SEORANG sahabat, Mon nama panggilannya, yang sedang dalam perjalanan dinas dua hari lalu mengalami kejadian beruntun yang dituturkannya di facebooknya.
Ceritanya, pagi itu pukul 09.30, dia diantar ke bandara untuk penerbangan ke Bali pukul 11.45. Normalnya perjalanan menuju bandara cuma perlu setengah jam. Saat mobil baru melaju 10 menit, tiba-tiba taksi yang berjalan tepat di depan mereka berbelok arah. Tak ayal, mobil yang ditumpanginya menyodok bagian belakang taksi yang mendadak pelan dan bersiap berbelok tersebut. Kedua pengemudi turun beradu mulut dan akhirnya berakhir di kantor polisi.
Mon harus menunggu satu jam di kantor polisi sebelum bisa melanjutkan perjalanan ke bandara. Waktunya sudah mepet, dia sudah khawatir check-in sudah ditutup. Maka begitu turun, buru-buru dia menyeret koper kabinnya ke deretan panjang penumpang yang mengular di depan meja check-in. Setengah jam lagi berlalu ketika baru tiba gilirannya dan.. alas, baru tahu bahwa dia berada di jalur antrian yang salah!
Secepatnya dia pindah ke jalur yang ditunjukkan petugas, dan seperempat jam lagi harus berlalu sebelum akhirnya gilirannya tiba. Ketika paspor dan tiketnya diserahkan sambil menggumamkan ‘sorry’ dia terlambat, petugas di meja check-in tersebut memandangnya agak heran dan menyatakan bahwa Mon tidak terlambat karena pesawatnya baru akan terbang jam 15.30. Rupa-rupanya jadwal pesawat diubah tanpa informasi semestinya kepada para penumpang, paling tidak Mon sendiri tidak mendapat pemberitahuan apa pun soal tersebut.
Jadilah dia duduk menunggu tiga jam di bandara sesak tanpa fasilitas AC tersebut. Masalah lain yang lebih parah, akibat keterlambatan pesawat tersebut, dia jelas ketinggalan pesawat Bali ke Jakarta. Maka sibuklah dia menelpon ke kantor agar tiketnya ditukar ke penerbangan malam.
Singkat cerita, Mon tiba di Bali, tapi kemalangannya belum tuntas rupanya. Ketika tiba di Bali, dia masih harus menelpon kantornya karena tiketnya belum selesai diurus. Suara bip bip pertanda low bat terdengar dari telpon genggamnya. Buru-buru dia menyelesaikan percakapan sebelum telponnya mati suri. Saking tergesa-gesa, holster alias sarung teleponnya tertinggal dan hilang entah kemana.
Kesialan beruntun
Cerita kesialan beruntun seperti yang dialami Mon sering kita dengar dan biasanya kita turut bersimpati dengan menyatakan kekesalan atas ketidakbecusan manajemen berbagai pihak yang mengakibatkan perjalanan menjadi tidak menyenangkan.
Tetapi mengapa cerita yang dituturkan oleh Mon ini sengaja saya angkat? Karena setelah mengalami segala kejadian tidak mengenakkan tersebut, Mon tidak berhenti sampai di situ. Dia malah meneruskan kisahnya dengan memberi pertanyaan menarik: Apakah semua itu kesialan semata?
Tidak, jawabnya sendiri, banyak hal baik yang terjadi di balik itu.
- Pesawat hanya diundur, bukan dibatalkan seperti hari sebelumnya.
- Ketika tiba di bagian imigrasi di Bali, hanya 5 menit sudah selesai proses imigrasi yang harus dia lalui, itu sejarah baru baginya.
- Jarak lumayan jauh antara penerbangan luar negeri dan domestik menyebabkannya benar-benar berlari dari satu tempat ke tempat lainnya karena khawatir ketinggalan pesawat lagi. Mon mensyukuri gerak kaki yang terpaksa dilakukannya sebagai olahraga yang membakar lemak di badannya yang memang agak gempal.
- Sarung telepon genggam yang disukainya dikembalikan oleh petugas check-in, rupanya tertinggal di situ.
- Kantornya berhasil mendapatkan tiket penerbangan malam itu menuju Jakarta;
- Terakhir, walaupun check-in suatu penerbangan biasanya baru dibuka dua jam sebelumnya, dia diperbolehkan check-in dulu sehingga kemudian bisa bersantai di ruang tunggu sambil mengetikkan cerita ini di facebooknya. Jadi, katanya, saat dia tiba di Jakarta dan beristirahat di hotel, dia bisa melihat kembali pengalamannya hari itu dan bersyukur atas segala hal baik yang terjadi.
Kemalangan atau sebaliknya, hanya soal bagaimana menyikapi suatu masalah, Mon telah membuktikannya. Selamat Mon, engkau menemukan harta tak ternilai: kunci menjadi orang yang bahagia.
Photo credit: Ilustrasi wajah riang ceria (perempuan anonim di Pantai Parai, Sungai Liat, Bangka/Mathias Hariyadi)