HARI ini, hari kemalanganku. Semua mahkluk mengejekku. Kata-kata serapah tergelincir dari mulut mereka yang bau. Caci. Maki. Jadi adonan lezat bagi orang-orang yang suka mengalihkan tanggung jawab. Aku seperti berada di pucuk Golgota. Burung manyar menjerit arogan. Jeritan pelecehan. Kematian sebentar lagi tiba bersama kemarau panjang. Kemarau yang menghajar hutan-hutan dan ladang-ladang pangan. Membuatnya layu, mandul, dan tak berarti. Seperti diriku yang sekarang ini, pohon yang tidak berarti. Pohon mandul. Tanpa buah. Siap ditebang dan dicampakkan ke perapian bersama pelepah gandum yang membusuk dimakan belalang.
Aku benci manusia. Mereka terlalu pandai, tapi juga licik. Culas dan munafik. Lantaran ulah mereka, pemilik kebun membenciku. Semua membenciku. Aku disalahkan karena aku mandul. Aku dianggap seperti gulma dan ilalang yang merusak kebun. Tiada buah yang bertumbuh di ranting-rantingku. Tiada laba yang bisa dipetik dari tangan para saudagar. Aku layu. Aku renta. Tapi, apakah ini salahku sampai pemilik kebun memvonis mati diriku? Parang sudah diasah. Tungku perapian sudah disiapkan.
Bukankah semua ini akibat ulah para tukang kebun itu? Mereka terlalu malas dan emoh bekerja. Siang hari mendengkur dan akhir bulan menuntut upah. Mereka tidak pernah memberiku pupuk, tidak menyiramiku dengan segayung air, dan tidak pernah memberi perlindungan jika segerombolan hama menyerangku. Aku layu karena kemalasan mereka. Anggaran untuk beli pupuk telah mereka tilap untuk kesenangan mereka sendiri. Mereka sibuk dengan proyek-proyek mereka sendiri. Lupa bahwa mereka dibayar untuk merawat seluruh isi kebun, termasuk aku yang sebatang kara ini.
Di lain waktu, aku sering mendengar jeritan pohon-pohon lain yang tubuhnya hancur digergaji. Mereka dimutilasi dan tukang kebun itu menjual potongannya ke cukong-cukong nakal. Para tukang kebun itu suka mencuri buah-buah dari isi kebun dan menjualnya secara ilegal. Mereka menutup sungai dan menjualnya ke perusahaan air minum. Penghuni kebun pun kehausan dan layu. Saat hujan tiba, air besar melanda dan membanjiri seluruh isi kebun termasuk rumah tinggal pemilik kebun. Setiap itu terjadi, mereka menyalahkan penghuni kebun. Menyalahkan musim. Mereka membuat laporan palsu setiap pemilik kebun menagihnya. Mereka juga cari muka dengan pura-pura rajin ibadah agar Penguasa langit memberi panen raya. Tapi, panen tidak akan diturunkan bagi hati-hati yang dipenuhi kepalsuan.
Dan, waktunya tiba, pemilik kebun memberi perintah untuk menebang seluruh pohon yang tidak berbuah. Para tukang kebun merengek agar eksekusi dibatalkan. Alasannya, bukan agar aku tetap hidup. Tetapi, agar mereka bisa korupsi uang pupuk lagi. Kalau kebun ini ditutup, pasti mereka tidak bisa bekerja lagi. Satu tahun toleransi diberikan. Satu tahun berikutnya, tidak ada perubahan. Aku tidak mampu berbuah. Pada tahun itulah, aku ditebang. Tubuhku dihancurkan dalam api bersama pelepah gandum. Pohon ara baru ditanam. Nasibnya sama. Ditanam ara baru lagi. Idem lagi.
Sampai suatu hari, mata si pemilik kebun terbuka. “Aku telah salah mencampakkan pohon ara itu. Aku terlalu polos dan lurus hati,” katanya sambil tangannya mencoreti nama-nama tukang kebun yang akan di-PHK.