Monumen Lubang Buaya

0
700 views
Ilustrasi - Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya (Mathias Hariyadi)

Puncta 14.10.21
Kamis Biasa XXVIII
Lukas 11: 47-54

SETIAP bulan Oktober kita mengenang peristiwa kelam terbunuhnya para pahlawan revolusi yakni tujuh jenderal yang tewas dibunuh.

Kelompok kiri ini menuduh mereka adalah dewan jenderal yang akan menggulingkan Soekarno. Mereka diculik dan dibunuh pada tanggal 30 September 1965.

Dikenal dengan Peristiwa G30S/PKI.

Kemudian di Lubang Buaya didirikan Monumen Pancasila Sakti. Monumen untuk mengenang para pahlawan sekaligus peristiwa yang menyayat rasa kemanusiaan. Ada sekelompok keji yang tega membunuh saudara sendiri.

Di Kentungan Jogjakarta juga ada monumen persis seperti kasus di Lubang Buaya.

Dua perwira TNI dibunuh oleh PKI, yakni Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono. Ada relief yang menggambarkan kekejaman dan kebiadaban PKI di monumen itu.

Yesus mengecam kaum Farisi, ”Celakalah kalian, sebab kalian membangun makam bagi para nabi, padahal nenek moyangmulah yang telah membunuh mereka. Dengan demikian kalian mengakui, bahwa kalian membenarkan perbuatan nenek moyangmu, sebab mereka telah membunuh nabi-nabi itu dan kalian membangun makamnya.”

Soekarno pernah berkata, “Jasmerah. Artinya, jangan sekali-kali melupakan sejarah.”

Ada sejarah kelam dan gelap dimana nenek moyang kita pernah saling bunuh karena situasi politik. PKI dituduh telah membunuh para jenderal dan kemudian terjadi balas dendam, anggota organisasi PKI dibubarkan dan para kader dan anggotanya dihabisi.

Didengungkan terus bahwa PKI adalah bahaya laten. Bahkan dulu warga wajib nonton film tiap bulan Oktober. Semacam ritus tahunan untuk menanamkan peristiwa kelam itu.

Bahaya laten sekarang ini adalah radikalisme, intoleransi, dan terorisme atas nama agama.

Itulah bahaya di depan mata kita.

Sejarah semestinya bisa dijadikan cermin untuk mawas diri dan bertobat. Jangan meninggalkan sejarah, supaya kita tahu kesalahan dan kegagalan kita, sehingga tidak mengulangi kembali.

Diingatkan demikian, orang-orang Farisi itu justru marah. Kemarahan itu diwujudkan dengan terus menerus mengintai, membanjirinya dengan rupa-rupa soal. Mereka memancing-Nya agar bisa menangkap Yesus dan menghukum-Nya.

Kaum Farisi ini menjadi paranoid disinggung oleh Yesus tentang pembunuhan para nabi. Kemarahan mereka menggambarkan hal itu.

Kalau ada kritik, mari kita mawas diri, tidak melawan dengan kekerasan dan dendam karena hanya akan menghancurkan kita sendiri.

Mari belajar menerima kritik dengan pikiran jernih dan kedewasaan hati.

Di gurun panas ada binatang yang mirip kadal.
Kalau di sungai-sungai itu namanya buaya.
Anak-anak dicekoki paham intoleransi dan radikal,
Orang yang berbeda dianggap musuh yang berbahaya.

Cawas, kembangkan toleransi…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here