupakan mimpi dan cita-cita yang hendak kita wujudkan dengan melibatkan semua elemen yang ada.
Akan tetapi, setinggi apa pun mimpi dan cita-cita yang kita miliki, rasanya akan sulit untuk kita gapai, jika tidak memasrahkannya pada tuntunan dan bimbingan Roh Kudus.
Dengan memasrahkan seluruh daya upaya kita mewujudkan mimpi dan cita-cita yang tertuang dalam ardas ke dalam bimbingan Roh Kudus, pertama-tama, agar kita semua dalam kelemahan manusiawi kita, selalu diberikan kekuatan.
Selanjutnya, dan saya kira ini yang penting. Karena cita-cita kita ialah menghadirkan kerajaan Allah di Keuskupan Sintang.
Maka memasrahkan diri dan karya misi Gereja ke dalam bimbingan Roh Kudus tiada tujuan lain supaya hanya kehendak Allah sajalah yang terjadi seperti yang selalu kita mohonkan dalam doa Bapa Kami.
Ketika bukan lagi Roh Kudus yang membimbing kita, maka misi yang kita jalankan hanya bertujuan untuk mencari kemuliaan diri, bukan kemuliaan Allah Bapa.
Begitu juga dengan Gereja yang hendak kita bangun, bukan lagi Gereja yang selaras dengan kehendak Bapa, melainkan melulu seturut kehendak kita sendiri.
Sementara itu, usulan agar eksistensi budaya dan adat-istiadat setempat sedapat mungkin ditampilkan dalam rumusan visi Arah Dasar Keuskupan, semata-mata didasarkan pada keyakinan bahwa dalam tradisi dan budaya manusia ada elemen-elemen baik yang sungguh dapat dijadikan sarana oleh Gereja dalam mewartakan Kristus, Sang jalan, kebenaran dan hidup.
Melalui usulan ini, sama sekali tak ada niatan dalam diri saya untuk menjadikan Gereja Keuskupan Sintang sepenuhnya berwajah Dayak.
Jika itu yang saya niatkan, maka sudah dengan sendirinya saya mengingkari mimpi dan cita-cita Ardas, yakni menghadirkan Gereja sebagai persekutuan umat Allah (communio).
Apalagi bila kita melihat fakta di lapangan di mana masih ada suku-suku lain, seperti Tionghoa, Jawa, Flores, Batak, yang ada di Keuskupan Sintang.
Mereka semua adalah umat Allah, yang dengan caranya masing-masing sudah memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan Gereja Keuskupan Sintang.
Mengimpikan bahwa Gereja Keuskupan Sintang itu harus berwajah Dayak rasanya hanya akan merusak communio antarumat yang sejauh ini sudah terjalin dengan baik.
Kebersamaan suku Dayak dengan suku-suku lain justru dapat menjadi usaha pengembangan Komunitas Basis Kristiani, yang oleh Santo Paus Yohanes Paulus II dipandang sebagai titik berangkat yang solid untuk membangun sebuah tatanan hidup yang baru yang didasarkan pada “peradaban cinta”.
Ref: Paus Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Gereja di Asia, art. 25. (Selesai)