Monumen Lubang Buaya

0
34 views
Ilustrasi - Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya (Mathias Hariyadi)

Puncta 17 Oktober 2024
Pw. St. Ignatius Antiokhia, Uskup dan Martir
Lukas 11: 47-54

PADA zaman Orde Baru, setiap tanggal 30 September kita disuruh menonton film G30S/PKI. Film itu menceritakan kekejian dan pembantaian oleh para anggota PKI di Jakarta.

Para jenderal diculik, disiksa, dibunuh di daerah Lubang Buaya. Film itu dibuat oleh penguasa zaman itu untuk mengindoktrinasi rakyat.

Setelah reformasi, film itu tak pernah beredar lagi. Yang tinggal hanya monumen Lubang Buaya yang menjadi kenangan pahit bagi bangsa ini. Kenangan kelam ketika permusuhan dan kebencian menelan jutaan korban.

Lubang Buaya menjadi catatan kelam sejarah sebuah bangsa yang keji terhadap saudaranya sendiri. Kita pernah membiarkan kekejaman dan permusuhan terjadi antar sesama bangsa karena beda ideologi dan keyakinan.

Banyak rakyat dibunuh, dibuang, dikucilkan, dan dipenjara. Banyak orang dihukum tanpa proses pengadilan. Banyak kuburan tanpa nama. Banyak orang kehilangan saudara. Lubang Buaya menjadi monumen yang dibangun untuk mengenang perbuatan dan kekejaman mereka.

Yesus mengecam tindakan dan sikap kaum Farisi. Ia berkata, “Celakalah kamu, sebab kamu membangun makam nabi-nabi, tetapi nenek moyangmu telah membunuh mereka. Dengan demikian kamu mengaku, bahwa kamu membenarkan perbuatan-perbuatan nenek moyangmu, sebab mereka telah membunuh nabi-nabi itu dan kamu membangun makamnya.”

Yesus mengecam para Ahli Kitab dan kaum Farisi, agar mereka bertobat dan merefleksi diri. Dengan bacaan ini, kita pun diajak berefleksi. Kalau kita ingin menjadi bangsa yang maju, kita mesti berani melakukan pertobatan nasional, rekonsiliasi bersama.

Dengan peringatan uapacara di Monumen Lubang Buaya, kita sedang mengamini ada kekejian yang pernah dilakukan nenek moyang kita.

Mereka menampilkan wajah seram suatu generasi yang tega membunuh rakyat tak berdosa.

Kita diajak berefleksi tentang kerukunan bangsa, saling menghargai dan menjunjung tinggi martabat saudara sebangsa dan se-tanahair, seberapa pun beda latar belakangnya. Jangan sampai kita saling menindas dan menghakimi sesama kita.

Di taman kota banyak bunganya,
Sungguh sedap dipandang mata.
Hidup damai dengan sesama,
Itulah cita-cita hidup kita bersama.

Wonogiri, mari saling menghargai
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here